8. I do
Love you to death...
###
Part 8
###
Segera ia berjalan menuju tasnya dan memungutnya untuk mengambil ponselnya dan akan menghubungi Brian untuk menceritakan semuanya yg kemudian akan membuat dadanya kembali bernafas dengan lancar dan tenang.
Namun,
Tiba-tiba jemari tangannya menghentikan panggilan yg belum sempat di jawab oleh laki-laki itu, karna suara hangat dan lembut Brian memenuhi indera pendengarannya.
'Walaupun sangat sulit tapi kau harus melupakannya. Perasaanmu akan lebih baik dan ringan jika kau melepaskannya dengan ikhlas dan tidak mengingatnya lagi. Dan sekarang tidurlah. Ini akan sedikit membantu untuk saat ini.'
Pasti itulah kalimat yg akan di katakan oleh Brian. Dan nasihat itu selalu berlaku untuknya selama ini.
Tapi saat ini...
Bukan kata-kata itu yg di perlukannya saat ini.
Bukan kata-kata yg membuatnya nyaman yg di butuhkannya saat ini.
Saat ini yg di butuhkanya adalah...
"Frian..." Gumam Fiona lirih pada dirinya sendiri saat tiba-tiba sosok pria itu muncul di pikirannya.
Ia bahkan dengan jelas mengingat semua rasa sakit yg baru saja di berikan padanya agar dia bisa membalasnya dengan luka yg lebih dalam lagi. Ia tidak mau menyia-nyiakan rasa sakit yg di alaminya begitu saja.
Yang benar-benar di butuhkannya saat ini adalah orang yg bisa membantunya melakukan keinginannya tanpa harus merasa jahat dan buruk di hadapan orang itu. Keinginan yg sudah lama ia ingin lakukan, kali ini harus benar-benar terjadi. Dan Frian beserta kesepakatan yg telah di tawarkan padanya adalah pilihan yg paling tepat.
Fiona segera mencari nomor Frian di kontaknya dan segera menghubunginya.
"Hallo..." Frian menjawab panggilan Fiona di deringan kedua dengan suara datar dan dinginnya yg sudah sangat familiar di telinga Fiona.
Fiona diam, mulutnya tiba-tiba membeku saat mendengar suara Frian. Ia merasa air matanya kembali mengalir membasahi wajahnya yg masih lembab. Tangan kirinya menutup mulutnya karna tiba-tiba saja isakan tangisnya tak tertahankan saat mendengar suara Frian. Semua emosi mengendap di dasar hatinya.
"Hallo...Fiona?" Suara Frian berubah mulai terdengar penuh kekhawatiran. "Kenapa dengan suaramu? Apa kau baik-baik saja? Apa terjadi ses..."
"Aa...pa..." Fiona berusaha mengeluarkan suaranya yg terasa seperti bola duri melewati tenggorokannya.
Frian menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Hatinya terasa sangat sesak mendengar suara Fiona dari seberang yg terdengar seperti isakan tangis yg tertahan.
"Kau di mana? Apa kau di rumahmu?" Potong Frian kini dengan suara pelan dan lebih hangat. Ia tidak memerlukan Fiona menyelesaikan kalimatnya, karna ia merasa Fiona saat ini bahkan tidak akan mampu untuk menyelesaikan kalimatnya.
Fiona mengangguk tanpa suara. Bagaimana Frian bisa tahu kalau dirinya hanya mengangguk yg tentunya tidak akan di lihat oleh Frian. Iapun berniat membuka mulutnya untuk menjawab Frian agar Frian tahu dirinya ada di rumah. Namun ia membatalkan niatnya saat Frian kembali berbicara.
"Kalau kau di rumahmu. Keluarlah dan tunggu aku di depan rumahmu sekarang. Aku ke sana sekarang juga." Pintah Frian dengan nada tanpa meminta persetujuan dari wanita itu.
Sekali lagi Fiona hanya mengangguk tanpa suara. Ia merasa sedikit lega karna tidak perlu mengeluarkan suaranya yg terasa sangat menyakiti tenggorokannya jika ia memaksa mulutnya untuk berbicara.
Dan Frian memutus panggilannya karna menganggap diamnya Fiona sebagai jawaban 'iya'
###
Fiona duduk meringkuk memeluk kedua kakinya di sebelah pohon yg tertanam di pinggir jalan beberapa meter dari pagar rumahnya. Udara malam yg dingin menembus kulitnya karna baju yg di pakainya sangat tipis.
Matanya menatap kosong kakinya yg telanjang dan jalanan yg ada di depannya. Masih terasa basah walaupun sudah beberapa kali ia mengusap dengan tangannya. Bahkan wajahnya terasa perih karna saking seringnya ia mengusapnya.
Fiona tidak sadar berapa lama ia terduduk menunggu Frian. Yang ia sadari hanyalah ketika Frian tiba-tiba muncul di depannya. Ia tahu itu adalah Frian walaupun hanya sepatunya saja yg di lihatnya saat ini.
"Berdirilah." Ucap Frian dengan suara yg terdengar tertahan di tenggorokannya.
Fiona segera mendongakkan kepalanya mendengar suara Frian memenuhi indera pendengarannya. Tatapan penuh harapan dan tekad bercampur dengan tatapan penuh luka dan kehancuran tergambar jelas di matanya ketika ia beranjak dari duduknya dengan perlahan.
Frian membeku begitu Fiona tepat berada di hadapannya dan bisa melihatnya dengan jelas. Melihat dengan sangat jelas potongan rambut Fiona yg berantakan dan luka di dahi Fiona dengan darahnya yg sudah mengering. Dengan tangannya yg bergetar ia menangkup wajah Fiona. Memeriksanya sekali lagi untuk memastikan bahwa pemandangan yg ada di hadapannya ini tidaklah nyata. Tapi berulang kali Frian mengerjabkan matanya ia tetap di hadapkan pada sosok tak berdaya dengan tatapan penuh kehancuran yg berdiri di hadapannya.
"Apa yg terjadi? Siapa yg melakukan ini padamu?" Frian memuji pengendalian dirinya bisa mengeluarkan suaranya dengan sangat tenang walaupun hatinya berteriak ingin memaki dan menyumpahi siapa saja yg berani melakukan ini terhadap wanitanya.
Ya. Fiona harus menjadi wanitanya jika tidak ingin dirinya semakin gila memikirkan wanita ini akan menghabiskan hidupnya di dalam neraka yg di berikan oleh ibu kandungnya.
"Aa...apa...aku masih bisa...apa...aku masih punya kesempatan...untuk menjadi...wanitamu?" Suara Fiona bergetar hebat dan terdengar sangat lirih dan penuh kehancuran. Ia tak bisa menahan lagi tangisan yg memaksanya ingin keluar, "Apa kau masih mau...apa aku masih punya kesempatan dengan keadaanku yg seperti ini?"
Dengan tangan kirinya yg masih menangkup wajah Fiona, tangan kanan Frian terangkat untuk mengusap rambut Fiona yg sudah tak berbentuk lagi. Rasa sakit dalam tatapan mata Fiona benar-benar menusuknya tepat di ulu hatinya, begitu jelas dan intens membuatnya seakan jantungnya di paksa keluar dari tubuhnya secara mendadak dan tanpa persiapan apapun.
Buru-buru Frian menarik Fiona ke dalam pelukannya karena ia tidak tak sanggup lagi menatap tatapan penuh kelukaan dan kehancuran itu. Sekaligus menyembunyikan matanya yg mulai berkaca-kaca dari Fiona.
"Aku...aku benar-benar tidak bisa menahannya lebih lama lagi." Ucap Fiona di sela-sela isakan tangisnya. "Aku benar-benar tidak bisa memaafkan mereka. Aku tidak mau memaafkan mereka."
"Kalau begitu jangan." Jawab Frian dengan nada tegas dan tak terbantahkan. "Buat mereka menyesal telah melakukan ini padamu. Buat mereka merasakan rasa sakit yg kau rasakan saat ini. Jangan pernah memaafkan mereka. Jika hatimu akan atau ingin memaafkannya, maka ingatlah rasa sakit ini. Buktikan pada mereka kau mampu dan kuat dan tidak pantas di perlakukan seperti ini."
Fiona merasaka air matanya mengalir semakin deras dan membanjiri pipinya,membasahi jas yg di pakai oleh Frian. "Aku tidak punya apapun selain diriku yg bisa kupakai untuk menerima tawaranmu."
"Kau..." Frian melepas pelukannya, memegang kedua bahu Fiona dengan kuat namun tidak menyakitinya. Setelah sejenak menatap wajah yg bersimbah air mata itu, Frian mengangkat tangan kanannya untuk mengusap air mata Fiona yg sudah tak berbentuk lagi di wajahnya yg cantik. "...kau hanya perlu menjadi wanitaku."
Fiona diam.
Frian menatap mata Fiona dengan sangat intens. Tangan kanannya pindah ke tengkuk Fiona dan menarik wajah Fiona mendekat ke wajahnya. Ia menundukkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Fiona dan mendaratkan bibirnya tepat di bibir Fiona. Dengan mata terpejam, tangan kiri Frian kini turun memegang pinggang Fiona dan semakin merapatkan pelukannya.
Fiona terbelalak kaget dengan apa yg di lakukan Frian padanya. Ia merasakan sesuatu bergelenjar aneh di hatinya saat bibir Frian menyentuh bibirnya. Nafasnya tertahan melihat Frian yg memejamkan kedua matanya dan menikmati kelembutan bibirnya. Perasaan pedih yg dari tadi melingkupi hatinya seketika berubah menjadi kegugupan yg berusaha ia sembunyikan. Terutama detak jantungnya yg mendadak berdegup dengan sangat kencang dengan irama yg tak beraturan.
Fiona berniat mundur untuk melepas ciuman Frian yg semakin merapat, akan tetapi Frian malah mengeratkan pelukannya di tengkuk dan pinggangnya. Tidak membiarkan dirinya sedikitpun untuk menjauh darinya. Membuat Fiona hanya bisa pasrah dan berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan memejamkan matanya. Udara malam yg sebelumnya terasa dingin menusuk kulitnya kini mulai terasa hangat dengan dekapan dan ciuman yg Frian berikan padanya.
Ya, sekarang ia adalah wanitanya Frian. Membuat nalurinya mengikuti permainan Frian. Membalas ciuman pria itu. Meluapkan segala kemarahannya pada bibir Frian. Membalas setiap lumatan Frian. Dan mencari apapun yg di butuhkannya pada pria itu.
Frian melepaskan ciumannya saat mereka telah kehabisan nafas karna ciuman itu. Tanpa melepas pelukannya ia menempelkan dahinya di dahi Fiona dan melihat Fiona yg masih memejamkan matanya dengan nafas yg tidak kalah terengah-engahnya dengan dirinya. Ia menyukai hangat dan harum nafas Fiona yg menguar di wajahnya.
"Jangan menangis lagi." Bisiknya sambil menghapus air mata Fiona yg masih membasahi pipinya. Kemudian tangannya turun dan mengusap bibir Fiona lembut dan perlahan dengan ibu jarinya, "Karna mulai sekarang hidupmu adalah sebagai wanitaku."
###
"Kenapa kita ke sini?" Tanya Fiona ketika Frian memarkirikan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang lima.
"Apa sekarang kau masih bisa tidur di rumahmu?" Tanya Frian balik bertanya pada Fiona.
Fiona diam membenarkan pertanyaan Frian, jujur saja ia lebih memilih duduk kedinginan di luar seperti saat menunggu Frian daripada di dalam rumah yg sudah seperti neraka baginya selama bertahun-tahun belakangan ini.
Hanya saja ia tidak pernah terpikirkan akan menginapdi hotel berbintang seperti ini. Semalam tidur di sini akan menghabiskan gajinya selama sebulan beserta lemburnya untuk kamar yg paling murah. Apa dia harus menghabiskan kerja kerasnya selama sebulan hanya untuk tidur di atas kasur di dalam hotel ini?
"Aa...aku bisa menginap di rumah tem..."
"Turunlah." Pintah Frian sebelum Fiona menyelesaikan kalimatnya sambil membuka pintu mobil dan beranjak keluar.
Fiona terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk menolak perintah Frian. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa biaya kamar di hotel ini sangat di luarkemampuannya.
'Sepertinya aku harus merelakan tabunganku' Batin Fiona saat Frian benar-benar membuka pintu untuknya membuat Fiona mau tak mau keluar dari dalam mobil.
Setelah mengambil 3 tas belanjaan dan sebuah kantong plastik putih di jok belakang, Frian melangkah mendekati lobi hotel. Fiona tidak tahu apa yg ada di dalam 3 tas belanjaan tsb dan tidak mau tahu karna sudah ada sejak ia masuk kedalam mobil Frian. Dan yg ada di dalam kantong plastik putih, Frian baru saja membeli sesuatu di apotek tadi.
Dalam diam Fiona mengikuti langkah Frian yg berjalan memasuki lobi hotel, berhenti sejenak di lobi untuk check in. Fiona sesekali menundukkan kepalanya untuk memalingkan wajahnya dari beberapa orang yg menatapnya aneh penuh pertanyan mengenai penampilannya yg berantakan, sangat berantakan malah. Paling tidak pemandangan sandal santai berwarna coklat tua milik Frian yg sangat kebesaran untuk kakinya yg mungil, lebih membuatnya tertarik.
Melihat itu Frian merangkulkan tangannya di bahu Fiona.
"Jangan pedulikan mereka." Ucap Frian pelan tanpa menoleh ke arah Fiona.
Ucapan dan rangkulan Frian di bahunya membuat Fiona mendongakkan kepalanya menatap wajah Frian dari samping.
'Apa kau tidak malu dengan penampilanku yg sudah seperti gelandangan ini?' Tanya Fiona dalam hati sambil menatap trenyuh ke arah Frian. Hatinya merasa tersanjung dengan sikap Frian yg tanpa rasa malu sedikitpun membalas tatapan orang-orang di sekitar mereka dan balas menatapnya dengan tatapan dingin, tajam dan penuh dominasi yg membuat orang-orang tersebut memalingkan mukanya dengan salah tingkah dalam beberapa detik.
Keduanya menghentikan langkahnya menunggu lift terbuka. "Berhentilah menatap wajah tampanku. Kau tidak perlu terpesona seperti itu."
Fiona tersentak dari lamunannya dan langsung mengalihkan tatapan dari Frian dengan kegugupan yg berusaha seketika ia sembunyikan. Dan ia terlalu lelah untuk menanggapi ucapan Frian yg selalu penuh kearogansiannya. Selain itu rangkulan Frian di bahunya entah mengapa membuatnya merasa sangat nyaman setelah semua yg ia alami malam ini.
Fiona melihat sekeliling kamar yg baru saja mereka masuki penuh ketidak percayaan. "Kenapa kau memilih kamar ini? Apa kau benar-benar akan menguras habis tabunganku? Kau tahu ak..."
"Masuklah ke kamar mandi dan bersihkan dirimu." Potong Frian sambil meletakkan barang barang yg di bawanya di atas meja kaca yg ada di tengah ruangan. "Dan tenang saja. Aku tidak akan merampok tabunganmu. Aku yg akan membayar..."
"Tidak. Aku tidak mau..." Tentu saja ia tidak akan menggunakan uang milik Frian untuknya.
"Kau adalah kekasihku. Jika kau melupakannya." Jawab Frian tegas dan tak terbantahkan.
'Ok. Baiklah. Aku memang melupakan hal itu.' Fiona menghembuskan nafas berat dan tanpa mengatakan sepatah katapun, langsung melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi.
Baru beberapa menit yg lalu ia menjadi kekasih pria angkuh itu, jadi wajar saja jika ia melupakannya. Sudah banyak kejadian hari ini yg membuatnya penat tanpa harus berdebat dengan Frian yg ia tahu ia tidak akan pernah menang. Dan ia juga tahu Frian akan melakukan apapun semaunya sendiri tanpa memikirkan pendapat dan keadaan dirinya.
Fiona terperanjat kaget ketika keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian dan masih mendapati Frian duduk santai di sofa, membuat Fiona seketika memegang jubah mandinya menutupi dadanya yang sebenarnya memang sudah tertutup rapat, "Kau....apa yang kau lakukan disini?"
"Kau sudah selesai?" Tanya Frian tenang sambil mengalihkan pandanganya dari layar televisi yang menyala kearah Fiona yang berdiri di depan pintu kamar mandi tampak gugup.
"Apa .....apa kau tdk pulang?"Tanya Fiona salah tingkah. Bagaimana tidak, ia hanya mengenakan jubah mandi untuk menutupi tubuhnya dan ada seorang pria dewasa di ruangan yg sama.
"Kenapa?" Frian menatap mata Fiona dengan pandangan yg tidak di mengerti oleh Fiona. "Apa kau takut aku akan melakukan sesuatu padamu?"
'Ya.'
'Tentu saja aku takut.'
Bagaimanapun aku adalah wanita dewasa dan kau adalah pria dewasa.'
'Mengantisipasi hal yg paling buruk terjadi bukankah memang hal yg seharusnya.' Jawab Fiona dalam hati.
Dan ia tidak mungkin mengucapkannya lewat mulutnya karna tahu Frian akan menjawab kalau dia adalah kekasihnya dan itu adalah hal yg wajar di lakukan oleh sepasang kekasih mengingat pergaulannya Frian penuh kebebasan seperti teman-temannya.
"Tidak. Hanya saja...hanya saja ini sudah larut malam." Fiona mengucapkan alasan paling masuk akal yg muncul di otaknya sambil melirik jam dinding yg sudah menunjukkan pukul 10.55 PM.
"Apa itu berarti kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu? Dan sekarang masih terlalu sore untuk pulang bagi sepasang kekasih yg masuk ke dalam hotel."
Kalimat Frian membuat Fiona membeku di tempatnya. Wajahnya tampak merona setelah mencerna kalimat-kalimat Frian. Menelan ludahnya mengingat ciuman mereka beberapa saat yg lalu. Membuat tubuhnya mulai kembali memanas saat baru saja ia menyegarkan dirinya dengan mandi.
"Kita baru beberapa menit yg lalu menjadi sepasang kekasih." Fiona menatap horor ke arah Frian.
Frian terkekeh geli melihat reaksi Fiona yg menganggap serius ucapannya. Iapun beranjak dari sofa, melangkah mendekati Fiona dan segera menarik Fiona dengan cepat saat wanita berniat menghindarinya dengan melangkah mundur.
"Tenanglah. AKu tidak akan menyentuhmu."
Fiona melirik tangan Frian yg sudah memegang lengannya dengan tatapan 'lalu apa yg kau lakukan sekarang?'
"Maksudku... menyentuhmu dalam artian lain jika kau memahaminya."
Fionapun hanya diam dan menuruti Frian yg menuntunnya menuju sofa putih dan mendudukkanya tepat di sampingnya. Melihat Frian yg bergerak mengambil kantung plastik diatas meja kaca dan mengeluarkan sebuah salep berwarna putih, kapas, perban dan alkohol dari dalamnya.
Fiona menundukkan kepalanya menghindari tatapan Frian yg begitu dekat saat Frian mengobati luka di dahinya. Ia merasa sangat canggung jika Frian tampak hangat seperti sekarang. Nafas hangat Frian yg menerpa wajahnya membuatnya tampak semakin gugup. Dan ia hanya bisa mengerutkan dahi dan menelan ludah jika lukanya terasa perih saat Frian membersihkan lukanya dengan alkohol.
"Apa tidak perih?" Tanya Frian tiba-tiba membuat Fiona tersentak dari lamunannya.
"Aku...aku bisa melakukannya sendiri." Fiona mejauhkan tubuhnya dari Frian.
"Apa hari kamis depan kau akan ikut kepesta?" Tanya Frian lagi sambil menarik tangan Fiona untuk mendekat lagi kepadanya dan kembali melanjutkan mengobati luka di dahi Fiona dengan salep.
Fiona diam sejenak memikirkan jawaban yg akan di ucapkannya pada Frian. Kalau luka di dahinya sudah membaik saat pesta di adakan mungkin dia akan datang, tapi jika lukanya belum membaik tentu saja dia tidak akan datang. Bahkan untuk besok saja dia bingung memikirkan alasan untuk tidak masuk kerja. Tidak mungkin ia pergi bekerja dengan luka dan potongan rambut yg sangat berantakan seperti ini.
"Entahlah, mungkin saja tidak. Kau lihat sendiri bagaimana keadaanku."
"Kau harus datang."
Fiona mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
"Karna hari itu adalah kesempatan yg bagus untuk memperkenalkanmu pada Mama secara resmi. Semoga saja lukamu sudah membaik saat itu."
"Apa?" Fiona terperanjat kaget dan menatap Frian tak percaya. "Apa kau sudah gila?"
"Kenapa?" Tanya Frian datar dan masih serius mengoleskan salep di dahi Fiona. "Bukankah ini kesepakatan yg sudah kita setujui?"
'Ya ini memang kesepakatan yg di tawarkan oleh Frian dan dia telah menyetujuinya, tapi... bagaimana bisa secepat ini' Fiona merutuki dirinya menyadari kebenaran ucapan Frian, "Hanya saja...hanya saja ini terlalu cepat."
"Cepat atau lambat tetap saja ini yg akan terjadi." Frian selesai mengoleskan salep di luka Fiona dan meletakkan salep itu kembali ke atas meja. Kemudian mengambil perban & plester di atas meja. "Besok jangan kemana-mana. Jam 10 akan ada penata rambut yg datang kemari."
"Aku bisa pergi ke salon sendiri." Ucap Fiona.
"Bisakah kau tidak membantah ucapanku sekali saja?" Ucap Frian dengan tatapan tak terbantahkan.
Kemudian pandangan beralih ke arah dahi Fiona memakaikan perban dan plester untuk menutupi lukanya. Setelah selesai ia beranjak dari duduknya.
"Pakai ini." Frian menunjuk tas belanjaan yg ada di atas meja kaca.
"Sepertinya ukuranmu dan Finar sama." Frian memandangi Fiona dari atas sampai ke kaki dengan tatapan aneh dan menggoda.
Tatapan Frian padanya membuatnya salah tingkah dan memandang berkeliling kamar untuk menghindari tatapan Frian, apalagi ia merasakan pipinya memanas yg ia yakini karna pipinya merona malu.
"Aku pergi dulu dan..." Frian menghentikan kalimatnya, lalu menunduk untuk mengecup pipi Fiona dan berbisik lembut dan mesra, "...selamat malam."
Kecupan dan bisikan lembut Frian membuat Fiona tertegun.
Ini pertama kalinya seorang lelaki mengecup pipinya.
Tapi kenapa bisa memiliki efek yg berbeda untuk tubuhnya?
Mungkinkah karna Frian yg telah mencuri ciuman pertamanya?
'Ya, mungkin karna itu.' Jawab Fiona dalam hati.
Frian kembali menegakkan badannya dengan senyum penuh kepuasan, kemudian membalikkan badannya dan melangkah menuju pintu kamar membuat Fiona bernafas lega setelah Frian menghilang di balik pintu.
Sekarang, Frian adalah kekasihnya. Ia telah bersedia untuk menjadi wanita milik seorang Frian Alandra Sagara.
Kehidupan barunya telah di mulai.
###
Thursday, 29 September 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top