12. Godaan Sentuhan

"Nona ...."

Elai meneguk ludahnya. Berusaha untuk tetap bernapas ketika matanya tak bisa lepas dari wajah Ares. Tepatnya pada bibir cowok itu yang baru saja memberikan kecupan sensual di ibu jarinya sendiri.

Elai membeku. Tampak seperti tak bisa bergerak. Pun termasuk mengatakan sepatah kata pun, selain ....

"A ... res ...."

Maka ucapan yang terdengar lirih itu membuat mata Ares berkedip sekali dengan irama yang perlahan. Lalu, pelan-pelan ia menundukkan wajahnya. Bertanya dengan suara berat yang terdengar sedikit serak.

"Yang siang tadi ...," katanya. "Waktu Nona ngomong serius mau pacaran dengan saya ...."

Glek.

Kali ini Elai tampak refleks menahan napasnya. Seakan terpana melihat ketampanan Ares tepat di depan matanya.

"Apa itu artinya ..." Mata Ares tampak liar mengamati perubahan warna pada wajah Elai. "... sekarang kita udah pacaran?"

Pertanyaan itu sukses membuat Elai benar-benar kehilangan napas dan juga nyawanya. Tak percaya bagaimana bisa Ares menanyakan hal seperti itu dengan teramat gamblang.

"Ares ...."

Tangan Ares bergerak. Tampak membelai pipi Elai dengan lembut. Membuat tubuh gadis itu seketika merasa meremang.

"Nona serius?" tanyanya lagi. "Ketimbang dengan Tuan Marcel ..., Nona lebih milih saya?"

Pada akhirnya, Elai berhasil pula untuk menarik udara. Dan seiring dengan terisinya paru-paru gadis itu dengan napasnya, Elai bangkit. Berdiri. Membalas tatapan mata Ares yang tak berpindah dari maniknya dari tadi.

"Kura-Kura Gosong?" Elai mendengkus geli. "Ketimbang dengan Kura-Kura Gosong," katanya kemudian seraya membawa tangannya untuk naik. Mendarat di dada Ares. Meraba rasa keras otot di sana. "Aku lebih suka Kura-Kura Ninja."

Ares menyeringai. Menangkap tangan Elai di dadanya. Lalu tanpa permisi membawa tangan itu ke depan bibirnya. Memberikan satu kecupan di jari-jari tangan Elai yang lentik.

"Tapi ...."

Suara Elai terdengar lagi. Membuat Ares menahan kecupan yang selanjutnya akan ia berikan lagi di jari itu.

"Apa, Nona? Tapi apa?"

Elai tersenyum. Matanya menggerling menggoda. "Aku mau tanya sesuatu," katanya dengan irama mendayu-dayu. "Punya kamu ... bukan pisang muli kan?"

Seberkas kebingungan langsung tercetak di wajah Ares. Tak mengerti.

"Pisang muli?"

Maka Elai menurunkan tatapannya. Tertuju pada satu tonjolan di bawah sana yang membuat ia memberikan lirikan menggodanya kembali.

"Itu ...."

Ares melihat ke arah mana tatapan Elai tertuju. Dan dengan senyum misterius di wajahnya, ia berkata.

"Nona mau ngeliat sendiri? Biar Nona yakin kalau ini bukan pisang muli."

Mata Elai mengerjap. "Boleh?"

Tak memberikan jawabannya dengan kata-kata, Ares justru menarik pinggang Elai. Lantas mengangkat dagu wanita itu.

"Dengan senang hati," katanya. "Kalau Nona juga mengizinkan saya untuk mencium Nona."

Dan izin itu tidak berbentuk kata-kata, melainkan satu tarikan yang tangan Elai lakukan pada tekuk Ares. Sekejap mata membuat kedua bibir bertemu. Lantas ... Elai mendengar dengan jelas ketika suara itu tercipta.

"Emmuach!"

*

"Argh!"

Berbeda dengan kebanyakan orang di pagi hari, Elai justru terbangun dengan wajah dan geraman yang mengerikan. Dengan rambut yang awut-awutan, gadis itu tampak meringis dengan mengangkat kepalanya ke atas. Pada langit-langit kamar.

Elai frustrasi, tapi ironisnya ia tak mampu mengusir bayangan itu dari benaknya. Bahkan dalam tidurnya sekalipun.

"Emmuach!"

Sejenak, wajah Elai tampak memucat seketika.

"Bi-bi-bisa-bisanya aku sampe mimpiin Ares ...."

Ada kesan horor dan ngeri di nada suara Elai. Mungkin hal yang wajar. Lagipula gadis normal mana yang tidak akan terbayang-bayang kalau ada cowok seperti Ares yang melakukan hal sesensual itu padanya?

Glek.

Oh, Tuhan.

Elai jelas masih normal.

Bangkit dari tempat tidurnya seraya mengusap wajahnya yang basah, Elai menuju ke meja rias. Mengikat rambut panjangnya dengan asal, seperti rutinitasnya sehari-hari. Kebiasaan tepat sebelum ia keluar dari kamar untuk menuju ke dapur. Dan ... kaki Elai berhenti tepat ketika tangannya menyentuh daun pintu.

Gadis itu terlihat mengembuskan napas panjang seraya menutup matanya. Geleng-geleng kepala seraya memutar tubuh. Alih-alih langsung keluar, kali ini ia tampak mengambil jubah tidurnya. Antisipasi agar kejadian kemaren tidak terjadi lagi.

Celingak-celinguk, Elai meraih segelas air putih hangat. Meneguknya dengan mata yang terarah pada pintu kamar mandi. Samar sih, tapi telinga Elai jelas bisa mendengar suara air di balik pintu itu.

Glek.

Lalu suara air itu berhenti. Dan begitu dengan tegukan Elai di gelas yang berisi air di tangannya, turut berhenti.

Elai bergeming. Entah mengapa ia merasa tubuhnya seperti menegang tatkala melihat bagaimana daun pintu itu berputar sedikit. Lantas pintu pun membuka pelan-pelan.

Ares keluar. Dengan sehelai handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Juga dengan sehelai handuk yang melingkari pinggangnya.

Ya Tuhan ....

Pisang ....

Selangkah Ares keluar dari kamar mandi, maka di detik itu pula pandangan mereka bertemu. Tepat ketika cowok itu memutar sedikit kepalanya. Ia tersenyum. Membuat pikiran aneh di benak Elai buyar seketika.

"Pagi, Nona ...."

Mata Elai mengerjap. Dengan gemetar menarik turun gelas dari depan bibirnya. Perlahan menaruhnya ke kitchen island. Bisa dikatakan sebagai bentuk antisipasi. Sebelum gelas itu jatuh dan ia mempermalukan dirinya sendiri.

"Pa-pa-pagi ...."

Senyum di wajah Ares masih mengembang. Malah tampak semakin cerah ketika melihat bagaimana proses gelas di tangan Elai berpindah tempat.

Seraya membiarkan handuk kecil yang ia gunakan untuk tergantung di lehernya, Ares melangkah. Walau terpisahkan oleh kitchen island, tapi bukan berarti jarak antara mereka berdua tidak terkikis.

Dengan menekan kedua tangannya di pinggiran kitchen island, Ares membawa sorot matanya untuk memaku mata Elai dalam tatapan yang sengaja ia buat sedikit menggoda.

"Nona lapar?" tanyanya kemudian.

Mata Elai mengerjap lagi. Refleks tangannya memastikan jubah tidurnya terpasang dengan rapi. Lalu tanpa sadar meremas pakaian itu di depan dada.

Elai menggeleng. "Ng-nggak ...."

"Ehm ...," dehem Ares dengan penuh irama sementara matanya tampak bergerak ke mana-mana. Tangannya terangkat satu, menunjuk. "Tapi, tangan Nona gemetaran loh."

Perkataan Ares sontak membuat Elai bengong. Lalu melihat ke bawah, pada tangannya yang memang terlihat sedikit gemetaran. Tapi, itu jelas bukan karena lapar. Jelas melainkan Ares!

Ya Tuhan ....

Ka-kalau tiap pagi ngeliat pemnandangan kayak gini ..., gimana aku nggak gemetaran?

A-apa lagi tadi aku abis mimpi pisang.

Astaga!

Menarik napas dalam-dalam, Elai lantas berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri. Tampak berupaya untuk menjaga ekspresi wajahnya, alih-alih kelepasan untuk membiarkan pipinya merona merah.

"Mu-mungkin berapa hari ini aku kurang sinar matahari," kata Elai kemudian dengan gugup. "Tenang aja. Siang ini aku bakal keluar."

Senyum di wajah Ares refleks menghilang. "Nona mau pergi?" tanyanya. "Ke mana?"

"Ehm ...." Mata Elai kembali mengerjap-ngerjap. "Ke supermarket. Mau belanja. Karena aku udah nggak ada makanan lagi di sini."

"Oh ...."

Ares angguk-angguk kepala. Mengerti. Lalu, ia berkata lagi.

"Kalau gitu, saya ke kamar dulu, Non."

Tak menjawab, Elai hanya membalas perkataan itu dengan anggukan pula. Lebih dari itu, ia berpura-pura seolah tak menghiraukan Ares ketika cowok itu berlalu dari sana. Walau jelas sekali, ketika Ares membalikkan badan dan berjalan, Elai langsung putar kepala. Meneguk ludah sementara matanya melihat tubuh yang hanya berbalut handuk itu meninggalkan dirinya.

"Astaga ...."

Elai buru-buru mendekap dadanya. Menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gemuruh di dalam sana.

"Gila aja! Gimana aku nggak gemetaran kalau tiap pagi kayak gini?"

*

Mungkin sekitar jam sebelas siang waktu itu, tatkala Elai memastikan bahwa penampilannya sudah dirasa cukup untuk pergi ke supermarket terdekat. Dengan satu celana jeans santai yang membalut sepasang kaki jenjangnya, ia memilih satu kemeja longgar berlengan pendek sebagai atasan. Sementara itu, rambutnya yang panjang sengaja ia kepang seribu.

"Oke," kata Elai mantap. "Aku siap jalan-jalan."

Elai tertawa. Menyadari bahwa sebenarnya ia hanya akan pergi ke supermarket terdekat.

Meraih satu tas tangan berukuran kecil –hanya muat untuk dompet, ponsel, dan kunci mobilnya-, Elai lantas ke luar dari kamar. Bersiap untuk segera pergi, namun ia justru kaget ketika mendapati bagaimana Ares yang berdiri di samping pintunya. Sontak saja membuat gadis itu kaget.

Dengan ekspresi waspada, Elai tampak menilai penampilan Ares dari atas hingga ke bawah.

Oke. Rambut hitamnya yang lebat sudah disisir rapi. Nggak acak-acakan lagi kayak tadi. Walau sebenarnya sih yang tadi itu lebih seksi.

Elai mengerutkan sedikit dahinya.

Eh?

Beralih pada pakaian, cowok itu tampak mengenakan satu kaos berkerah yang terkesan body fit di tubuhnya yang berotot.

Glek.

Dibutuhkan usaha untuk Elai bisa membawa matanya untuk beranjak dari dada yang bidang itu. Menuju ke satu celana jeans bewarna hitam yang Ares kenakan. Lantas ... mata Elai berhenti berkedip. Pada satu bagian yang samar-samar terlihat sedikit menon---

"Udah siap, Non?"

Suara Ares yang bertanya membuyarkan isi pikiran Elai. Membuat ia gugup dan tampak bingung.

"Ya?"

Ares mendengkus geli. Tampak bangkit dari posisi bersandar pada dinding dengan sepasang tangan yang sedari tadi bersedekap di depan dada. Ia menghampiri Elai.

"Nona udah siap?" tanya Ares kemudian. "Kalau sudah, kita pergi sekarang."

"Pe-pe-pergi?"

Ckckckck.

Memalukan sekali.

Sepertinya berkat sesuatu yang menonjol itu membuat isi kepala Elai kacau balau. Nyaris bisa dikatakan membuat ia yang lupa dengan niatannya semula.

"Belanja?" tanya Ares lagi dengan mengangkat satu alis matanya. "Ke supermarket?" Ares mengingatkan dengan geli. "Biar bisa ketemu sinar matahari?"

"Aaah ...."

Elai merasakan pipinya memanas. Ingin menggaruk kepalanya saking malunya, tapi ia tidak ingin merusak kepangan rambutnya yang sudah ia buat dengan sepenuh hati layaknya anak sendiri.

Eh?

"Oh iya," angguk Elai kemudian. Lalu, ia tersadar sesuatu. Maka mata gadis itu membesar. "Kamu ikut?"

Kedua tangan Ares meraih saku celananya di masing-masing sisi. Menekannya dengan gestur maskulin dan bertanya.

"Bukannya itu wajar ya, Non? Saya ini pengawal Nona. Ya artinya ke mana Nona pergi ya saya harus ikuti."

Elai mengerucutkan bibirnya. Tanpa berpikir pun sebenarnya ia tau tentang itu. Tapi ....

"Ini cuma ke supermarket kali, Res. Dan aku juga nggak mau diekori ke mana-mana. Aku ini bukannya tahanan yang perlu diintai selama dua puluh empat jam dalam sehari."

Ares mengangguk dengan ekspresi paham. "Memang bukan tahanan, tapi Nona itu jelas tanggung jawab saya." Mata Ares menyipit. "Atau Nona lebih milih buat ditemani sama Tuan Marcel?"

Mendengar nama itu, sontak saja membuat tangan Elai bergerak. Mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas kecilnya. Langsung menaruhnya ke salah satu tangan Ares yang ia tarik paksa.

"Kamu bisa bawa mobil kan?"

Ares menyeringai. "Tentu saja."

Dan setelah mendengar jawaban itu, Elai buru-buru melangkah. Membiarkan Ares mengikutinya dari belakang sementara ia merutuki dirinya sendiri di dalam hati.

Please ..., Lai.

Nggak usah mikir segala macam jenis pisang!

Kamu bukan monyet!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top