5a. Tanggung Jawab
Sudah seminggu lebih Asha mual-mual. Setiap mencium bau bawang, ia ingin muntah. Bahkan hanya lewat di depan warung bakso, lambung tak menunda untuk bergolak dan mengeluarkan isinya. Akhir-akhir ini, hari-harinya disibukkan dengan persiapan tugas akhir. Banyak jurnal dan textbook yang harus dibaca sehingga baru sadar telah terlewat datang bulan hampir dua minggu.
Rasa cemas menggerumuti Asha. Dengan gemetar ia membeli test pack dan memeriksa air seninya. Seluruh dunia seakan runtuh bersama dua garis ungu yang muncul di alat tersebut. Asha terduduk lemas di kasur tanpa ranjang. Kamar kosan sempit yang sederhana itu semakin pengap saja. Menangis pun tak sanggup. Haruskah menjadi ibu di saat yang tidak tepat? Mengapa bayi ini tidak diletakkan di rahim wanita yang sudah bertahun mendambakan keturunan?
Sore itu juga, Asha membawa test pack tersebut saat menemui Khandra. Lelaki itu berhasil dijumpai di kosan temannya, sedang bermain gitar dan merokok.
"Aku mau ngomong," ucap Asha setelah menyeret lelaki itu ke kafe terdekat.
Khandra sebenarnya malas bertemu gadis itu. Pasalnya, sudah seminggu mereka menggelar aksi perang dingin. Asal muasalnya adalah Khandra jengah dicereweti tentang merokok serta diingatkan untuk segera menyelesaikan proposal.
"Ngomong aja. Kenapa merengut? Awakmu nesu maneh, ta?" (Kamu marah lagi?)
"Laopo kon nang nggone koncomu? Bukannya besok jadwal bimbingan? Udah sampai mana tinjauan pustakanya?" (Ngapain kamu di tempat temanmu?)
Khandra berdecak dan membuang muka. "Kamu kok nyebelin gini? Skripsinya pasti kelar kok. Lagian, aku cuma buang suntuk. Otakku panas mikirin proposal, tahu!" sahut Khandra ketus.
"Mana bisa selesai kalau gitaran melulu!" Asha tak kalah sengit.
"Mana bisa mikir kalau diomelin melulu!"
Asha mendelik sejenak, kemudian merogoh tas kecilnya. Sebuah stik kecil berwarna putih yang direkatkan pada amplop pembungkus diserahkan kepada Khandra. Pemuda itu mengerutkan kening melihat apa yang tertera di batang kecil itu. Dua garis ungu.
"Punya siapa ini?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Punyaku. Aku tes sendiri tadi pagi."
"Emang kamu udah telat berapa hari?"
"Dua minggu."
Kedua kaki Khandra bergoyang, jemari mengetuk meja tanpa irama, sedangkan wajah beralih menghadap dari satu sisi ke sisi lain. Jelas sekali lelaki itu panik.
Awan hitam langsung terbayang dalam benak Asha. Bila reaksinya begitu, jangan-jangan pemuda ini akan mengingkari perbuatannya.
"Kok bisa?" sergah Khandra.
Asha mengerutkan kening. "Ya, bisa. Kenapa enggak? Rahimku sehat dan benihmu bagus."
"Maksudku, apa benar itu dari benihku?"
Asha ternganga. "Maksudmu apa? Mau ngeles dari tanggung jawab? Apa perlu tes DNA?"
Khandra tidak menjawab. Asha semakin gusar.
"Kamu pikir aku perempuan murahan, mau digauli banyak orang?!"
Khandra berdiri, kemudian mengambil rokok dan menyulutnya sambil bersandar pada pagar teras kafe. Tak lama kemudian, ia berjalan hilir mudik dengan otak buntu. Bagaimana ia harus menghadapi kedua orang tuanya bila seperti ini? Bayangan tamparan lama sang ayah saja masih membekas. Bila teringat, tetap terasa panas. Itu cuma kesalahan yang menurutnya remeh-temeh. Bagaimana dengan ini? Bisa-bisa dirinya dibawakan setum dan dilindas.
"Kamu harus ketemu orang tuaku, Ndra," desak Asha. "Besok kita ke Malang, ya?"
"Besok bukannya bimbingan dengan Prof. Bambang?"
"Sesudah itu, dong?"
Khandra tidak menjawab. Pandangannya kembali mengarah ke halaman kafe. "Aku besok banyak urusan."
Asha mulai kesal. "Urusan apa lagi?"
"Bukan urusanmu!"
"Gimana bukan urusanku? Kamu sekarang udah jadi bapak, Ndra!"
"Itu karena kamu nggak hati-hati. Udah tahu masa subur kenapa mau diajak kumpul," Khandra menggumam tidak jelas.
"Kok aku disalahin? Emang bisa jadi anak kalau cuma aku sendiri? Kamu juga, kenapa main sosor, nggak tanya dulu aku masa subur atau enggak? Modal pengaman aja nggak mau!"
"Itu karena kamu mau aja digituin!"
☘--Bersambung--☘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top