3a. Lebih Buruk



Hari masih gelap, namun subuh telah menjelang. Asha tiba di IGD diantar oleh Jody. Ia turun di parkiran dan sang pacar menunggu di mobil. Begitu sampai teras, ia disambut oleh petugas polisi yang hendak meminta beberapa keterangan.

"Dia di mana sekarang, Pak?" tanya Asha. Sedari rumah Jody tadi, kening dan kedua telapak tangan tak henti dibasahi oleh keringat dingin. Otak boleh berpikir kejadian ini barangkali awal menuju kebebasannya. Akan tetapi, hati berkata lain. Apalagi hati kecil, menjerit panik, saat tahu apa yang terjadi.

"Sedang di ruang operasi. Sewaktu ditemukan warga di lorong apartemen, dia sudah dalam kondisi lemas karena banyak mengeluarkan darah," jawab polisi. "Silakan menemui petugas medis untuk keterangan lebih lanjut."

Ada rasa lega yang menyelimuti hati Asha. Setidaknya Khandra masih tertolong dan ada harapan untuk sembuh. "Pelakunya, Pak?"

"Sedang kami buru. Kami sudah mengamankan TKP, yaitu apartemen milik tersangka. Ibu jangan pergi jauh-jauh sebab sewaktu-waktu kami akan menemui Ibu bila dibutuhkan keterangan tambahan. Nah, silakan menemui petugas medis. Setelah itu, saya akan menjumpai Ibu kembali."

Perkataan itu menohok hati Asha. Kalau seperti ini, apakah perselingkuhannya akan dikait-kaitkan? Segudang kemungkinan buruk serta merta tercetus dalam benak.

Ah, sial!

Untuk pertama kali dalam riwayat petualangan, ia menyesali penyelewengan. Coba saja bila saat ini dirinya seorang istri setia, barangkali kondisi akan berbeda. Setidaknya, ia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi dengan kepala tegak.

"Boleh minta nomor telepon Ibu?" tanya polisi yang masih muda tersebut.

Asha memberikan nomor telepon yang diminta, kemudian mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena sempat mencurigai yang bersangkutan sebagai penipu. Diantar polisi tersebut, Asha mendatangi petugas medis. Setelah mendengarkan keterangan tentang kondisi Khadra, ia diarahkan ke ruang tunggu instalasi bedah.

Operasi Khandra baru saja dimulai. Kemungkinan akan memakan waktu cukup lama. Di tempat menunggu yang dingin itu, hanya ada dirinya. Ruangan yang terang benderang dan bersih tidak dapat membunuh suasana seram akibat memikirkan nasib seseorang yang tengah berjuang di bilik bedah.

Dering telepon memecah kesunyian. Panggilan dari Jody biasanya tidak berbunyi berkali-kali. Entah mengapa, saat ini Asha membiarkannya meraung cukup lama sebelum menyentuh tombol hijau.

"Gimana, Sha?" tanya Jody dengan nada khwatir. "Aku masih di mobil. Kamu pulang atau ditinggal?"

"Aku nggak tahu. Khandra masih di ruang operasi. Belum jelas kapan selesainya."

"Oh, urusan sama polisi udah kelar?"

"Sementara sih udah. Tadi cuma dimintai keterangan soal identitas dan latar belakang Khandra."

"Gimana kondisi si Katrok?"

Asha berdecak untuk memprotes. Ia dan kekasihnya menggunakan sebutan itu semenjak Jody bertengkar hebat dengan Khandra dan berakhir ricuh. Dua lelaki dengan harga diri terluka berjumpa. Begitulah, tangan dan kaki berbicara, menyerang tanpa ampun yang membuat keduanya masuk IGD karena luka robek yang membutuhkan jahitan. Nama Katrok sudah melekat di bibirnya, menjadi olok-olok yang menghibur. Akan tetapi, dalam situasi sekarang, betapa berbeda rasa yang ditimbulkan, terutama bila julukan itu diucapkan oleh Jody.

"Jangan ngomong katrok-katrok lagi, Dy."

"Emang nggak boleh?" tanya Jody. Nadanya seperti protes.

"Ck! Aku ngerasa kita nggak seharusnya olok-olok dia pas kondisi gini."

"Ah? Gimana kondisinya? Parah? Kritis?"

"Kata dokter di IGD tadi udah stabil. Dia banyak berdarah tapi nggak sampai mengancam nyawa. Tapi ...." Asha tidak sanggup melanjutkan. Tahu-tahu bahunya berguncang keras dan air mata berguguran begitu saja. Ia sendiri tidak tahu karena apa dan untuk apa.

Jody menjadi panik. "Sha, aku ke tempatmu!"

Tangis Asha terhenti sejenak. Di saat mengalami hal buruk seperti ini, ingin rasanya menyandarkan diri pada bahu seseorang. Akan tetapi, saat ini suaminya tengah berjuang untuk hidup. Pantaskah bila ia menghibur diri dengan selingkuhan? Ah, Asha memang membenci Khandra hingga ke sumsum tulang, namun di balik hati yang telah mengeras, masih ada secuil rasa kepatutan yang menuntut untuk dijaga.

"Jangan!"

"Hah? Kenapa? Kamu bisa handel sendiri? Aku mau bantu kamu."

"Jangan muncul sekarang, Dy. Aku khawatir ntar nambah masalah. Polisi sewaktu-waktu bisa minta keterangan tambahan. Aku nggak mau kamu terlibat kasus ini. Aku tadi sempat bohong kalau nginep di rumah keluarga. Repot kalau mereka tahu aku di tempatmu. Kamu paham, 'kan?"

"Kok jadi menjalar nggak jelas? Emang aku bakal terlibat apa?"

Buat pembaca yang penasaran, cerita ini udah tamat di KBM dan Karya Karya. Yuk meluncur ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top