7. Enough!!!
Love you to death...
###
Part 7
Enough!!!
###
Fiona termenung. Memandangi bayangan dirinya di cermin kamar mandi dengan pandangan kosong.
Berbagai macam pikiran Berkecamuk di kepala. Perasaan muak dan marah pada ibu kandungnya, membuat Fiona seketika ingin menerima tawaran Frian. Namun, ia juga tidak ingin menolong Arya yang sangat ia sayangi seperti ayah kandung dengan cara kotor seperti ini.
Lagi pula, semua ini hanya permainan Frian yang memanfaatkan perasaan sayangku terhadap om Arya dan dendamku pada Mama. Fiona m
Fiona pun mulai memikirkan kata-kata penolakan yang akan ia berikan pada Arya. Dan belum sempat terpikirkan satu kata pun. Fiona sudah bisa membayangkan dengan jelas raut kecewa lelaki paruh baya itu. Membuatnya merasa menyedihkan melihat dirinya sendirilah yang mengecewakan Arya. Tidak seharusnya ia menjadi manusia tidak tahu berterimakasih seperti ini.
Tiba-tiba terlintas ingatan kecelakaan yang menewaskan ayah kandungnya tiga belas tahun lalu.
Sebuah mobil van hitam menabrak sepeda motor yang dinaiki Fiona dan Ayahnya. Fiona terpelanting jatuh di tengah-tengah jalanan yang berlawanan arah. Dengan luka goresan di sebagian besar tubuh sebelah kanan, ia mendongakkan kepala melihat situasi sekitar, dan melihatsebuah mobil lain yang menuju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Sebelum sempat mobil itu melintas melewati tempat Fiona terjatuh, seseorang menarik tangannya dengan kuat dan menyeretnya menghindar. Akan tetapi, orang itu sampai di sebelah Fiona dengan keadaan tak sadarkan diri dan kepala berlumuran darah akibat terhantam kaca spion mobil.
Fiona melihat dengan jelas wajah Arya yang berlumuran darah dengan pandangan membeku karena syok. Dengan pandangan mata yang memburam karena terhalang air mata,Fiona mengalihkan pandangan mencari sosok ayahnya. Sosok yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya, terdiam tak berdaya, dan berlumuran darah di kepala serta sekujur tubuh. Menyadari apa yang telah terjadi pada ayahnya, pandangan matanya semakin memburam dan perlahan semakin lama semakin menggelap. Tanpa suara, tanpa rasa dan tanpa warna.
Memeluknya dalam kesendirian.
###
Ketika Fiona terbangun pada pagi keesokan hari, perlu beberapa saat baginya untuk mengingat kenapa dia begitu sedih dan cemas. Kemudian ingatan di hari sebelumnya memenuhi benaknya. Samar-samar mulai tampak menjelas. Fiona terdiam sejenak menghembuskan napas berat sebelum akhirnya ia beranjak ke kamar mandi. Ia tahu hari yang berat segera dimulai.
Di meja makan hanya ada Seno yang hampir menghabiskan sarapan pagi. Setelah menghabiskan sarapannya tanpa suara, Fiona segera bergegas berangkat ke kantor. Di kantor pun suasana tampak tenang-tenang saja, tapi tenang yang tidak menenangkan dirinya.
Ia merasa agak canggung saat bertatap muka dengan Frian. Merasa kesal karena pria itu terlihat tenang dan datar. Tidak seperti biasa yang selalu melontarkan kata-kata pedas pada dirinya. Membuatnya mengutuk pria itu karena ketenangan Frian masih saja mengusik dirinya.
Waktu yang Fiona lalui hari ini terasa cepat berlalu, saat tiba-tiba saja ia sudah berada di carport kediaman Toni Wardhana.
Sebelum turun ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan hampir jam tujuh malam. Menghela napas kecil berusaha mengurangi kepenatannya karena hari yang begitu penuh ketenangan dan masih saja membuatnya gusar.
Baru saja ia menginjakkan kaki keluar dari dalam mobil, ketika ia melihat Alra dan Rena berjalan terburu-buru menuju ke arahnya. Wajah keduanya tampak memerah dan mata yang menggelap oleh sebuah amarah. Sepertinya amarah yang sangat besar.
"Beraninya kau lakukan ini pada keluargaku!" geram Rena sambil mencekal tangan kanan Fiona dengan kasar dan menyeretnya menuju ke dalam rumah. Diikuti Alra yang mencengkeram tangan kirinya dengan sangat kuat dan terasa sangat menyakitkan di lengan Fiona.
Fiona memberontak dengan perlakuan kasar tersebut, seketika sebuah tamparan dari tangan Rena mendarat di pipinya.
"Apa yang kalian lakukan?" Fiona mendesis dan melemparkan tatapan tajam pada Rena.
"DIAM!" maki Rena.
Rena dan Alra menyeret Fiona yang meronta-ronta memasuki pintu utama, menaiki tangga, dan masuk ke kamar Fiona. Fiona hanya diam mengikuti paksaan saudara tirinya.
Dengan kasar keduanya melempar tubuh Fiona ke lantai. Kepala Fiona terbentur ujung kaki meja riasnya dan seketika darah merembes turun melewati sebagian wajahnya.
Sakit, namun ia tidak mempedulikannya dan mendongak untuk menatap tajam pada Rena dan Alra yg masih memerah karna amarahnya. Dan ia tidak tahu apa yg telah di lakukannya sampai membuat keduanya seperti ini.
Sekali lagi Rena mendaratkan tamparan di pipi Fiona yg sudah memerah karna tamparannya saat di halaman rumah baru saja. "BERANINYA KAU MENATAP KAKAKMU SEPERTI ITU?"
Kepala Fiona tertunduk, dengan kasar dan menyakitkan. Tangannya terangkat untuk menyentuh bekas tamparan Rena. Terasa panas dan perih seperti biasanya. Bibir Fiona membentuk seringai di iringi tawa yg hambar dan dingin.
"Apa kau tertawa?" Tanya Alra dengan senyum sinisnya.
"Kakak?" Sekali lagi Fiona menyeringai menghina pada Rena. "Aku terharu kau menamakan dirimu sebagai kakakku?"
"Apa kau bilang?" Rena berjongkok sambil menarik rambut Fiona dan mendesis, "Apa kau masih tidak tahu kesalahan apa yg telah kau perbuat?"
"Lepaskan!" Fiona berusaha menarik tangan Rena dari rambutnya. Namun, tangannya segera di tarik oleh Alra dan di pelintir ke belakang.
"Dari awal kau memang selalu menjadi masalah di rumah ini. Bahkan kehadiranmu sama sekali tidak di harapkan oleh Mama."
Tatapan Fiona semakin menajam saat kata-kata itu keluar dari mulut Rena. Tidak ada kata yg bisa di ucapkannya untuk membalas makian Rena. Ia memang parasit di rumah ini.
"Apa kau masih tidak merasa bersalah setelah menggagalkan rencana pertunangan Alra? Apa kau kira kita akan diam saja tanpa kau membayar perbuatanmu? Aku akan memastikan kau membayar mahal atas semua ini." Janji Rena penuh tekad.
Fiona memberontak semakin kuat, akan tetapi pegangan tangan Alra sangat kuat dan terasa sangat perih di pergelangan tangannya. "Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Dan aku tidak mau membayar apapun atas perbuatan yg tidak ku lakukan."
Rena terkekeh geli. "Apa kau kira kita akan percaya?"
"Aku tidak minta kalian mempercayainya. Tapi bisakah kalian menanyakan sendiri hal itu pada yg bersangkutan? Bukankah dari awal Alra yg sangat mengharapkan pertunangan ini dan tidak mempedulikan penolakan yg di tunjukkan Frian padanya?" Ucap Fiona.
Kalimat Fiona membuat keduanya semakin murka. Cekalan tangan Alra dan jambakan tangan Rena semakin terasa menyakitkan. "KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU DIRI. HAHH??" Bentak Alra.
"Apa kalian pikir perbuatan kalian padaku bisa mengembalikan semuanya?" Geram Fiona mengabaikan rasa sakit yg menjalar di seluruh tubuhnya.
"Tentu saja." Jawab Rena dengan senyum sadisnya. Dan seperti sudah di rencanakan, Rena melepas jambakannya pada rambut Fiona dan berganti memegang kedua tangan Fiona yg di pegang oleh Alra. Menarik tubuh Fiona untuk berdiri dan mendudukannya dengan kasar di kursi riasnya. "Dan kali ini kau tidak akan berani meremehkan kita lagi."
Fiona bisa melihat tatapan jahat Alra yg berdiri di belakangnya dari balik cermin. Tangannya merogoh sesuatu yg ada di balik saku bajunya, mata Fiona membelalak saat melihat sebuah gunting berada di genggaman tangan Alra.
"Apa yg akan kalian lakukan? LEPASKAN!!" Fiona menatap ngeri membayangkan apa yg akan di lakukan oleh Alra dan Rena dengan gunting itu.
Alra dan Rena tertawa sadis melihat ketakutan yg terpampang di wajah Fiona. Alra menundukkan kepalanya untuk mensejajarkan mulutnya dengan telinga Fiona dan berbisik, "Dengan wajah dan rambut yg akan kuciptakan dengan tanganku sendiri, apa kau masih berpikir untuk merebut Frian dariku?"
Dan di detik berikutnya setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Alra menggenggam rambut Fiona di sebelah kiri dan memotongnya tanpa pikir panjang. Senyum sadis kembali menghiasi wajahnya.
Fiona tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya, genggaman tangan Rena di lengannya begitu erat dan terasa menyakitkan setiap kali ia berusaha untuk memberontak. Tidak ada yg bisa di lakukannya selain memicingkan matanya melihat dengan seksama setiap helai rambutnya yg terjatuh di lantai.
Dan setiap helai rambutnya yg terjatuh terasa seperti silet yg menggores hatinya sampai terasa sangat perih dan berdarah. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali gunting Alra memotong rambutnya, ia menghitungnya dalam hati.
Fiona memperhatikannya dengan tajam tanpa perlawanan walaupun Rena sudah melonggarkan cekalannya.
'Tidak.'
'Aku tidak akan menangis.'
'Dan aku juga tidak akan menghindar.'
'Lakukanlah apapun yg kalian inginkan dan aku
tidak akan berusaha untuk menolaknya.'
'Setiap rasa sakit yg kalian berikan aku akan menerimanya dan tidak akan pernah melupakannya.'
'Aku akan selalu mengingat rasa sakit ini.'
'Dan setelah ini, aku akan membalasnya.'
'Aku akan membalasnya dengan yg lebih menyakitkan daripada yg kurasakan.'
'Aku akan mengambil apapun yg kalian miliki walaupun aku tidak menginginkannya.' Fiona bersumpah kepada dirinya sendiri. Bersumpah atas setiap helai rambutnya yg terjatuh di lantai.
Fiona memandang sebelah kiri rambutnya yg sudah terpotong sependek bahunya dan tak beraturan. Bagian kanan rambutnya juga tidak jauh berbeda, di tambah luka di dahinya yg tampak basah dan memerah karna darah yg belum mengering membuat beberapa poni ciptaan Alra menempel di antara lukanya. Rasa sakit dan perih itu tak berasa lagi karna gemuruh panas di hatinya lebih kuat dan menguasai seluruh inderanya. Membuatnya tertawa hambar menertawakan ketololannya.
"Apa kau masih bisa tertawa?" Rena melotot sempurna melihat tawa Fiona. "Kau bahkan sama sekali tidak memohon atau paling tidak meminta maaf pada kami, tapi malah tertawa seperti orang gila."
Fiona menarik sudut bibirnya menyeringai sinis, "Kenapa aku harus melakukan sesuatu yg tidak berguna seperti itu? Terlebih lagi pada kalian."
"APA KATAMU?" Maki Rena. Matanya semakin menggelap. Dalam sekali gerakan ia menarik rambut Fiona dan merebut gunting yg di pegang oleh Alra, namun belum sempat gunting itu memotong rambut Fiona tiba-tiba terdengar pintu kamar Fiona terbuka dengan sangat kasar.
"HENTIKAN!!" Bentak Toni menghentikan Rena untuk bertindak lebih jauh lagi. Wajahnya tampak syok melihat pemandangan mengejutkan yg ada di hadapannya. "APA-APAAN INI?"
Rena dan Alra membeku melihat kedatangan Papanya, bunyi kelontangan dari gunting yg di pegang Rena terjatuh kelantai memecah keheningan yg sempat tercipta. "Pa...papa?"
Fiona tidak bergerak sedikitpun dari posisinya, menatap kosong bayangan dirinya di cermin yg membalasnya dengan ekspresi datar, sedatar permukaan es yg membeku. Ia tidak mengacuhkan kedatangan Toni dan Laura di ruangan ini. Tidak akan ada yg berubah dengan kedatangan dua sosok itu baginya.
Toni menghembuskan nafas berat sambil memejamkan matanya berusaha mengontrol emosinya, dan sepertinya cara itu tidak berhasil meredakan emosinya karna begitu matanya terbuka, dengan tatapan penuh kemurkaan ia mendaratkan sebuah tamparan di pipi Rena dan Alra bergantian.
"Plaakk...plaakk..."
"APA SEPERTI INI CARA KALIAN MENYELESAIKAN MASALAH?" Bentak Toni pada Rena dan Alra yg menunduk sambil memegangi pipi mereka yg memerah karna efek tamparan yg di berikan Toni.
"Apa Papa tahu apa yg di lakukan Fiona padaku?" Kata Alra berusaha membela diri.
"Jangan panggil dia seperti itu. Dia kakakmu." Desis Toni.
"Dia merusak rencana pertunanganku dan Frian. Dia merebut calon tunanganku. Dan dia bukan kakakku." Alra mengangkat dagunya menantang. "Aku tidak punya kakak seperti dia, murahan."
"Plaakk..."
Hanya sepersekian detik Alra menyelesaikan kata-katanya ketika tamparan Toni mendarat di pipinya untuk kedua kalinya.
"Papa!" Rintih Alra sambil memegang pipinya. Menatap nanar Papanya dengan air mata yg mulai menetes di pipinya. "Kenapa papa menamparku?"
"Apa kau tidak tahu apa kesalahanmu? Dan..." Toni menunjuk ke arah Fiona dengan tatapan penuh penyesalan. "...lihatlah apa yg telah kau perbuat pada kakakmu."
"Dia pantas mendapatkannya karna telah merebut Frian dariku." Jawab Alra dengan nada sedikit meninggi.
Toni mengangkat tangannya berniat menampar Alra sekali lagi, namun Laura segera memegang tangan Toni untuk menghentikan Toni.
"Sudahlah, Pa. Jangan emosi seperti ini." Ucap Laura menenangkan Toni yg tampak sangat murka.
"Apa kau masih tidak tahu kenapa acara itu di batalkan? Atau kamu pura-pura tidak tahu? Sudah jelas ini semua kemauan Frian sendiri. Bahkan saat acara itu di rencanakan Frian tidak datang dan Mamanya juga sudah meminta maaf atas semua ini. Apa kau masih mau memaksakan diri?" Toni berusaha sabar menghadapi Alra.
"Apa Papa membela dia?" Tanya Alra sambil menunjuk Fiona.
"Kenapa kau masih di butakan oleh obsesimu terhadap Frian? Kau tahu Frian sama sekali tidak tertarik padamu, kau tahu itu, kan?"
"Aku mencintainya. Dan hanya aku yg berhak memilikinya."
"Tidak semua hal bisa kau dapatkan. Apa kau masih tidak mengerti juga?"
"TIDAK. AKU SELALU MENDAPATKAN APAPUN YG KU MAU. APAPUN ITU." Teriak Alra dengan dagu terangkat lebih tinggi.
Sekali lagi Toni mengangkat tangannya mendengar makian yg keluar dari mulut Alra, dan dengan cekatan Laura menghadang Toni untuk melindungi Alra.
"Cukup." Kata Laura. "Ini sepenuhnya bukan salah Alra."
"Minggir!" Toni menepis Laura minggir.
"Apa papa mau menampar Alra lagi hanya karna membelanya."
"Tidak bisakah kau sedikit lebih dewasa menerima apa yg di berikan padamu?"
"Anak Papa aku atau dia?"
Toni terdiam memejamkan matanya sambil mengambil nafas dan menghembuskannya untuk menenangkan dirinya. Putus asa terhadap sikap Alra. "Kembali ke kamarmu."
"Yeah." Alra menganggukkan kepalanya sedikit dengan tatapan nanar dan wajah penuh air mata yg sudah tak berbentuk.
"KEMBALI KE KAMARMU." Bentak Toni sambil menunjuk pintu kamar Fiona.
Alrapun berlari keluar kamar sambil menutupi wajahnya dengan isakan tangisnya.
"KAU JUGA PERGI KE KAMARMU." Bentak Toni juga pada Rena yg masih mematung melihat semuanya. Dan tanpa menunggu perintah Toni untuk kedua kalinya Rena berjalan keluar kamar mengikutiAlra.
Keheningan menyelimuti ruangan itu ketika Alra dan Rena meninggalkan kamar Fiona. Toni memandang Fiona penuh penyesalan dan perasaan bersalah. Melangkah mendekati Fiona setelah menatap wajah tidak peduli Laura pada Fiona. Dan dengan tatapan iba ia memperhatikan rambut Fiona yg terpotong berantakan, lalu pandangannya turun ke lantai melihat rambut Fiona yg berhamburan di lantai. Memejamkan matanya tak tahan melihat sisa-sisa perbuatan sadis kedua putrinya pada Fiona.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Toni lirih. Hanya kata itu yg mampu keluar dari bibirnya.
Fiona diam, tak mempedulikan Toni yg kini meraih wajahnya, memperhatikan luka di dahi Fiona.
"Dimana kotak obatmu?" Tanya Toni lagi. Namun Fiona hanya diam membalas tatapan Toni dengan wajah dinginnya. Tonipun melangkah pergi keluar kamar karna tahu Fiona tidak akan menjawabnya. Terdengar suaranya yg memanggil-manggil Bik Siti untuk membawakan kotak obat.
Sepeninggalan Toni, Fiona dan Laura saling melemparkan tatapan dingin.
"Mama sudah memperingatkanmu." Kata Laura dingin. Lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam tasnya dan melemparkannya di meja rias Fiona. "Kau hanya perlu menandatangani surat pengunduran diri itu. Persiapkan dirimu untuk melanjutkan kuliah ke australia. Pasportmu akan Mama urus. Semua biaya tidak ada yg perlu kau khawatirkan."
Kedua tangan Fiona mengepal sampai buku-buku jarinya memutih menahan kemarahan yg sudah benar-benar menyesakkan dadanya.
'Tidak.'
'Ia tidak akan menangisi apapun itu.'
'Ia tidak akan selemah itu.'
"Kenapa aku harus melakukan itu?"Suara Fiona terdengar parau.
"Ini satu-satunya jalan agar kita berhenti untuk saling menyakiti"
Fiona diam.
"Ini hanyalah sisa kasih sayang yg ku miliki padamu. Jangan mengharapkan lebih dari ini untuk hakmu sebagai seorang anak." Tambah Laura.
Wajah Fiona menegang, matanya semakin sakit menahan air mata yg berteriak-teriak memberontak ingin keluar. Kata-kata Laura membuat paru-parunya kehabisan oksigen dan mulai melupakan cara bernafas. Ia mengutuk dirinya sendiri, menyadari ketololannya yg masih menyayangi wanita yg sudah jelas-jelas membuangnya.
"Anda bahkan tidak pernah terasa seperti orang tuaku."
'Kenapa kata-kata itu sama menyakitkannya dengan makian yg ia lontarkan padaku?'
"Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk mengharapkan apapun dari anda."
'Bisakah sekali saja kau benar-benar mengharapkanku?' Setitik harapan penuh permohonan menyeruak di dada Fiona.
"Benarkah?" Dengus Laura.
'Tidak.'
'Itu tidak benar.'
'Mama tahu itu tidak benar.' Jawab Fiona dalam hati. Bagaimana mungkin ia mengatakan yg sebenarnya pada Mamanya jika hal itu hanya akan menambah ketololannya.
"Lihatlah dirimu sekarang. Kau tampak begitu menyedihkan saat mempertahankan harga dirimu." Laura tersenyum meremehkan menatap Fiona dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Kemudian melangkahkan kakinya saat mendengar suara langkah kaki lainnya yg menuju ruangan ini.
Fiona membalikkan badannya saat Toni sudah memasuki kamarnya. Ia tidak bisa menahan air matanya untuk menuruni pipinya, tapi Fiona langsung mengusapnya dengan kasar.
Ia bukan wanita lemah.
Sudah cukup penghinaan yg di terimanya di rumah ini.
Sudah cukup kesabarannya untuk menghadapi wanita yg telah melahirkannya itu.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Ucap Fiona datar sambil menepiskan tangan Toni yg terulur berniat memeriksa luka di dahi Fiona. "Aku ingin sendiri."
Toni diam sejenak manatap Fiona yg memalingkan pandangannya darinya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yg di minta Fiona lebih baik untuknya saat ini daripada apa yg akan ia lakukan untuk mengobati lukanya, juga karna ia tahu rasa sakit di hati Fiona lebih dalam daripada luka yg terlihat olehnya. Maka ia memutuskan untuk mengabulkan permintaan Fiona.
"Baiklah." Ucapnya lirih dan penuh kelembutan. Dengan penuh perasaan bersalah ia melangkahkan kakinya menjauh dari Fiona. Namun setelah beberapa langkah tiba-tiba ia berhenti, membalikkan badannya untuk kembali melihat Fiona."Apa kau ya..."
"Tutup kembali pintunya." Potong Fiona sebelum Toni menyelesaikan kalimatnya.
Toni mengangguk pelan dengan penolakan Fiona. Dan saat ia akan menutup pintu kamar Fiona, ia berkata, "Bagaimanapun, Papa minta maaf."
Fiona hanya diam dengan air mata yg semakin deras membanjiri pipinya.
'Jika saja kata maaf bisa memperbaiki semuanya.'
'Jika saja kata maaf bisa menyembuhkan luka ini.' Batin Fiona sambil mengusap air matanya dengan kasar.
Berharap air matanya akan segera mengering dan setelah itu ia akan menyumpahi dirinya karna menangisi ketololannya. Dan seperti orang bodoh, air matanya tidak mau berhenti mengalir sampai akhirnya ia menjatuhkan tangannya lunglai menghentikan usahanya untuk memberhentikan air mata sialannya itu.
Ia menundukkan kepalanya saat tangannya menyentuh amplop putih yg di lemparkan oleh Mamanya tadi, segera tangannya memungut amplop itu, membukanya dan membaca surat yg ada di dalamnya.
Pandangannya semakin kabur terhalang oleh air mata saat membaca surat pengunduran diri dari pekerjaanya saat ini yg telah di cetak oleh Mamanya.
Perasaan muak, letih dan marah yg dari tadi di tahannya kini menguasai hati dan pikirannya semakin meluap-luap. Ia mendorong semua alat rias yg ada di hadapannya jatuh berhamburan di lantai. Menundukkan kepalanya dan menangis terisak. Dadanya benar-benar terasa sesak dan sulit untuk bernafas.
Untuk waktu yg lama.
Sampai saat ia menyadari sesuatu, kepalanya terangkat dan menghentikan tangisan bodoh dan sia-sianya ini tanpa berusaha menghapus air matanya. Ia memandang cermin, menatap sosok yg tampak sangat menyedihkan berdiri di hadapannya.
Merasa malu mengakui bahwa dirinya memang malu terhadap dirinya sendiri saat ini. Kemudian ia megedarkan pandangannya ke seluruh kamarnya, matanya berhenti pada tasnya yg tergeletak di lantai dekat kasurnya.
Segera ia berjalan menuju tasnya dan memungutnya untuk mengambil ponselnya dan akan menghubungi Brian untuk menceritakan semuanya yg kemudian akan membuat dadanya kembali bernafas dengan lancar dan tenang.
Namun,
Tiba-tiba jemari tangannya menghentikan panggilan yg belum sempat di jawab oleh laki-laki itu, karna suara hangat dan lembut Brian memenuhi indera pendengarannya.
'Walaupun sangat sulit tapi kau harus melupakannya. Perasaanmu akan lebih baik dan ringan jika kau melepaskannya dengan ikhlas dan tidak mengingatnya lagi. Dan sekarang tidurlah. Ini akan sedikit membantu untuk saat ini.'
Pasti itulah kalimat yg akan di katakan oleh Brian. Dan nasihat itu selalu berlaku untuknya selama ini.
Tapi saat ini...
Bukan kata-kata itu yg di perlukannya saat ini.
Bukan kata-kata yg membuatnya nyaman yg di butuhkannya saat ini.
Saat ini yg di butuhkanya adalah...
"Frian..." Gumam Fiona lirih pada dirinya sendiri saat tiba-tiba sosok pria itu muncul di pikirannya.
###
Wednesday, 28 September 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top