9a. Putus
Khandra tak sanggup lagi menjawab. Tubuhnya segera berputar ke samping, membelakangi Asha. Sebenarnya, pembicaraan mengenai Tama adalah yang paling menyakitkan di antara pertengkaran-pertengkaran lain, bahkan melebihi persoalan perselingkuhan. Khandra masih bisa marah saat bertikai soal penyelewengan. Akan tetapi, bila menyangkut Tama, sebenarnya hanya ada rasa sakit yang sulit dimengerti, yang menggunduk besar di dalam kalbu. Kata-kata keji yang ia lontarkan hanya untuk menutupi harga diri yang terluka.
Jangan dipikir cuma kamu yang kehilangan, Sha. Aku juga. Tapi kamu terlalu sadis. Kenapa memperlakukan aku seperti binatang haram?
Sore itu, seusai bertanding badminton yang ternyata tidak berhasil membawa medali, ia disambut keramaian. Tetangga satu kompleks berkumpul. Saat menengok ponsel, ternyata terdapat puluhan missed call dari Asha dan Ketua RT mereka. Rupanya mereka menghubungi saat ia tengah bertanding sehingga panggilan itu terlewatkan begitu saja.
"Mas Khandra! Akhirnya kamu datang!" sambut Pak RT begitu tahu kemunculannya. "Bapak telepon-telepon tidak diangkat. Ke mana aja?"
"Habis pertandingan badminton, Pak."
Mata orang tua itu menyorotkan rasa prihatin. "Ya, sudah, mari temui istri dan anakmu. Tama tadi tiba-tiba kejang, terus ... waktu mau dibawa ke rumah sakit-"
Rasa panik seketika menyergap Khandra. Tanpa menunggu kalimat itu selesai, ia menghambur ke dalam. Di ruang tengah, terlihat istrinya bersimpuh, menangis di samping tubuh Tama. Sehelai kain batik ditutupkan hingga leher anak itu. Tangan Asha mengelus kepala yang membesar lebih dari anak seusianya.
"Sha?" panggil Khandra lirih. Ia tahu, sebentar lagi akan disembur. Akan tetapi, tidak menduga bahwa reaksi Asha sedemikian sadis.
Wanita itu menatap tajam sejenak, kemudian menuding. "Kamu! Buat apa pulang? Dia bukan anakmu!" Mata merah yang menyala mengerikan itu membuat Khandra ambruk di depan jenazah Tama. Tangannya terulur, hendak memegang tangan mungil yang pucat. Namun, Asha lebih sigap, memasang badan untuk menghalangi.
"Jangan sentuh! Hamil nggak kamu akui. Lahir nggak kamu tunggui. Sekarang meninggal buat apa kamu urusi? Pergi sanaaa!"
Asha memekik-mekik histeris. Beberapa ibu segera memegang untuk menenangkan. Khandra sendiri ditarik Pak RT keluar. Di kursi teras, ia membungkuk dan menutup wajah dengan tangan. Air mata merembes tak tertahan. Teganya Asha memaki suami sendiri di depan orang banyak. Tingkahnya sudah mirip pemain sinetron saja. Tidak tahukah ia bahwa dirinya pun sangat terpukul dan menyesal tidak turut menunggui anaknya meregang nyawa?
"Sudah, Mas. Mbak Asha baru kalap. Jangan diambil hati," hibur Pak RT.
"Saya nggak tahu kenapa Tama tiba-tiba begini. Padahal udah dioperasi." Tangis membuat bahu Khandra berguncang. Lelaki tua yang di sampingnya memberikan beberapa tepukan.
"Kata Mbak Asha, Tama panas dari tadi pagi."
"Ah, cuma hangat aja. Biasanya dikasih obat turun panas udah baik." Seserpih sesal menyusup. Tadi pagi, Asha memang minta diantar ke rumah sakit, tapi ia menolak.
"Ya, sudah. Nasi sudah menjadi bubur, Mas. Mbak Asha begitu karena Mas Khandra jarang di rumah."
Hati Khandra seperti ditusuk sembilu. Ia mau saja sering di rumah kalau Asha tidak galak. Siapa yang tahan dimusuhi sepanjang hari?
"Katanya sering main dengan teman-teman, ya? Perempuan, ya?" Pak RT melanjutkan pertanyaan.
"Enggaaaak, Pak! Siapa bilang? Itu fitnah Asha aja."
Khandra kontan berkelit. Padahal ia tidak menampik bahwa akun media sosialnya penuh chat pribadi dengan gadis-gadis cantik. Bahkan Asha pernah memergoki saat membuka ponselnya. Akan tetapi, tidak ada guna jujur pada lelaki ini, bukan? Memangnya orang tua ini mau memberi uang untuk biaya rumah tangga kalau ia jujur padanya?
"Yang penting, sekarang Mas Khandra minta maaf pada Mbak Asha. Kalau nanti punya anak lagi, tolong lebih perhatian. Jangan ditinggal-tinggal seperti Tama. Bapak sering kasihan, loh, kalau lihat Mbak Asha pontang-panting mengurus anak sendirian."
Aaarrrgh!
= Bersambung =
Besok apdet lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top