40. Trust
Love you to death...
###
Part 40
Trust
###
Tengah malam telah lewat ketika Frian menekan password apartemennya. Semuanya telah hilang. Lepas dari genggamannya begitu saja, karena kebodohannya. Langkah kakinya gontai ketika memasuki apartemen yang masih sunyi senyap. Ia pun tak bersusah payah menyalakan lampu untuk menerangi ruangan yang gelap gulita itu. Segelap dan sehampa hatinya.
Membaringkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih di atas sofa ruang tamu mereka. Wajahnya menatap langit-langit sebelum menutup mata dengan lengannya kanannya. Air mata itu mengalir melewati sudut mata tanpa bisa ditahannya.
Rasa sakit, penyesalan, kesedihan dan perasaan bersalah begitu menguasai dadanya.
Kemarahan, rasa malu dan kekecewaan akan dirinya sendiri. Semua berdesak-desakan di dalam hati tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk sekedar bernafas.
Sesak yang tak juga menghilang sejak dua belas jam yang lalu. Semakin lama semakin menghimpit dengan sangat kejam. Tak peduli seberapa kuat ia mencoba menahannya. Tetap saja, rasa sakit itu seakan memuaskan diri di dalam hatinya untuk menuntaskan dendam akan apa yang dikatakannya pada Fiona. Terhadap kata-kata menyakitkan yang ia lemparkan pada wanita itu.
Ia terlambat ketika mengejar wanita itu tadi siang. Fiona sudah menghilang entah ke mana. Di apartemen Irina tidak ada, bahkan wanita itu juga ikut mencarinya di seluruh bar yang biasanya Fiona singgahi. Namun, tetap saja mereka tak menemukan keberadaan istrinya. Menghubungi ponsel Fiona pun sama sekali tak ada gunanya. Bahkan jemarinya tak bisa berhenti menekan nomor ponsel wanita itu dengan kesia-siannya. Sampai akhirnya ia kelelahan dan kembali ke apartemen dengan semua beban kegagalan di pundaknya.
Bukan permintaan Fiona yang membuatnya marah, tapi apa yang rela dilakukan wanita itu agar ia mencabut tuntutannya pada Brian. Bahkan ia sudah mencabut tuntutan itu sebelum Fiona datang dan memohon padanya. Dan tuntutan itu, juga bukan dirinya yang melaporkan Brian pada pihak yang berwajib, tapi Keydo.
Brian mendatanginya ketika ia baru saja keluar dari mobil yang terparkir di halaman Cavena el. Langsung melayangkan pukulannya ke wajahnya dan menyumpah-nyumpah karena kesepakatan gila yang ditawarkannya pada Fiona.
Ia tidak tahu dari mana pria itu tahu dan tak mau tahu. Dan ia juga tidak akan menyalahkan orang lain akan kesalahan yang diberikannya pada Fiona. Ia terlalu putus asa akan wanita itu hingga menjebaknya dengan kesepatan mereka. Itulah sebabnya ia membiarkan Brian menumpahkan keputus asaan pria itu padanya. Ia tahu bagaimana rasanya ketika sudah tidak ada harapan akan wanita yang kita cintai. Dan saat itulah Keydo datang, mendorong Brian menjauh darinya, berniat melayangkan pukulan lainnya untuk membalas Brian. Tapi ia memegang tangan pria itu untuk mencegahnya. Menarik Keydo menjauh dengan wajahnya yang sudah babak belur. Dengan karakter Keydo yang sudah dikenalnya dari dulu, ia tahu pria itu tidak akan melepaskan Brian atas apa yang sudah dilakukannya. Memastikan Brian membayar perbuatannya dan ia kehilangan kata-kata untuk membantah keputusan Keydo yang meggugat pria itu atas tindakan kekerasan.
Frian mengangkat lengannya dari atas wajahnya. Menatap langit-langit ruang tamu dengan matanya yang basah. Terkadang ia merasa lelah akan cintanya pada Fiona. Tapi ia tak bisa menampik akan besarnya cintanya untuk Fiona. Akan pengaruh wanita itu di dada dan otaknya. Hidupnya akan jauh lebih mengerikan tanpa Fiona, dan ia tak akan sanggup menahan dalamnya luka yang akan tertancap di dadanya seumur hidupnya. Tidak akan pernah sanggup dengan luka yang kembali di torehkannya pada Fiona tadi siang.
Pada hakekatnya, lebih mudah mencintai Fiona ketimbang harus melepas wanita itu. Ia tak menyesali pilihannya untuk menetapkan Fiona sebagai pendamping hidupnya. Sekalipun dengan semua cara kotor yang sudah ia lakukan untuk wanita itu. Pada akhirnya, Fiona memilih berada di sampingnya, dan ia tak akan melepaskannya. Tapi kali ini, ia tak yakin akan keberuntungannya. Akan pilihan yang nantinya diambil wanita itu karena ketololannya.
Matanya terpejam lagi, teringat akan kata-kata Brian padanya ketika ia datang mengunjungi pria itu dan mencabut tuntutannya. Ia tidak sependendam itu untuk membuat pria yang pernah mencintai dan dicintai oleh istrinya menderita. Setidaknya dengan semua kebaikan dan perlindungan pria itu pada Fiona selama ia tidak bisa berada di samping wanita itu.
"Fiona lebih memilih berada di sisimu sekalipun dengan kesepakatan gilamu itu. Itu pilihannya dan aku tak bisa berbuat banyak akan hal itu." Brian mengucapkannya dengan senyum yang terbentuk di kedua sudut bibirnya. Sekalipun senyum itu tampak menyedihkan. "Dan aku bersumpah akan mendatangimu jika sekali saja kau membuatnya menangis."
Bibirnya meringis membentuk senyum miris. Tidak ada sehari dengan peringatan yang diberikan Brian padanya, ia sudah membuat wanita itu menangis karena ketololannya. Entah sudah berapa banyak perbuatan tolol yang sudah diperbuatnya pada istrinya.
Memutuskan menghitungnya ketika ia beranjak duduk dari rebahannya. Merogoh ponselnya di saku celana sambil melangkah menuju pintu ruangan yang seharusnya menjadi kamarnya dan Fiona. Tapi, sepertinya semua tak berjalan sesuai dengan rencananya.
Nafasnya tertahan ketika ia memutar handle pintu, mendorong pintu kamar terayun membuka dan mendapati kamarnya yang terang benderang. Hanya membeku ketika pandangannya menangkap tubuh mungil yang berbaring memunggunginya. Lengkap dengan sepatu dan baju yang masih dipakainya ketika terakhir kalinya wanita itu meninggalkan kantornya.
Segera ia menghampiri ranjangnya dengan tangisannya yang tertahan. Bersimpuh di sisi ranjang menatap wajah Fiona yang terlelap dalam tidurnya. Kehilangan kata-kata dan suaranya ketika menangkup sisi wajah istrinya penuh ketidak percayaan. Satu tangannya membungkam mulutnya agar tangisannya tang semakin kencang tak sampai membangunkan Fiona.
Fiona tidak meninggalkannya. Setelah semua kesakitan yang diberikannya, wanita itu kembali padanya. Sekalipun ada sudut hatinya yang memperingatkan agar ia jangan terlalu percaya diri dulu akan keberadaan istrinya di apartemen mereka. Tapi wajah dan keberadaan Fiona cukup meredakan ketakutannya.
Lama ia hanya memandangi wajah Fiona. Takut memejamkan matanya sebentar saja dan akan terbangun dengan kenyataan bahwa Fiona telah pergi meninggalkannya. Berdiam diri menyandarkan wajahnya di sisi ranjang. Tangannya yang mengelus pipi Fiona bergerak untuk menggenggam jemari wanita itu, agar ia bisa menariknya kembali ketika Fiona berniat melepaskannya dan mendorongnya menjauh.
"Maafkan aku." gumamnya pelan berkali-kali.
***
Fiona membuka matanya terbangun dari tidurnya. Mengerjapkan matanya ketika melihat wajah Frian yang tertidur menghadapnya. Tangannya terangkat akan memegang wajah itu, tapi tertahan oleh genggaman jemari Frian di sela-sela jarinya. Sehingga ia hanya bisa menatap wajah tampan itu.
Bekas lebam di wajah itu sudah hampir memudar, tak cukup menyamarkan mata Frian yang bengkak. Seperti habis menangis.
Apakah Frian menangisi dirinya?
Apakah Frian menyesali perkataannya kemarin?
Sungguh ia sangat sakit hati dengan kekasaran Frian padanya. Dengan keraguan pria itu akan anak yang ada dalam kandungannya. Tak habis pikir, bagaimana mungkin pria itu begitu tega berpikiran seburuk itu tentangnya? Tentang janin dan darah daging pria itu.
Tapi ia juga tidak merasa benar sendiri akan sikap Frian padanya. Karena ia ikut andil akan tindakan suaminya itu. Ikut andil akan keraguan yang memenuhi emosi Frian sengan sikap yang ditunjukkannya pada suaminya sendiri. Sangat besar karena telah memohon pengampunan untuk pria lain saat ia sudah sadar betul akan perasaan yang dimiliki Frian untuknya. Tentu saja pria itu cemburu padanya.
Apalagi ketika seusai pertengkarannya dan Frian, Septa menelfonnya dan berterima kasih padanya akan tuntutan Frian yang sudah dicabutnya sejak pagi. Sebelum ia pergi untuk menemui Frian di kantornya.
Ada perasaan bersalah yang membuatnya malu akan semua perkataannya pada Frian. Pria itu tahu sebesar apa pengaruh Brian yang masih dimilikinya untuknya, karena itulah Frian menyembunyikan semua ini darinya dan menyelesaikan semuanya di belakangnya. Dan dengan tanpa malu dan kebodohannya, ia malah memohon ampun untuk Brian pada Frian. Hanya menunjukkan betapa menyedihkannya dirinya.
Seharusnya ia mempertimbangkan baik-baik akan reaksi Frian atas tindakanya. Seharusnya ia memikirkan dulu bagaimana perasaan Frian sebelum ia meminta pria itu untuk mencabut tuntutannya.
Tapi semua sudah terlanjut terjadi. Ia telah menyakiti Frian dan pria itu juga telah menyakiti hatinya. Dan semua usaha yang telah mereka coba akan hancur jika mereka saling menyakiti seperti ini. Semua perjuangan mereka akan sia-sia.
Pada akhirnya, ia tersadar. Bahwa sebesar rasa sakit yang diberikan pria itu padanya, sebesar itu pula rasa cinta yang dimiliki Frian untuknya karena kecemburuannya. Dan rasa sakit yang dirasakannya mungkin karena ia sudah mencintai Frian sebelum ia menyadarinya. Ia tak bisa menangkis rasa asing yang merayapi dadanya oleh fakta itu.
Mungkin hal itu pula yang membuatnya tanpa sadar melangkahkan kakinya ke apartemen ini, ketika ia kehilangan arahnya harus kemana dengan semua kekacauannya. Tak ada tempat yang bisa ditujunya selain di sisi Frian. Hanya Frianlah yang dibutuhkannya. Dan hanya Frianlah tempatnya kembali. Rumahnya.
"Maafkan aku." gumamnya lirih. Mengecup bibir Frian penuh penyesalan dan maafnya.
***
Frian tersentak kaget ketika ia tersadar dari alam mimpinya. Matanya terbuka dengan sangat cepat dan cahaya memenuhi ruangan melalui dinding kaca yang gordennya sudah terbuka lebar. Dengan panik dia beranjak dari simpuhannya, menjatuhkan selimut yang melingkupi tubuhnya terjatuh ke atas karpet coklat muda.
Fiona?
Apakah semalam hanyalah mimpi?
Tidak, semalam Fiona benar-benar ada di sini. Selimut itu buktinya. Jawabnya dalam hati ketika wajahnya menunduk melihat selimut yang sudah teronggok di samping kakinya.
Segera ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Membuka lebar pintu kamar mandi untuk memeriksa keberadaan istrinya. Semakin panik karena kamar mandi yang kosong.
Apakah Fiona meninggalkannya kali ini?
"Fiona?" panggilnya sambil berjalan keluar dari kamar. Mengedarkan pandangannya mencari sosok Fiona ke seluruh penjuru ruangan yang bisa dicapai pandangan matanya.
Dan bernafas dengan amat sangat lega ketika tatapan paniknya menangkap tubuh mungil itu memunggunginya di balik meja pantry. Bergelut dengan sesuatu di atas meja dan tak menyadari kedatangannya.
Fiona tersentak kaget ketika lengan Frian melingkari pinggangnya dari belakang, "Frian?!"
Frian mendesah lega, menundukkan wajahnya di antara lekukan leher istrinya, "Kenapa tidak membangunkanku?"
"Aku sudah membangunkanmu untuk pindah ke atas ranjang." jawab Fiona dengan gumaman lirih. Kembali berkonsentrasi dengan roti dan selai yang ada di hadapannya. Sedikit tidak nyaman dengan pelukan Frian tapi ia mengabaikannya. Ia juga membutuhkan bahwa pria itu menginginkan keberadaannya. Dan pelukan ini menunjukkan perasaan Frian yang sudah tak semarah kemarin.
"Apa yang kau buat?" tanya Frian. Kepalanya melongok menengok apa yang dibuat oleh istrinya untuk sarapan mereka.
Fiona mengangkat roti yang sudah diolesi selai sebelum memasukkannya ke dalam panggangan. "Terakhir kalinya aku memasak, ketika ayah meninggalkanku. Hanya ini yang bisa kubuat untuk sarapan kita."
"Aku lebih suka coklat." ucap Frian memberitahu.
Fiona mengangguk, "Aku akan membuatnya jika kau bisa melepaskan tanganmu."
"Untuk hari ini tidak masalah."
Fiona membalikkan badannya setelah memasukkan roti ke dalam panggangan, menghadap Frian. Kepalanya mendongak dan matanya mengamati wajah bangun tidur Frian. Perasaan bersalah itu kembali muncul ketika melihat kedua mata Frian yang masih bengap sehabis menangis.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati. Menghabiskan malam dengan bersimpuh di lantai, pasti akan membuat tubuh Frian pegal semua. Dan ia tak cukup kuat untuk memindahkan tubuh besar itu seperti yang hampir setiap hari dilakukan suaminya ketika ia tertidur di depan meja belajarnya.
Frian menggeleng, "Aku akan baik-baik saja jika kau mau memaafkan perkataanku kemarin."
Fiona terdiam. "Ya, kau memang keterlaluan. Tapi aku juga sama keterlaluannya padamu kemarin." akunya.
"Sedikit." lirih Frian dengan cengiran di wajahnya.
"Aku minta maaf."
Frian menundukkan wajahnya. Mengecup bibir Fiona dan menggumam, "Maaf diterima."
Selama beberapa saat, keduanya terlarut dalam ciuman mereka. Saling meminta dan memberi apa yang mereka saling butuhkan. Menghapus semua rasa sakit yang pernah mereka saling lemparkan kepada yang lainnya. Dan mengakhiri sesi ciuman mereka dengan dekapan yang saling mengetat.
"Frian?" gumam Fiona. Suaranya teredam oleh dada Frian.
"Hmmm." Frian hanya menjawabnya dengan gumaman lirih. Menatap timer di panggangan roti yang tinggal satu menit lagi.
"Bisakah kau mempercayai hubunganku dengan Brian?"
Frian tertegun. Gemuruh familiar itu kembali muncul di dadanya. Tapi ia tak mau bertindak bodoh dan menghancurkan semuanya untuk kedua kalinya. Tidak setelah semuanya kembali membaik.
Fiona menarik dirinya. Mendongakkan wajahnya menatap manik mata Frian baik-baik. Ada sinar cemburu di sana yang sama sekali tidak ditutupi oleh pria itu. "Aku tidak akan menyangkal dengan Brian yang terkadang masih mempengaruhi hatiku. Tapi... aku ada di sisimu sekarang. Apa kau bisa mempercayaiku pilihanku kali ini?"
Fria membalas tatapan mata Fiona, berusaha tak menampakkan ekspresi apapun. Tapi ia tak cukup berusaha untuk menunjukkan kecemburuannya atas pengaruh Brian di hati Fiona.
Ia tak akan menolak permintaan Fiona tentang apapun. Tentang waktu agar Fiona membalas cintanya. Tapi untuk mempercayai Fiona tentang hubungan istrinya dengan pria itu?
Ia tak pernah berhasil melakukannya.
Dan terakhir kalinya ia mencoba, berakhir dengan dirinya yang tindakan tololnya meragukan darah daging dalam rahim Fiona. Hampir saja ia kehilangan wanita itu lagi.
"Aku tak akan pernah bisa melangkah ke depan tanpa kekacauan yang kuberikan pada Brian. Aku tak bisa memutuskan hubunganku dan melupakannya hanya karena aku ingin. Karena Brian memang berarti besar dalam kehidupanku. Bahkan sebelum kau melangkah ke dalam kehidupanku."
Frian masih membungkam. Tak bisa membantah tentang dua kalimat terakhir yang diucapkan Fiona. Tapi wanita itu tak pernah tahu tentang perasaan yang dimilikinya sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang ia baru menyadari kepengecutannya karena menghindari wanita itu dulu.
Seharusnya ia...
Tidak. Penyesalannya tak akan mengubah fakta bahwa ia pernah melarikan diri dari perasaannya saat itu. Dan hal itu terbukti bukan solusi yang benar, bahkan menambah masalah karena wanita itu menjadi semakin dekat dengan Brian. Bahkan memberikan pengaruh yang sangat besar di hati Fiona. Secara tidak langsung, dialah yang membuat Fiona dekat dengan Brian.
Hatinya mengerang dengan semua pemikiran itu. Mencoba menyangkal tapi tak ada alasan yang membenarkan perbuatannya.
"Aku tahu kepercayaan bukanlah hal mudah yang bisa kita bangun hanya dalam sekejap mata. Tapi... hubungan kita tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kepercayaan di sana." Fiona mencoba meyakinkan Frian. Mengusir keraguannya ketika tangannya terangkat dan menangkup wajah Frian. Dengan hati-hati melanjutkan, "Semua akan berakhir sia-sia, Frian. Aku tidak mau itu terjadi."
Dan Frian kehilangan kata-kata untuk membantah Fiona lagi. Ya, kepercayaan memang adalah sebuah pondasi untuk sebuah hubungan. Ia melangkah sejauh ini juga karena Fiona percaya akan dirinya. Lalu kenapa sekarang ia tak bisa mempercayai Fiona? lebih utamanya, ia juga tidak mau semuanya berakhir dengan sia-sia.
"Suatu saat, kita pasti akan bertengkar karena suatu hal kecil, atau besar mungkin. Tapi aku tidak akan bisa menjamin hubungan kita akan membaik tanpa kepercayaanmu."
"Aku akan mencobanya." jawab Frian akhirnya. Tak ingin membayangkan kegagalan yang terpampang oleh ucapan Fiona di masa depan. "Tapi... apakah kau bisa menjamin kalau kau tidak akan mengkhianatiku?"
Fiona mengangguk, "Ya. Aku berjanji."
"Tapi aku tidak bisa menjamin jika kau tidak bisa menjaga sikapmu dengan dia."
Mulut Fiona menganga atas kekeras kepalaan suaminya. Lalu menghela nafas panjang, alisnya menyatu dan bibirnya sedikit mengerucut. Merajuk.
Frian menahan tawa gelinya, "Aku tidak tahu kau bisa memasang ekspresi konyol itu."
Mata Fiona kini membelalak dengan cemoohan Frian.
"Aku bercanda. Tapi aku menyukainya." Frian menunduk mencuri kecupan secepat kilat di bibir Fiona. Tapi bukan lagi kecupan ringan ketika Frian melumat bibir Fiona dan semakin merapatkan pelukannya.
Sampai akhirnya ia mendorong dada Frian ketika ada bau aneh yang menyengat menyerbu hidungnya, "Apa kau mencium bau gosong?"
###
Next part end ya...
Hhmmmm.... harus ngomong apa yach?
Author minta vote dan commentnya aja yach yang banyak. Dan boleh juga kasih pendapat tentang keseluruhan cerita ini. Harus ini, kurang ini, atau terlalu ini...
Friday, 28 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top