15. Praktek Buah
Rasanya sih sulit, tapi Ares terbukti tidak tertawa ketika perkataannya membuat Elai panas dingin. Ckckckck. Ini bukan majas atau perumpamaan, melainkan kalimat dengan artian yang sesungguhnya.
Dengan tangan Elai yang bertahan pada dirinya, Ares bisa merasakan perubahan pada suhu tubuh gadis itu. Kadang panas kadang dingin. Eh ... kadang panas dingin. Persis seperti dispenser rusak. Hihihihi.
Mendehem sejenak, Ares tidak melepaskan sepasang mata Elai dari tatapannya yang terasa menusuk. Hingga membuat Elai semakin merasa kacau balau. Tak hanya suhu tubuh yang kacau, eh ... sekarang detak jantungnya juga ikut-ikutan berulah. Terutama ketika dilihatnya, bagaimana wajah Ares pelan-pelan turun. Semakin turun demi menuju ke telinganya.
Elai menahan napas. Antara tidak ingin menghirup aroma maskulin Ares atau demi menjaga agar detak jantungnya tidak bertambah parah. Ehm ... entahnya.
Ketimbang memikirkan satu di antara dua kemungkinan itu, pikiran Elai justru teralihkan oleh sesuatu. Yaitu ketika tangan Ares mendadak meremas satu tangannya yang berpegang pada cowok itu, sementara napasnya yang hangat membelai daun telinga Elai. Cukup sampai di sana? Oh, tidak. Karena jelas sekali, di detik selanjutnya ada suara Ares yang berbisik rendah di telinganya.
"Tapi, yang paling penting adalah ..."
Elai meneguk ludah. Menunggu dalam antisipasi. Dan hal itu tak luput sedikit pun dari mata elang Ares.
"... ketiga buah ini memiliki gaya yang berbeda."
O oh!
Ucapan Ares seketika membuat Elai sontak berpaling. Melihat pada Ares dengan mata yang membola besar. Wajahnya pucat dengan bibir yang gemetaran.
"G-g-gaya ... yang berbeda?"
Sorot mata Ares berubah. Tampak menyipit menggoda.
"Nona mau tau gaya apa aja?"
Elai menganga.
"Kalau mau ... saya dengan senang hati bisa ngasih tau," kata Ares lagi dengan nada menggoda. "Bahkan saya dengan senang hati juga bisa ngajak Nona buat prak---"
"Nggak!" potong Elai cepat.
Kali ini wajah gadis itu tampak memerah. Ckckck. Sepertinya metabolisme tubuh Elai benar-benar aktif hari ini. Bukan hanya soal suhu tubuh, warna wajahnya pun dengan cepat mampu berubah-ubah.
Mata Ares berkedip. "Nggak mau prakteknya? Atau nggak mau nolak maksudnya?"
"Kamu ...."
Elai menggeram dengan tangan yang sontak meremas Ares. Tanpa sadar sepertinya. Tapi, bukan berarti itu akan membuat sakit Ares. Alih-alih sebaliknya.
"Bukannya Nona suka cowok yang kuat?"
Ares bertanya lagi. Layaknya cowok itu yang tak malu-malu untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
"Dan saya bisa pastikan," kata Ares kemudian. "Mau dengan gaya apa pun ..." Matanya melirik Elai dengan irama yang membuat tubuh gadis itu gemetaran. "... buah saya akan selalu kuat."
*
Pada detik itu, Elai menyadari sesuatu. Yaitu bahwa ia belum mengenal Ares.
Ckckckck. Yang benar saja. Baru beberapa jam ia bertemu dengan cowok itu, Elai justru memutuskan untuk menggoda Ares. Tidak serius, tentu saja. Semua penghuni antariksa tau bahwa itu hanya agar Elai memiliki alasan untuk mendepak Marcel sebagai calon suaminya. Yah ... memang sih Ares cuma bodyguard. Tapi, ampun deh. Semua orang tau kalau pekerjaan sebagai bodyguard tidak pernah menjadi pekerjaan yang mudah. Tentu saja dia harus memiliki tubuh yang sehat, kuat, dan nilai bonusnya ... atletis. Secara keseluruhan, itu godaan iman bukan sih?
Dan itulah yang dirasakan oleh Elai terhadap Ares. Terutama karena jelas, Ares memiliki paras yang tampan. Tidak menggoda saja Ares sudah terlihat menggoda, apalagi kalau cowok itu memutuskan untuk menggoda. Yang benar saja! Terus ... tadi Ares mengatakan apa?
Bu-bu-buah dia ... akan selalu kuat?
Ya Tuhan!
Maka tidak mengherankan sama sekali, bila pada akhirnya Elai tidak mampu bertahan lagi. Pada akhirnya, cewek itu bersikap teramat alamiah dengan satu pekikan malu.
"Aaah!"
Tak hanya itu, di detik selanjutnya, Elai sudah berlari meninggalkan Ares dan troli belanjaan mereka. Hal yang tentu saja membuat Ares tak mampu menahan kikik gelinya. Dan seolah mengabaikan pengunjung supermarket lainnya, Ares pun mendorong troli sekaligus berseru memanggil.
"Nona! Buahnya ketinggalan!"
Di seberang sana, Elai merutuk malu. "Dasar buah!"
Sekitar empat puluh menit kemudian, Ares dan Elai sudah keluar dari kawasan supermarket. Sementara Elai berjalan dengan santai, di sebelahnya ada Ares yang mendorong troli berisi belanjaan itu. Mereka bersama-sama menuju ke tempat di mana mobil mereka terparkir. Dan tak butuh waktu lama, keduanya pun lantas sudah meninggalkan tempat itu.
Di saat mobil sudah membaur dengan kendaraan lainnya di atas aspal dengan kecepatan yang stabil, Ares melirik melalui kaca spion dalam. Melihat pada Elai di belakangnya yang tampak tenang. Ekspresi wajahnya terlihat santai. Ehm ... berbeda sekali dengan ekspresinya beberapa saat yang lalu. Tepatnya ketika Ares mengajak gadis itu untuk membahas berbagai macam buah dan gayanya. Hihihihi.
"Ehm!"
Deheman Ares seketika menarik perhatian Elai. Sontak membuat sepasang mata bening itu membalas lirikan Ares melalui media yang sama. Tampak mata Elai mengerjap sekilas.
"Apa?"
Ares tersenyum terlebih dahulu. Seraya memastikan bahwa jalanan di depan sana aman terkendali, ia pun lantas menjawab.
"Ehm ... ini udah lewat jam makan siang sih, Non. Apa Nona nggak mau makan?"
Elai langsung melirik pada jam tangannya. Melihat bahwa saat itu sudah nyaris menginjak jam satu siang. Ehm ... dan kalau mau diresapi, sepertinya perut gadis itu memang terasa kosong.
"Boleh," jawab Elai seraya mengangguk. "Kita mampir dulu makan sebelum pulang."
"Baik, Non."
Sepanjang perjalanan, mata Ares dengan awas melihat sekiranya ada restoran atau kafe yang bisa disinggahi oleh mereka. Namun, nyaris lima belas menit berlalu, cowok itu belum juga melihat tempat yang pas untuk mereka singgahi.
Ares nyaris menyerah. Hingga kemudian matanya membesar.
"Nona mau makan makanan laut?"
Pertanyaan itu membuat Elai melemparkan pandangannya. Menuju ke beberapa meter di depan sana.
"Rumah makan khas Bengkulu?"
Ares mengangguk. "Nona udah nyoba makan bagar ikan hiu?"
"Ehm ...." Mata Elai menyipit seketika. "Apa itu enak?"
Seringai miring terbit di wajah Ares. Tepat ketika tangannya membelokkan kemudi ke arah restoran itu.
"Nona bisa memutuskannya nanti."
Selang lima menit kemudian, keduanya sudah memasuki restoran dengan bergaya etnik. Memiliki bangunan yang menyerupai rumah panggung khas provinsi Bengkulu, restoran itu nyaris bisa dikatakan sebagai sebuah replika rumah adat.
Berkonsep layaknya bangunan tradisional, restoran itu memiliki atap yang unik. Dan mungkin karena itulah mengapa rumah adat provinsi Bengkulu disebut sebagai rumah Bubungan Lima.
Menginjakkan kakinya di sana, Elai langsung terpesona dengan kilap kayu bangunan yang terlihat begitu estetik. Juga jendela-jendela berukuran besar yang sangat khas. Dan tak hanya itu, ketika mereka akan masuk, ada dua orang karyawan yang berdiri di dua sisi pintu dengan mengenakan pakaian adat Bengkulu yang bernuansa Melayu. Didominasi oleh warna merah, sepasang pria dan wanita itu menyambut kedatangan keduanya.
"Selamat datang."
Elai membalas sapaan sopan itu dengan seulas senyum sebelum pada akhirnya mengikuti langkah Ares yang mengajaknya langsung ke dalam. Menuju pada satu meja lesehan yang sejuk lantaran angin yang bertiup.
Seorang pelayan datang menghampiri mereka dengan dua buku menu. Lantas meninggalkan kedunya untuk memilih terlebih dahulu.
"Ehm ...," dehem Elai. "Tadi menu apa yang kamu bilang? Ba ... ba ... bakar ikan hiu?"
Ares menggeleng seraya membuka buku menunya. Lalu menunjukkan satu gambar pada Elai.
"Ini," kata cowok itu. "Bagar ikan hiu."
Elai melihat pada gambarnya. Mengerutkan dahi dan berkata.
"Sekilas kayak rendang."
"Ehm ... mungkin. Tapi, yang pasti ini pake ikan hiu. Bukan daging sapi."
"Ikan hiu beneran?"
Ares terkekeh geli sekilas. "Bukan ikan hiu yang sering Nona di televisi. Dan yang pastinya, ikan hiu punya banyak jenis. Ini ...," jelasnya. "... jelas adalah ikan hiu yang diperbolehkan oleh pemerintah untuk ditangkap."
Elai manggut-manggut. "Aku sebenarnya nggak tau apa-apa soal makanan Bengkulu. Jadi ... kamu aja yang pesan."
Mata Ares melihat pada Elai. "Dengan senang hati."
Ares kemudian memanggil kembali pelayan tadi. Langsung menyebutkan beberapa menu yang menjadi pilihan mereka.
"Bagar ikan hiu, lemea, lemang ketan, dan sirup kalamansi."
Pelayan tersebut menuliskan pesanan mereka dan berlalu dari sana. Dan selama menunggu pesanan mereka tiba, Elai mendadak terusik untuk menyeletuk.
"Aku nggak tau kalau bodyguard zaman sekarang juga makan di meja yang sama dengan majikannya."
Ares mengerutkan dahi. "Tapi, saya juga pacar Nona, loh."
Mata Elai seketika membesar. "Kamu ...."
Tapi, ketika Elai tidak mendapatkan kata-kata untuk membalas perkataan Ares, eh ... cowok itu malah semakin mengompori dirinya.
"Atau Nona mau pacaran dengan Tuan Marcel?"
Mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Elai mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Tampak menahan napas sejenak sebelum berkata.
"Nggak."
Sontak membuat Ares merasa geli.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Setelah membiarkan pelayan menata aneka makanan itu di atas meja dan lantas berlalu, Ares menjelaskan. Seperti itu adalah hal yang perlu untuk dilakukan olehnya.
"Bagar ikan hiu itu salah satu makanan khas kota Bengkulu. Denger-denger sih ... katanya mendiang Bung Karno sangat menyukai makanan ini."
Elai menarik piring nasinya, melirik. "Iya?"
"Iya."
Ares mengangguk. Mendorong piring berisi menu bagar ikan hiu itu pada Elai sementara ia menarik piring lemea. Hal yang mendorong Elai untuk bertanya.
"Kalau itu apa?"
"Ehm ... ini namanya lemea. Olahan dari bambu muda yang dicampur dengan ikan."
Elai manggut-manggut. "Kayaknya di Bengkulu suka ikan ya?"
"Mungkin karena mereka memiliki pantai yang panjang," balas Ares seraya setengah berpikir. "Dan namanya memang Pantai Panjang."
Tak langsung memulai makannya, dahi Elai justru berkerut-kerut. "Ngomong-ngomong, kamu tau banyak tentang Bengkulu ya?"
"Hehehehe. Nggak juga, Non. Ini cuma karena saya dulu pernah berkunjung ke sana. Makanya saya tau beberapa hal tentang Bengkulu. Ah." Mendadak Ares terkesiap. Tampaknya baru teringat akan sesuatu. "Tapi, ngomong-ngomong soal Bengkulu. Nona tau yang lebih penting nggak ketimbang bagar ikan hiu dan lemea?"
Tangan Elai semula sudah siap untuk menggerakan sendok dan juga garpunya. Tapi, pertanyaan Ares membuat ia mengurungkan niatnya. Alih-alih, ia tampak mencolek sedikit ketan hitam yang disajikan bersama lemang. Menikmati rasa enaknya dan lantas beralih untuk menyesap air sirup kalamansinya.
"Apa?"
Ares sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Elai. "Pisang ambon Curup," katanya kemudian. "Itu asli Bengkulu loh. Tepatnya di Curup."
"Huuukkk!"
Mendadak saja Elai tersedak. Matanya melotot. "Kamu masih mau bahas pisang?"
"Loh?" Ekspresi Ares tampak polos. "Bukannya Nona suka dengan bentuknya?"
"Ares, kamu---"
"Dan bukan cuma bentuknya, tapi rasanya juga ... ehm ...."
Ujung lidah Ares keluar. Mengusap bibir atasnya dengan gestur menggoda yang semakin membuat Elai melotot. Hingga ketika dilihatnya mulut Ares membuka –tampak akan lanjut bicara-, tangan Elai langsung mengambil satu potong lemang. Tanpa aba-aba, gadis itu menyumpal lemang itu ke mulut Ares.
"Huuukkk!"
Ares terbatuk. Tapi, jelas ia juga merasa geli. Dan tak butuh waktu lama, lemang itu amblas ke dalam perutnya.
"Nona nyuapin saya?"
Melihat bagaimana tindakannya disalahartikan oleh Ares, sontak membuat Elai mendelik. Tangannya terangkat. Memberikan peringatan tanpa merasa perlu untuk menjawab pertanyaan konyol itu.
"Aku bilangin, Res," kata Elai. "Kamu jangan asal ngomong ya? Aku nggak suka."
Melipat kedua tangannya di atas meja, Ares untuk beberapa saat hanya menatap Elai lekat tanpa suara. Hingga membuat gadis itu pelan-pelan merasa jengah dan kikuk karenanya. Lantas, di waktu yang tepat, Ares kembali bicara.
"Kalau saya nggak asal bicara gimana?" tanya Ares. "Saya bisa kok membuktikan apa yang saya katakan." Mata Ares berkedip sekali. "Semacam ... praktek."
Elai membeku.
"Gimana?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top