11. Ujung Harapan
Khandra menatap Krisan dalam-dalam. Reaksi gadis itu tidak lagi membuat kaget. Sudah pasti kekasih yang telah dipacari selama dua tahun itu syok. Ia paham benar apa arti fisik yang tak sempurna. Bisa dipastikan mereka akan kehilangan malam-malam penuh gairah di mana dua tubuh bergulat panas di ranjang. Begitu pula sergapan manis di meja, sofa, meja dapur, atau kamar mandi. Ah, hampir semua sudut apartemen Khandra pernah dijajah oleh dua raga yang saling membelit. Semenjak memiliki apartemen sendiri, tak ada yang bisa menghalangi Khandra untuk menikmati kebersamaan dengan Krisan.
Apartemen itu dibeli dari hasil bekerja yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Separuhnya dari memeras sang ayah yang ketahuan memiliki simpanan baru. Lelaki itu mudah diakali. Kendati begitu, ia benar-benar bapak yang bejat.
Pernah saat Khandra masih SD dan Nina bayi, sang ayah meninggalkan mereka begitu saja. Katanya untuk mengerjakan proyek bangunan di luar kota. Saat itu, karir sang ayah sebagai mandor belum secemerlang saat ini dan ibunya hanyalah pengurus rumah tangga tanpa penghasilan. Mereka harus berhemat agar uang belanja cukup sampai akhir bulan.
Berbulan-bulan pergi, sang ayah tidak diberi uang. Hutang mereka di warung kompleks sudah menumpuk. Barang- barang yang bisa digadaikan sudah habis hingga akhirnya mereka hanya makan nasi dengan kerupuk. Saat akhirnya sang ayah datang setahun kemudian, dan ditagih hutang beramai-ramai, ibunya dipukul. Khandra membenci ayahnya sejak saat itu.
Kadang, seseorang yang melakukan kesalahan seperti diberi angin. Usaha sang ayah menanjak dengan cepat. Dari hanya sebagai mandor bangunan, ia meningkat menjadi kontraktor. Berbagai proyek dikerjakan dan mendatangkan hasil yang luar biasa. Mereka tidak pernah kekurangan makan lagi, bahkan bisa membeli rumah dan kendaraan yang lebih dari sekadar layak. Sayang, kelimpahan harta justru membuat sang ayah merasa di atas angin. Lelaki itu semakin jarang pulang.
Khandra masih lega, sang ayah tidak datang menjenguk. Entah apa yang akan dikatakan orang itu bila tahu ia terpuruk seperti ini. Pasti hanya cemooh dan nasihat kosong karena ia sendiri tidak menjalankannya.
"Aku kayak gini sekarang, Kris. Kamu nggak akan bahagia sama aku." Khandra berusaha menahan air mata sekuat mungkin. Bila fisiknya sebagai lelaki sudah tidak sempurna, paling tidak jangan sampai ketahuan menangis seperti perempuan.
Untuk beberapa detik, Krisan tidak sanggup menjawab. Segera ditutupnya selimut itu sembari meneteskan air mata. Khandra pasti malu sekali sehingga tidak mau ditemui. Seharusnya ia turut melindungi, namun malah melakukan kesalahan fatal dengan membuka aib itu di depan semua orang. Ah, rasanya menyesal sekali telah menuruti dorongan rasa ingin tahu.
"Maaf. Aku kemarin kepo banget."
Khandra melengos. Sudah telanjur. Semua orang sudah tahu. Bagaimana ia bisa menghadapi pandangan miring semua rekan di kantor nanti?
"Nggak pa-pa. Nggak ada yang perlu ditutupi."
"Ndra ... aku nggak tahu harus ngomong apa," rintih Krisan.
"Ya, nggak usah ngomong apa-apa." Nggak ada gunanya juga. Kamu hibur seperti apa pun, aku tetap cacat seumur hidup.
"Gimana kamu nanti--"
Khandra kontan melengos sembari menghela napas. Tidak perlu diperjelas, ia sudah tahu.
"Ya, aku nggak bisa, Kris." Air mata menggenang sudah. "Mau pakai apa?"
Krisan mengelus dan menciumi pipi Khandra dengan pilu. Hubungan manis mereka berubah menjadi kemalangan hanya dalam satu malam.
"Jangan nyerah gitu, Ndra. Pasti ada jalan."
"Kalau potongannya ada, masih bisa disambung. Punyaku kan nggak ketemu."
"Ndraa-aaa ...."
Khandra membelai wajah halus dengan sepenuh hati. Barangkali inilah kesempatan terakhir untuk menyentuh gadis ayu ini.
"Makanya, kita putus aja, ya, Kris?" pintanya lirih.
Krisan hanya menangis. Tidak mengiyakan, namun tidak pula menolak. Jawaban itu mengecewakan Khandra. Dalam hati, ia ingin melihat kekasihnya bertahan sebelum akhirnya setuju setelah dibujuk.
Setidaknya, kamu bisa berbasa-basi, 'Aku nggak bisa ninggalin kamu, Ndra. Aku terlalu sayang sama kamu.'
Nanti aku akan bilang, 'Aku udah nggak layak untukmu, Kris. Carilah lelaki lain yang masih utuh alatnya. Aku udah nggak jantan lagi.'
Yang terjadi adalah, Krisan berhenti menangis, kemudian bertanya dengan suara lirih, "Kalau putus, kamu gimana, Ndra?"
Secepat itu kamu berubah pikiran. Haaiiish! Berkhayal kamu, Ndra. Ini dunia nyata, bukan sinetron televisi!
Di dunia nyata, seberapa besar gadis cantik dan seksi, serta punya masa depan cerah seperti Krisan mau bersuamikan lelaki cacat yang tidak bisa memberi kepuasan? Khandra mengembuskan napas. "Ya, enggak nggak tahu."
Mendengar itu, Krisan meratap kembali. Kali ini Khandra tidak merasakan apa-apa. Tangisan itu pasti hanya setingan.
"Kita masih bisa temenan, 'kan?" tanya Krisan setelah berlembar-lembar tisu dihabiskan.
"Kita sekantor. Masa mau musuhan?"
"Oh, iya."
"Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik, yang sempurna dan nggak cacat."
"Jangan ngomong gitu!"
"Emang aku harus ngomong apa? Kenyataannya aku cacat!"
Krisan merasa serba salah. Pasti Khandra sangat sakit hati. Akan tetapi, bukankah Khandra sendiri yang menginginkan putus? Perpisahan ini bukan kesalahannya.
"Maafin aku, Ndra. Aku doain kamu bahagia."
Sekali lagi, Khandra mengeluh dalam hati. Ternyata cuma segini cintamu, Kris.
Kesunyian kemudian menyelimuti ruangan itu.
"Ndra, maaf sekali lagi. Aku nggak bisa nginap di sini." Kata-kata Krisan memecah kesunyian.
Khandra tidak merasakan apa-apa lagi. Hatinya tiba-tiba membeku. "Iya, pulang aja. Aku nggak pa-pa, kok."
"Kamu sendirian, dong? Nggak takut?"
"Asha bentar lagi datang." Khandra berbohong. Ia bisa menduga bersama siapa istrinya saat ini. Asha sudah sangat baik mau menemani tiga hari. Pasti mereka tengah melepas rindu. Biarlah. Toh, ia hanya ingin sendiri dan menyepi.
☆☆☆
Sendirian di kamar, Khandra tidak dapat tidur. Tangan kembali meraba kemaluan yang kosong. Krisan pergi karena ini. Asha pun sudah menemukan pengganti yang lebih baik. Jody mungkin tidak setampan dan setinggi dirinya, tapi ia jauuuh lebih kaya. Jangan lupa, saat ini ia kalah telak karena tidak lagi memiliki Mr. P.
Bayangan ayah, ibu, Jody, Asha, dan orang-orang yang telah ia lawan dengan angkuh bergantian muncul. Oh, ia tidak sanggup menghadapi mereka! Begitu pula teman-teman sekantor, pasti akan menatap iba.
Oh, tidak! Akan sehina apa dirinya di mata orang-orang? Ia Khandra Mahiswara. Masa harus menerima belas kasihan? Ia tak sanggup menanggung beban itu! Lebih baik mati!
Buah apel yang dibeli Asha siang tadi berwarna merah segar dan sangat manis tersusun di atas nakas. Sungguh mengundang hasrat untuk mencicipi. Ia duduk dengan hati-hati, kemudian menggeser diri perlahan mendekati tempat buah. Dengan tangan yang bebas infus, diraihnya sebuah. Saat itulah sebilah benda berkilau tertangkap mata. Pisau yang dibawa Asha untuk mengupas apel.
Entah setan atau malaikat yang dipecat yang hadir di ruangan itu. Sebuah bentangan rencana untuk keluar dari masalah tiba-tiba muncul. Bagaimana bila memang hanya ada satu jalan keluar? Ia tidak mau hidup dalam kehinaan.
Pisau pun digenggam. Tangan itu sedikit gemetar saat mendekat ke leher. Khandra mengambil napas dalam. Niatnya sudah bulat untuk mencoba. Siapa tahu tidak sakit. Sambil memejamkan mata, genggaman pisau dipererat. Sisi tajam pisau didekatkan ke kulit di mana di bawahnya terdapat nadi leher.
Semua akan segera berakhir ....
☆---Bersambung---☆
Komen please ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top