6b. Tama Mahiswara (2)

Selama kehamilan, Khandra selalu menghindar. Menjalani kontrol kehamilan pun Asha sendiri. Sambil membawa perut yang mulai membesar, ia berjuang menyelesaikan proposal, sidang, dan akhirnya mengerjakan tugas akhir hingga selesai. Hanya saja, ia belum sempat maju sidang akhir karena keburu melahirkan.

Andai saja Khandra bisa diajak bekerja sama merawat bayi, atau setidaknya membantu mengongkosi agar punya asisten untuk menjaga Tama, Asha bisa menyelesaikan studi lebih cepat. Apa daya, nasibnya memang begini. Setelah jatah uang saku dari mertua berhenti mengalir, Khandra memang bekerja serabutan di kantor dosen. Tapi, begitulah. Uang hasil itu tidak pernah sampai ke tangan Asha. Kalau pun sampai, sangat kecil dan tidak rutin. Memintanya pun seperti mengemis.

"Ndra, bayar bidannya gimana?" tanya Asha sesaat setelah melahirkan.

"Aku cuma punya segini," ucap lelaki itu sembari mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan.

Kontan Asha mendelik. "Mana cukuuuppp?"

Khandra mengangkat bahu. "Minta mamamu, deh!"

Asha memejam dengan berlinang air mata. "Aku udah pasrah waktu kamu nggak mau ngantar dan nggak nungguin anakmu lahir. Tapi, paling enggak kasih aku ongkos, Ndraaaa! Tanggung jawab dikit, kek!"

"Kemampuanku cuma segitu."

Pekikan histeris Asha menyeruak tak tertolong lagi. "Kalau kamu nggak mau tanggung jawab, bunuh aja aku dan anak ini!"

"Kok baru sekarang ngomong gitu? Dulu udah aku suruh ke klinik, 'kan? Siapa yang mati-matian nolak, ha?"

Botol minyak telon melayang ke kepala lelaki itu. Asha terisak hingga sulit berbicara lagi. Bukannya menyadari kesalahan, Khandra justru pergi begitu saja tanpa kabar. Akan tetapi, sore hari, adiknya datang. Siswi SMA kelas sebelas itu menyerahkan sejumlah uang. Entah dari mana. Mungkin dari mamanya. Dengan bantuan perawan kencur yang untungnya masih punya hati itu, Asha mengurus diri dan anaknya hingga pulang ke kontrakan mereka. Paling tidak, ada perwakilan keluarga Khandra yang menyambut kehadiran anggota baru Mahiswara setelah kedua orang tua lelaki itu memutuskan hubungan.

Tak lama kemudian, kedua orang tuanya datang dari Malang. Asha sampai tidak tega. Beban mereka telah berat. Sebagai anak sulung, bukannya membantu, ia tapi malah menambah masalah.

"Bu, aku minta maaf. Aku salah, Bu," ratap Asha.

Ibunya hanya bisa mengelus kepala Asha dengan berurai air mata. "Kamu harus kuat. Cepat-cepat selesaikan kuliah, lalu cari kerja."

Ya, itulah yang ia lakukan. Sambil ditemani sang ibu, ia merawat Tama, dan mati-matian menyelesaikan kuliah.

Rasa kangen membuat Asha membuka galeri ponsel. Foto-foto Tama selalu dibawa ke mana pun, bahkan setelah beberapa kali berganti gawai. Bayi mungil itu lahir melalui persalinan normal di klinik bersalin milik bidan di dekat rumah. Beratnya 2,8 kg dan panjangnya 48 cm. Wajahnya lonjong dengan dagu runcing dan hidung mancung. Sekilas saja orang tahu wajah itu cetakan sang ayah. Bahkan bentuk alisnya pun serupa.

Asha menyeka air mata yang meleleh mengingat hari-hari bersama bayi mungil itu. Seperti tahu kehadirannya akibat kelalaian dan tidak diharapkan sang ayah, Tama tidak rewel, bahkan lebih sering tidur. Namun, ia cukup kuat menyusu. Menurut ibu Asha, bayi merah memang begitu. Waktu pun berlalu. Saat bayi lain yang seumuran mulai belajar duduk, Tama tetap senang tergolek. Asha akhirnya menyadari ada yang tidak beres pada putra semata wayangnya.

Mama sayang kamu, Nak. Kamu baru apa di sana? Main dengan malaikat?


---Bersambung---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top