11. Kecupan Enak

"Hahahahaha. Elai .... Elai ...."

Ares merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur dengan kedua tangan yang saling menumpu di bawah kepalanya. Mata pria itu terlihat berkilat-kilat geli melihat pada langit-langit kamar. Dengan bibir yang masih terbuka lebar tentunya, lantaran kekehan yang belum selesai.

"Hahahahaha. Mau sok ngerayu aku?"

Ares tertawa lagi hingga dadanya tampak bergetar dan matanya nyaris terpejam.

"Aku rayu balik malah kabur. Hahahahaha."

Dan untuk beberapa saat lamanya, Ares melewati kesendiriannya di kamar itu dengan tertawa hingga puas. Lalu, selang beberapa saat seraya mengembuskan napas panjang, Ares tampak mengerutkan dahinya. Bibirnya mengerucut ketika satu pertanyaan melintas di benaknya.

"Tapi ...," lanjutnya kemudian. "Kalau Elai nggak ngedorong aku ..., kira-kira ... apa yang bakal terjadi ya?"

Ares terdiam. Pertanyaan itu entah mengapa membuat tubuhnya mendadak saja meremang. Tentu, dengan intensitas degupan jantung yang meningkat.

Tak bisa dicegah, kilasan kejadian tadi langsung terbayang kembali di benak Ares. Tatkala ia memutar tubuh Elai dan tanpa sadar tangan gadis itu berpegang padanya. Hingga akhirnya mereka mendarat di kasur yang empuk. Memantul untuk beberapa kali dan setelahnya keduanya justru membeku untuk detik-detik yang cepat.

Glek.

Ares ingat betul bagaimana kelopak mata Elai yang mengerjap-ngerjap hingga pada akhirnya kelopak itu justru terpejam dengan amat rapat. Ekspresinya terlihat seperti ketakutan. Tapi ....

"Menggemaskan."

Ares mengembuskan napas panjang. Bangkit duduk kembali dan melihat pada gelas air jeruk perasnya. Napasnya berembus dengan berat kala itu. Dengan matanya menyipit.

"Ini bukan salah aku sama sekali, Lai. Kamu duluan yang mancing-mancing aku." Ares mengangguk sekali. "Dan karena kamu udah mancing aku, ya sekarang aku ngikut aja ke mana senar pancing ngebawa aku."

Tepat setelah mengatakan itu pada dirinya sendiri, kedua kaki Ares kembali menapak di atas lantai. Beranjak demi menandaskan air jeruk peras di gelasnya, ia kemudian melangkah keluar dari kamarnya.

Tak ada ba-bi-bu, Ares segera menuju ke kamar Elai. Dan tak butuh waktu lama bagi cowok itu untuk bisa berdiri di depan pintu kamar sang gadis.

Tangannya terangkat. Memberikan satu ketukan halus yang tetap Ares yakini bahwa Elai mendengarnya. Karena kalau belum yakin, maka Ares hanya perlu meyakinkannya dengan satu kalimat ini.

"Nona .... Apa kita bisa pacaran sekarang?"

Tepat setelah menanyakan itu, Ares buru-buru menutup mulutnya. Nyaris saja tawanya tersembur lantaran geli sendiri dengan pertanyaannya itu.

Hihihihi.

Gila kamu, Res!

Yakin banget di dalam sana Elai udah gemetaran atas bawah.

Ares kemudian mendehem. Berusaha mengusir rasa gelinya itu. Kembali bertanya.

"Nona .... Apa kita pacarannya di kamar Nona?"

Ya ampun.

Bener-bener mau buat anak orang ketakutan kamu, Res.

Hahahahaha.

Ares bahkan memincit lubang hidungnya coba. Agar ia tidak bernapas sejenak saking khawatir tawanya akan benar-benar menyembur. Terutama karena cowok itu jelas menunggu jawabannya. Walau hingga beberapa saat berlalu, tak ada suara yang terdengar.

"Nona ...."

Ares kembali bersuara dan dengan teramat sengaja mendayu-dayukannya. Persis seperti yang dilakukan Elai tadi.

Hihihihi.

Lama menunggu dan tak kunjung mendapatkan jawabannya, Ares kemudian mengambil inisiatif.

"Nona mau ngeliat keagresifan saya yang lainnya?"

Klek!

Klek!

Klek!

Ares mengerutkan dahi melihat pada daun pintu. Heran. Karena mau sebanyak apa pun dirinya menekan, tapi pintu itu tidak terbuka. Bergeming sedikit pun tidak.

Hahahahaha.

Kali ini, Ares benar-benar tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Daripada mengambil risiko, langsung saja Ares berlari menuju ke kamarnya lagi. Kembali tertawa terbahak-bahak.

"Yes!"

Ares mengepalkan tinjunya dengan ekspresi senang. Lalu menyeringi dengan sorot puas.

"Babak pertama dimenangkan oleh Ares!"

*

Walau tanpa bantuan sinar matahari, Elai sudah tau bahwa hari telah beranjak malam kala itu. Berkat bantuan jam dinding sih sebenarnya. Yang tentu saja itu sudah cukup menjadi bukti sudah selama apa gadis itu berada di dalam kamarnya tanpa keluar sejak insiden siang tadi. Dari siang hingga malam? Wah .... Itu jelas bukan waktu yang sebentar.

Dan berbicara soal waktu malam, ada satu hal yang teramat penting ....

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

Meringis dengan bibir yang cemberut, Elai memegang perutnya. Merasakan gemuruh yang memberontak di dalam sana.

"Umh .... Aku lapar ...."

Seperti hal itu masih perlu ia jelaskan saja. Dengan gemuruh senyata itu, siapa pun orangnya sudah bisa menebak rasa lapar apa yang sedang ditahan Elai.

Tepat! Rasa lapar yang teramat sangat.

Hiks.

Elai menoleh ke pintu. Dan ringisannya semakin menjadi-jadi.

"Tapi, gimana kalau aku ketemu Ares? Aku harus gimana coba?"

Tangan Elai naik. Mendarat di atas kepalanya dan ia tampak menyedihkan sekali. Terhimpit atas rasa lapar dan juga ngeri.

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

Tapi, rasa lapar itu semakin menjadi-jadi. Nyaris membuat Elai tak berdaya. Dengan tekad yang nekat, pada akhirnya Elai pun menyerah pada rasa laparnya.

"Ketimbang aku mati kelaparan kan ...."

Pada akhirnya, Elai pun bangkit. Pelan-pelan, ia memutar anak kunci. Membuka pintunya. Menciptakan celah yang cukup. Tapi, ia tak langsung keluar dari kamarnya itu.

Pertama, kepala Elai keluar. Celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri secara bergantian tanpa menimbulkan suara sedikit pun, mengamati situasi.

Oke!

Aman.

Membungkukkan badannya, Elai berjalan mengendap-ngendap. Lalu berhenti ketika melihat pintu kamar Ares. Pintu itu tampak tertutup.

Mata Elai menyipit. Menunggu untuk beberapa detik dan tak melihat ada perubahan pada pintu itu.

Oke!

Aman lagi!

Kaki Elai bergerak dalam langkah kecil yang lincah, terkesan menjinjit demi menghindari suara langkah yang mungkin saja tercipta saat ia berjalan. Tanpa buang-buang waktu, ia pun langsung menuju ke dapur. Satu-satunya tempat yang akan Elai tuju. Tempat yang menjanjikan akan keberadaan makanan dengan aroma yang menggiurkan.

Eh?

Langkah kaki Elai berhenti tepat ketika ia masuk ke dapur. Karena pada saat itu, aroma yang menggiurkan itu menguar ke udara.

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

"Kruuukkk!"

Kali ini, suara perut Elai benar-benar tidak tertolong lagi. Aroma lezat itu sudah pasti menjadi pemicu untuk rasa lapar yang tengah ditahan Elai, memberontak. Ugh! Hingga membuat sosok di seberang sana menghentikan antraksinya yang melibatkan teplon, sutil, kompor gas, dan api yang berkobar-kobar.

Ares memutar tubuh. Matanya tampak berkedip sekali ketika mendapati apa yang matanya lihat. Ada Elai yang tampak berjalan membungkuk dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. Hingga polos saja Ares bertanya.

"Apa Nona kehilangan duit?"

Hening sesaat dan ....

"Eh?"

Elai buru-buru berdiri dengan tegap. Rasanya malu sekali terpergok dalam keadaan mengendap-ngendap dengan tubuh membungkuk seperti itu. Persis seperti orang yang sedang mencari uang logamnya yang menggelinding.

"Oh ... itu ...."

Tapi, Ares keburu memutar kembali tubuhnya. Memadamkan kompor. Beranjak pada satu piring yang telah tersedia.

"Nona mau makan malam?"

Elai menggeleng. Rasa gengsi dan ngeri membuat gadis itu dengan terpaksa membohongi rasa laparnya. Hiks.

"Nggak kok. Aku cuma mau minum."

Ares diam saja seraya melihat Elai yang menuju ke kulkas. Meraih sebotol air mineral. Tapi, ketika Elai akan meninggalkan dapur, cowok itu berkata.

"Saya masak udang asam manis."

Eh?

Langkah kaki Elai berhenti. Matanya mengerjap-ngerjap. Tapi, lima detik kemudian kakinya kembali melangkah. Dan melihat itu, Ares buru-buru berkata.

"Pake cumi-cumi juga."

Kali ini, bukan hanya langkah kakinya yang berhenti, Elai bahkan berpaling ke belakang. Tepatnya pada Ares. Matanya menyipit dengan dahi yang sedikit berkerut. Bertanya dengan suara yang sedikit bernada misterius.

"Ada telur puyuh juga?"

Tak menjawab, Ares justru menyisihkan teplon dan sutil yang masih di tangannya. Lantas ia beralih pada piring yang telah ia isi dengan masakannya tadi. Dengan langkah kaki yang teratur, ia mendekati Elai.

"Kalau mau yang lebih besar dari telur puyuh," kata Ares. "Saya juga ada kok, Non."

Diam, Elai hanya bisa meneguk ludah melihat makanan itu di depan matanya. Terutama dengan aromanya yang teramat wangi itu.

Ehm ....

Mempertahankan seringai di wajahnya, Ares bersorak di dalam hati.

Yes!

Babak kedua dimenangkan oleh Ares!

*

Ehm ....

Kenapa aku malah jadi tergoda gini.

Dasar memalukan!

Tapi, siapa yang bisa menolak godaan makanan coba?

Aku kan cuma gadis normal yang perutnya perlu diisi.

Hiks ....

Kamu menyedihkan banget, Lai.

Sementara ada yang merutuk, ternyata ada yang malah semringah. Itu adalah Ares yang masih mengenakan apron dan tampak menyajikan sepiring nasi di hadapan Elai. Asap yang mengepul berhasil membuat Elai meneguk ludah. Layaknya asap panas yang tipis itu adalah seorang biduan yang sedang melenggok-lenggok untuk menggoda.

Sentuh kami dengan sendok dan garpumu dong.

Dan berbicara mengenai nasi, mata Elai mengerjap melihat porsi di piringnya itu. Membuat ia mengangkat wajah dengan ekspresi bingung.

"Perlu ditambah nasinya?" tanya Ares.

Mata Elai kembali mengerjap. Lalu geleng-geleng kepala.

"Nggak," jawabnya. "Ini udah cukup. Ketimbang makan nasi banyak---"

"Mending makan udangnya yang banyak."

Ares memotong perkataan Elai seraya meletakkan hasil masakannya. Menghidangkannya untuk gadis itu.

"Silakan dinikmati."

Ares segera beranjak dari sana. Melepaskan apron dari tubuhnya dan lantas menggantungnya ke tempatnya semula.

"Oh ... ah ...."

Elai langsung meraih sendok. Mengambil seekor udang dan menikmatinya. Mengunyahnya dalam irama yang pelan.

"Gimana?"

Mungkin Elai bisa saja tersedak udang karena mendapati Ares yang mendadak saja sudah berdiri di dekatnya. Dengan dahi yang sedikit berkerut dengan sorot menebak.

"Apa rasanya sesuai? Atau ada yang kurang?"

Elai mengunyah untuk yang terakhir kali sebelum menelannya. Dengan eskpresi kaku, ia menjawab.

"Ehm ... sesuai. Ini ... enak."

Tampak dada Ares turun ketika cowok itu mengembuskan napasnya. Lega. Senyum tipis terlihat samar di bibirnya.

"Sebenarnya saya memang nggak perlu nanya sih," kata Ares santai. "Tapi, saya anggap saja itu tadi adalah salah satu bentuk formalitas saja.

Elai yang semula akan menikmati udang yang kedua, menghentikan tangannya. "Formalitas?" tanyanya. "Maksud kamu?"

Tak langsung menjawab, Ares justru menahan tubuhnya dengan bertumpu pada tangan kirinya di atas meja makan itu. Matanya menatap lurus pada mata Elai.

"A-a-apa?"

Mau tak mau, Elai merasakan gagap. Refleks ketika mendapati Ares yang hanya diam menatap pada dirinya. Sekarang, alih-alih memikirkan udangnya, Elai justru memasang antisipasi.

"Ka-ka-kamu mau ngapain?"

Ares tersenyum. Lagi-lagi tidak menjawab. Alih-alih, ia mengangkat tangan. Dan Elai nyaris saja akan langsung bangkit dari kursinya ketika justru mendapati bagaimana di detik selanjutnya jemari Ares mengusap bibir bawahnya.

"Wuuush!"

Sepertinya ada embusan napas Kuntilanak yang menyapa tekuk Elai. Bukannya apa. Tapi, sekarang ia merasakan semua rambutnya berdiri meremang. Terutama ketika dilihatnya Ares menunjukkan noda saos di ibu jarinya itu.

"Saya cuma mau membersihkan bibir Nona."

Glek.

Elai menahan napas. Berusaha untuk kembali tenang di bawah intimidasi tatapan Ares. Tapi, gagal total. Lantaran karena di detik selanjutnya ia melihat bagaimana Ares yang lantas mengecup sisa saos di ibu jarinya itu. Hingga menimbulkan suara kecupan yang sensual.

"Emmuach!"

Elai membeku. Tak berkedip. Tak bergerak. Diam saja ketika Ares justru menundukkan wajah demi bisa berbisik di telinga gadis itu.

"Ini ... emang enak."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top