8a. How Empty (1)
Tak pernah terbayangkan tiba
Lelah membuat kita lupa
Apa yang pernah kita jaga
Tak berarti akhirnya
---NOAH---
Entah mengapa, dari speaker di langit-langit kamar perawatan sayup-sayup memperdengarkan lagi grup musik Noah. Ingatan Khandra otomatis kembali ke saat sebelum tragedi berdarah yang menimpanya. Saat itu pun ia tengah memikirkan perempuan ini.
Khandra meringkuk membelakangi Asha. Pelukan dan tepukan di dada sejenak berhasil meredakan perasaan yang carut-marut. Sudah berapa tahun ia tidak merasakan sentuhan wanita ini? Rasanya telah berabad-abad.
Khandra menggeser kaki karena mulai merasa kesemutan. Rasa sakit menyerang akibat kateter yang terpasang di kemaluan yang terluka bergeser. Khandra mendesis. Bukan hanya menahan nyeri namun rasa pedih itu sekaligus mengingatkan akan apa yang telah hilang dari tempat itu.
Apa jadinya bila barang itu tersisa satu sentimeter? Pendek sekali. Mana bisa digunakan untuk menyenangkan wanita? Benda itu hanya bisa dipakai untuk berkemih saja! Jangan-jangan buat buang air pun tidak sebagus dulu. Jangan- jangan ia harus pipis sambil duduk seperti perempuan.
Arrrggh!
Mau mati saja! Ia lelaki cacat! Hari depan apa yang bisa dinikmati oleh lelaki tanpa si adik kebanggaan? Ia masih muda, masih ingin bersenang-senang. Kalau alatnya seperti ini, untuk apa hidup?
Dada Khandra kembali naik turun tidak teratur. Sesak sekali. Sebagian isinya sudah disemburkan untuk membentak-bentak Asha. Mengapa perempuan itu masih mau menunggui? Padahal ia sudah melemparkan segala benda yang bisa diraih untuk mengusir, namun tetap tidak sanggup menggoyahkan kekerasan niat Asha.
Asha memang keras kepala. Ia sudah tahu sejak mengenal pertama kali ketika orientasi mahasiswa baru dulu. Mana ada adik kelas yang berani terang-terangan mengkritik peraturan panitia?
Dasar tukang ngeyel!
Asha kemudian ngotot untuk melahirkan anak mereka padahal ia tidak siap. Akhirnya begitulah, ia terusir dari rumah, dituntut untuk mengurus rumah tangga dan memberi nafkah.
Bah! Bikin repot aja! Ia masih ingin keluar bersama teman-teman, masa disuruh mengurus bayi?
Setelah itu, ternyata Tama menderita hidrosefalus[1]. Nah, kan? Coba dulu digugurkan. Tidak akan begini kejadiannya. Mungkin ia sudah bekerja di luar kota atau punya perusahaan konsultan sendiri.
Sejak mengandung dan melahirkan Tama, Asha menjadi galak melebihi anjing beranak. Setiap pulang ke rumah, ia merasa sedang memasuki sarang hyena. Setiap saat bisa disergap dan dicabik-cabik. Mengerikan.
Khandra memejamkan mata setiap mengingat masa lalu. Ia ingin lepas dari Asha dan mencoba berhubungan dengan beberapa perempuan. Akan tetapi, selain Krisan, tak satupun yang bertahan lama. Entah mengapa, semakin jauh bertualang, hatinya semakin sakit. Seolah hidup dan kakinya terikat dan berputar di sekeliling Asha saja.
Khandra mengerang, lebih untuk menumpahkan kekesalan. Ia berusaha telentang dan tidur setengah duduk karena seluruh tubuhnya pegal. Terutama bagian punggung yang terkena hantaman kursi.
"Masih sakit?" tanya Asha. Ia berdiri dan mengambil minum.
Khandra diam saja.
"Udah, jangan dipikir. Mau gimana lagi? Biar ditangisi juga nggak bakalan kembali," ujar Asha. "Krisan juga udah tahu. Semoga dia masih mau nerima kamu."
Krisan. Aaarrrgh!
Bagai dihantam gerobak, sesak hati Khandra. Gelas minuman langsung dilempar. Untung terbuat dari plastik sehingga memantul ketika menghantam lantai.
"Heei! Jangan anarkis gitu, dong!" tegur Asha. Kesal juga karena lantai menjadi becek.
"Pulang aja kamu! Ngapain di sini terus?! Pergi sana ke rumah pacarmu!" bentak Khandra tanpa ampun. Ia sudah terpuruk. Tak ada gunanya menahan diri lagi.
Lelah menghadapi orang yang marah-marah sepanjang hari, Asha pun tak mau peduli sopan santun lagi. Ia tak mau kalah. Orang egois sedunia ini agaknya membutuhkan tabokan keras.
"Ndra! Jangan teriak-teriak terus! Kamu mau perawat-perawat itu memanggil psikiater?" bentak Asha sembari berkacak pinggang dan mendelik maksimal.
Khandra diam, bukan karena menurut, tapi karena sudah bosan berteriak. Perempuan keras kepala itu tidak akan menyingkir sekalipun terjadi gempa bumi.
"Tahu rasanya sakit sekarang? Enak nggak? Makanya, waktu sehat jangan sok!" Asha melancarkan serangan.
Khandra melengos. Ia tahu ke mana arah pembicaraan sang calon mantan istri. Apa lagi kalau bukan tentang Tama.
Aaarrrggg! Itu lagi!
=Bersambung=
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top