1. Rencana VS Bencana

Urutan novel seri The Surprise:

1. TEST DRIVE (sudah tamat di KaryaKarsa, otw cetak. Doakan saja.)

2. LOVEGUARD

3. HOLIDATE (otw)

4. HEARTLINE (otw)

************

"Gila! Gara-gara ulah Kak Via dan Kak Max, aku yang kena getah!"

Satu rutukan membuat sopir taksi itu melirik melalui cermin spion dalam. Pada seorang gadis berseragam pelayan hotel ternama yang tampak duduk dengan posisi yang tidak semestinya. Layaknya ia yang tak ingin terlihat sedikit pun dari pandangan di luar sana, ia beringsut di kursi penumpang itu. Nyaris benar-benar bisa dikatakan bahwa gadis berambut hitam legam itu seperti berbaring di sana.

Satu ponsel ia pandangi dengan mata yang menyipit. Layarnya gelap. Cukup menjadi tanda bahwa benda itu dalam keadaan tidak aktif. Sementara itu, di tangannya yang lain tampak satu kartu seluler. Yang mana pada akhirnya kartu itu melayang ditiup angin saat ia membuangnya lewat jendela mobil.

"Ah! Bener-bener deh! Punya orang tua kok nggak mikir? Masa aku mau disuruh nikah sama cowok yang sama sekali nggak aku suka. Boro-boro aku suka. Udah berapa tahun aku nggak ketemu sama dia coba!"

Gadis itu lagi-lagi merutuk. Dan ketika ia berdecak kesal seraya mengacak-acak rambutnya, ia mendapati bagaimana sopir itu kembali melirik pada dirinya. Membuat ia mendengus.

"Pak, nyopir itu liat ke depan. Ngapain lirik-lirik ke belakang dari tadi?"

Sopir itu seketika saja tampak salah tingkah. Berusaha tersenyum –walau kaku- dan mengangguk.

"I-i-iya, Mbak."

Maka sopir itu pun lantas membawa kembali tatapannya untuk lurus ke depan. Pada jalanan malam yang lumayan padat mengingat saat itu malam Minggu. Beberapa kendaraan memenuhi setiap sisi. Tak memungkinkan dirinya untuk melaju dalam kecepatan yang tinggi. Sebagai mana yang diminta oleh penumpangnya.

Hingga pada akhirnya, taksi itu berhenti pula di pelataran gedung apartemen mewah setelah melewati portal keamanannya. Sopir itu pun berkata.

"Sudah sampe, Mbak."

Gadis itu tampak menyodorkan ponselnya yang masih dalam keadaan tidak aktif itu. Sontak saja membuat sang sopir bingung, walau tanpa sadar ia tetap menyambutnya.

"Eh? Ini ...?"

"Maaf, Pak," katanya kemudian. "Aku bukannya nggak mau bayar pake duit. Tapi, aku aja nggak bawa dompet. Jadi, aku bayarnya pake hp ini aja ya?"

Mata sopir itu membesar. "Hah?"

"Ini dijamin ori, Pak. Gimana?"

Sopir itu melihat pada ponsel yang berada di tangannya. Tampak meneguk ludah saat menyadari bahwa ponsel itu bukanlah ponsel murahan. Bagaimanapun juga, logo buah apel yang digigit dengan kamera berjumlah tiga di sudut kiri atas itu sudah lebih cukup membuat ia membayangkan berapa uang yang bisa ia dapatkan dari penjualan ponsel itu.

"I-i-ini beneran, Mbak?"

Gadis itu angguk-angguk kepala. Menepuk sekilas pundak sopir itu dan berkata.

"Jual aja, Pak. Mudah-mudahan sekitar dua puluh juta masih dapat. Makasih."

Sopir itu mungkin akan mengatakan sesuatu, tapi gadis itu sudah lebih dulu beranjak. Turun dari taksi itu dan bergegas masuk ke dalam gedung.

"Selamat malam, Nona Elai."

Gadis itu, Edelai Rawnie menghentikan langkah kakinya. Menghampiri resepsionis cantik berpenampilan rapi itu.

"Malam juga, Din."

Dina tersenyum. "Nona dari mana? Penampilan Nona terlihat ...."

"Oh ini ...." Elai tersenyum geli. "Biasa. Aku abis dari cosplay gitu."

"Aaah .... Iya iya ...." Dina manggut-manggut.

Elai mengembuskan napas panjang. Tanpa sadar tangannya mengusap perutnya. Merasakan sedikit gemuruh dari dalam sana.

"By the way ..., ntar aku mau pesan makan. Jadi kalau semisal ada kurir mau ke unit aku, suruh aja."

Dina mengangguk. "Baik, Non."

Mendapati anggukan Dina, maka Elai lantas berlalu dari sana. Melangkahkan kembali kedua kakinya. Menuju pada lift. Di dalam, ia memasukkan kode rahasia lift miliknya. Dan barulah lift pelan-pelan bergerak ke atas. Menuju ke lantai di mana unitnya berada.

4101 adalah nomor unit di mana gadis itu berada. Elai masuk. Dan langsung menuju ke kamar tidur. Mengarah pada kamar mandi pribadinya. Di sana, ia berdiri tepat di depan satu cermin berukuran besar. Geleng-geleng kepala melihat penampilannya yang benar-benar memalukan.

"Ck. Demi kabur dari acara pertunangan sendiri, aku nekat berpenampilan kayak gini coba."

Elai mengembuskan napas kesal. Mulai menanggalkan seragam pelayan hotel itu dari tubuhnya sementara pikirannya tertarik ke belakang. Pada alasan yang membuat ia harus merasakan keringat di malam hari.

"Ini semua gara-gara Kak Via dan Kak Max nggak mau nikah. Hasilnya malah aku yang jadi tumbal!"

Elai meremas seragam itu. Membantingnya ke lantai. Berusaha untuk menyalurkan emosi yang ia pendam. Tapi, tiap kali teringat tentang hal itu ... mau tak mau ia merasa kesal kembali.

Semua bermula dari beberapa bulan yang lalu –mungkin sekitar sembilan bulan yang lalu-. Itu adalah ketika untuk pertama kalinya Olivia Rawnie –sang kakak- dijodohkan dengan seorang pria yang bernama Maxwell Ferdinand. Semua orang mengira mereka akan saling menyetujui. Bagaimanapun juga, mereka berdua bisa dikatakan berteman akrab sejak kecil. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mereka berdua kompak menolak. Lebih dari itu, Max pun dengan terang-terangan telah memperkenalkan wanita pilihannya sendiri pada kedua orang tuanya. Maka otomatis saja perjodohan itu batal.

Mulanya Elai sama sekali tidak peduli bahkan kalau kakaknya yang sudah berusia tiga puluh tahun itu tidak menikah. Tapi, masalah itu pun kemudian tiba. Ketika orang tua mereka justru menuntut satu dari dua anak yang mereka miliki harus menikah dalam waktu dekat. Dan karena perjodohan Olivia gagal, maka otomatis dirinya yang harus menikah.

Elai keluar dari kamar mandi dengan berbalut sehelai jubah mandi. Seraya mengibaskan rambutnya yang masih lembab selepas keramas, ia melangkah menuju ke nakas. Menarik lacinya dan mengeluarkan satu buah ponsel dari dalam sana. Dan tak butuh waktu lama, ponsel yang tipenya tak tergolong baru itu menyala.

Elai duduk di tepi tempat tidur. Melakukan pemesanan makan malamnya melalui satu aplikasi tepat ketika jam telah menunjukkan jam setengah dua belas malam.

Selagi menunggu pesanannya, Elai mengembuskan napas lega. Pelan-pelan merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu. Matanya menatap lurus pada langit-langit kamarnya.

"Marcello Alfarezi?"

Elai mendengus ketika menyebut nama pria itu. Ekspresi wajahnya terlihat tak percaya.

"Seumur hidup aku nggak pernah lagi ketemu sama Marcel. Apa nggak gila kalau sekalinya ketemu justru di pesta pertunangan?"

Elai bangkit dari tidurnya. Mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Berusaha untuk mencegah desakan dirinya untuk menjerit.

"Mama dan Papa bener-bener nggak mikir?" tanyanya kesal. "Dan Kak Via juga? Gara-gara dia aku jadi begini!"

Kedua tangannya seketika naik ke atas kepalanya. Meremas rambutnya yang kusut lantaran keramas.

"Kenapa semuanya jadi malah kompak buat nyudutin aku kayak gini sih?"

Kali ini Elai merasa dirinya benar-benar akan meledak sebentar lagi. Mendorong dirinya untuk segera bangkit dan beranjak menuju ke dapur. Buru-buru menuang segelas air dingin dan meneguknya dengan rakus.

"Aaah!" desahnya lega. "Orang ngomong jadi anak bungsu enak. Dan ini bukti nggak enaknya! Aku yang jadi tumbal buat semuanya."

Bahkan saking kesalnya cewek itu, tanpa sadar ia membanting pintu kulkas. Seolah ingin menumpahkan semua emosi yang ia pendam. Dan melihat itu semua, maka rasanya wajar saja bila tadi pada akhirnya Elai mengambil langkah yang teramat ekstrim untuk dilakukan oleh dirinya.

Elai nekat membius seorang petugas hotel tempat pesta pertunangannya diselenggarakan. Bermodalkan sebotol kecil kloroform yang ia ambil dari sang kakak –yang kerap kali menyimpan bahan kimia penelitiannya di kamar-, ia berhasil melarikan diri di menit-menit terakhir sebelum acara itu berlangsung. Dan sekarang, ketika ia memikirkan hal yang telah ia lakukan, Elai merasa tak percaya bahwa ia berani melakukannya. Itu sangat berisiko. Ia tau itu. Tapi, lagi-lagi. Ketimbang ia harus pasrah menerima takdir perrjodohan yang tidak ia inginkan, ia justru memutuskan untuk berani mengambil risiko tersebut.

"Ah! Aku bisa nebak. Pasti sekarang orang-orang pada heboh nyari aku."

Hanya saja, ketika memikirkan itu Elai justru menyeringai. Dan itu bukan tanpa sebab. Dari awal ia meraba bahwa perjodohan kakaknya akan gagal, ia sudah mulai menyusun rencananya sendiri. Diam-diam ia membeli satu apartemen kelas elit. Ia akan aman berada di sana. Ditambah pula dengan ponselnya yang saat ini sudah berpindah tangan sementara kartunya sudah ia buang. Elai benar-benar yakin bahwa untuk sementara waktu ia bisa tetap bersembunyi.

"Hahahahaha. Elai ..., kamu bener-bener pinter!"

Setidaknya ... setelah melewati malam yang mendebarkan, Elai mampu tertawa pula pada akhirnya.

"Ting! Tong!"

Tawa Elai berhenti ketika ia mendengar suara bel unitnya berbunyi. Mengabaikan keadaan dirinya yang masih berbalut jubah mandi dengan rambut yang berantakan, ia pun beranjak ke pintu setelah terlebih dahulu mengambil dompetnya. Sekadar berjaga-jaga, Elai mengintip melalui lubang kecil di pintunya. Terlihat seorang pria yang menenteng satu kantong plastik. Mengenakan kaos polo bewarna putih.

Tidak mencurigakan sama sekali. Maka Elai pun langsung membuka pintunya. Tangannya terulur menyerahkan dua lembar uang bernominal seratus ribu rupiah.

"Ini, Mas," ujar Elai. "Kembaliannya ambil aja."

Edelia menunggu beberapa saat agar kurir itu mengambil uang yang ia sodorkan. Tapi, kurir itu hanya diam di tempatnya berdiri. Lalu ia mengangkat wajahnya.

Elai mengerjap sekali. "Mas? Ini duitnya."

"Edelai Rawnie ...."

Tangan Elai yang memegang uang itu seketika kehilangan kekuatannya. Layaknya tanpa tenaga, tangannya seketika jatuh lemas ke sisi tubuh. Matanya membesar. Jantungnya berdebar.

Ya Tuhan.

Elai seketika tau bahwa matanya yang membesar dan jantungnya yang berdebar bukan lantaran karena terpesona oleh ketampanan kurir di hadapannya. Melainkan karena ia menyadari bahwa tak mungkin ada kurir yang mengenal nama lengkap pelanggannya.

Elai meneguk ludahnya. Tubuhnya seketika saja gemetaran.

"Ka-ka-kamu ... siapa?"

Pria itu tampak mengangkat satu tangannya. Menunjukkan satu bingkisan di sana. Ekspresi wajahnya tampak tak terbaca.

"Kurir makan malam, Nona."

Keringat dingin terasa memercik di dahi Elai. Tentu saja ia tau bahwa itu bukanlah jawaban yang jujur.

"Si-si-siapa yang ngirim kamu ke sini?" tanya Elai dengan suara terbata. "Papa ...?" Lalu satu nama melintas di benaknya. "Marcel?"

Satu senyum tipis mengembang di wajah kurir itu. "Mungkin keduanya."

Berusaha untuk tidak terintimidasi, Elai buru-buru ingin menutup pintu unitnya. Tapi, tangan pria itu dengan kokoh menahannya.

"Ka-ka-kamu ...."

Sial!

Baru aja tadi aku ketawa-ketawa dan sekarang aku udah ketangkap?

"Kamu ... jangan macam-macam," kata Elai memperingatkan. "Sampai kamu macam-macam, awas kamu!"

"Macam-macam?" tanya pria yang tentu saja bukan kurir itu. "Bukankah Nona yang macam-macam?"

Elai memucat.

"Kabur dari pesta pertunangan sendiri ..., bukankah itu yang macam-macam?"

Pertanyaan itu sontak membuat Elai tanpa sadar mundur. Menyeret kedua kakinya dengan rasa takut.

"I-i-ini ... sudah hampir tengah malam. Pes ... ta itu pasti sudah berakhir."

Pria itu masuk dengan langkah enteng. Menutup pintu di belakang punggungnya. Tampak santai saja ketika berkata.

"Tentu saja. Lagipula Tuan Marcel dan semua keluarga sudah meninggalkan hotel sejak lama. Tepat ketika Nona nggak bisa ditemukan di mana pun."

Setidaknya hal itu membuat Elai merasa lega. Ia tidak akan bertunangan malam itu. Tapi ..., tetap saja.

"Terus buat apa kamu ke sini?!" bentak Elai kemudian. "Toh pestanya sudah batal. Aku dan Marcel nggak jadi tunangan."

Pria itu mengangkat bahu sekilas. "Dari yang saya tau, itu bukan nggak jadi. Tapi, belum jadi."

Mata Elai membesar. "Maksud kamu ...?"

"Saya diutus untuk memastikan Nona nggak bakal kabur lagi sementara tanggal pengganti ditetapkan."

"Hah?!"

Langkah gemetar Elai semakin tersurut ke belakang. Rasa dingin langsung merayapi tiap sisi tubuhnya. Tentu saja dengan satu pemikiran itu.

"Marcel ngutus bodyguard buat ngurung aku?"

Elai benar-benar tidak habis pikir. Ketika ia berpikir bahwa rencananya untuk kabur sudah berhasil, ia justru mendapati kenyataan bahwa hanya dalam hitungan jam yang amat cepat dirinya dapat ditemukan. Lebih dari itu, kegagalan rencananya justru diikuti oleh bencana. Hal yang lebih dari cukup untuk mampu membuat ia menjerit histeris.

"Yang benar aja!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top