4b. Hujan (2)

Malam itu, setelah lebih empat bulan bekerja dengan Khandra, mereka akhirnya menyelesaikan projek tepat waktu. Uang jerih payah telah berada di kantong dan siap untuk dipergunakan. Banyak yang ingin Asha beli, salah satunya kemeja batik untuk sang ayah.

Jam dinding telah menunjukkan pukul sebelas. Pegawai terakhir telah pulang. Begitu pula Asha dan Khandra. Keduanya memasuki mobil setelah mengunci pintu kantor yang berupa ruko kecil dua lantai tanpa penjaga. Hujan menyambut saat mereka memasuki mobil.

"Dingin?" tanya Khandra. Sebulan lebih bekerja bersama gadis ini, ia berhasil dekat. Ternyata Asha tidak segalak dugaan. Bila digoda dengan cara tertentu, tawa manis akan terburai renyah. Oh, sebulan yang bagai surga baginya!

"Enggak. Udah biasa di ruangan AC."

"Hmm, gimana kalau mampir cari makan?"

Asha menoleh. Tidak biasanya Khandra seperti ini. Entah mengapa, melihat wajah tampan itu hatinya luluh. Ternyata Khandra tidak sebengal dugaan. Ia bisa bekerja dengan cukup baik. "Boleh. Tapi yang dekat aja, ya."

"Yang dekat bakmi dan siomay. Pilih mana?"

"Bakmi."

"Oke."

Khandra menyalakan mobil. Baru jalan belum satu meter, mesin mati.

"Haaiissh! Kenapa lagi ini? Sha, tolong payungi, aku mau buka kap."

Asha menurut. Khandra melakukan apa yang dikatakan dan Asha memayungi. Tubuh mereka menjadi berdekatan. Bahkan beberapa kali bergesekan. Karena payung tidak dapat melindungi secara sempurna dari hujan dan angin, baju mereka tetap basah. Akhirnya, mereka memutuskan berteduh di dalam kantor.

"Kamu bawa kunci, 'kan? Yuk bikin kopi dulu. Aku kedinginan," ajak Khandra.

Asha pun menurut, membuntuti lelaki itu masuk ke kantor, duduk berdua di pantri dan minum kopi bersama.

Wajah Asha terlihat demikian manis saat rambutnya basah dan disinari temaram lampu. Demikian pula Khandra di mata Asha. Semakin menawan dengan tubuh atletis dan tulang rahang yang indah.

"Aku seneng bisa ngobrol santai begini sama kamu, Sha." kalimat yang diucapkan dengan nada yang dalam itu menyusup sela hati Asha dan membuatnya bergemuruh.

"Oh, ya? Bukannya kamu dulu benci banget sampai aku dihukum terus?" Asha mencibir untuk menutupi debaran hati. Malang, wajahnya merona merah dan Khandra yang mengetahuinya menjadi girang.

"Mana ada? Aku bucin kali, Sha," balas Khandra dengan percaya diri.

"Hah?"

"Beneran."

"Hah?" Dada asha bagai ditabuh, berbunyi riuh.

"Kok hah terus?"

"Buat apa dijawab kalau kamu nggak serius?"

"Loh, siapa sih yang nggak serius? Aku serius suka sama kamu dari pertama kali lihat kamu, Asha Carmenita!"

Asha mencibir kembali. "Bercanda jangan keterlaluan."

"Beneran kok. Kamu enggak, ya?"

Asha melengos. Mata Khandra yang berbinar telah mengungkapkan dengan tepat isi hatinya.

"Sha, jawab, dong?"

"Kamu mau dijawab apa?"

"Dijawab 'Aku juga cinta kamu, Khandra Mahiswara.' Begitu, Sha. Please...." Mata mendamba dan bibir tersenyum Khandra terlihat lucu sehingga Asha terkekeh-kekeh.

"Kamu aneh kalau begini!"

Akan tetapi, Khandra tidak sedang bergurau. Ia mengucapkan itu dengan sepenuh hati. Diraihnya cangkir kopi Asha, kemudian diletakkan di meja. Gerakan kecil itu sukses membuat tawa gadis itu terhenti. Tangan Khandra kemudian menggenggam jemari Asha yang lembut, mengecupnya sejenak.

Jantung Asha kontan berdetak tanpa irama. Sudah hampir sebulan ia merasakannya setiap berdekatan dengan pemuda ini, namun selalu ditahan. Takut harga dirinya terluka bila ternyata lelaki ini tidak memiliki perasaan yang sama. Akan tetapi, malam ini Khandra bahkan menyatakan perasaan. Oh, hati Asha melambung ke bintang-bintang!

"Sha, udah lama aku perhatiin kamu, tapi takut karena kamu serius banget kuliah." Tangan Khandra berpindah ke lengan Asha, menyusur lembut ke atas hingga bahu, kemudian berhenti sejenak di sana.

"Aku sayang kamu, Sha," bisiknya.

Asha gemetar antara kedinginan karena baju yang basah dan hati yang bergemuruh. Sentuhan itu memicu reaksi aneh yang membuat kakinya tidak tahu tengah berpijak di mana. Yang terasa dengan jelas adalah kaki itu mengajak bergerak mendekat ke tempat Khandra duduk.

Apalagi tak lama kemudian, tangan Khandra beralih dari bahu, merayap lembut ke leher. Ibu jarinya mengelus lembut pipi halus Asha.

"Kamu cantik banget, Sha," bisik Khandra. "Gimana, kamu mau jawab sekarang atau nanti?"

Suasana malam yang dingin dan sunyi telah membuat Asha kehilangan akal. Ia mengangguk begitu saja, terbius pesona Khandra. Bahkan menerima dengan suka cita saat bibir lelaki itu menyinggahi miliknya. Tak perlu waktu lama, mereka pun turun ke lantai dan saling menjamah dengan membara.

Waktu yang berlalu, dingin dan kerasnya lantai tak lagi mereka rasakan bila hasrat menguasai raga. Setelah semuanya usai, hanya tersisa deru napas, keringat, dan segunduk sesal. Dengan meringis nyeri, Asha meraba miliknya yang telah tertoreh dan meneteskan darah keperawanan.


---Bersambung---

Part 5 (1) besok, ya.

Besok mau double up? Beri komen api2 dulu banyak-banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top