38. A Piece of Happiness

Love you to death...

###

Part 38

A Piece of Happiness

###

"Apa kau sudah meminum obatmu?" tanya Frian teringat. Menarik pelukannya dan menatap wajah Fiona yang mash bergelung di pangkuannya. Hampir saja ia melupakan hal penting itu.

Fiona mengangguk, "Kau memastikanku meminumnya, bukan." jawab Fiona. Tak habis pikir dengan sikap Frian yang tiba-tiba berubah over protektif. Tidak, ia salah, bukan tiba-tiba berubah, tapi semakin menggila ketika tahu dirinya sedang hamil. Sejak awal pria itu memang selalu over protektif menyangkut apapun yang berhubungan dirinya.

Frian mengangguk dengan cengiran di bibirnya yang masih terlihat memar. Pagi, siang dan malam. Ia memastikan Fiona meminum vitamin dan susu khusus ibu hamil tepat pada waktunya. Sekalipun pria itu tidak berada di dekatnya. "Ya, kau memang harus membuang kebiasaan burukmu itu." gumamnya ringan.

"Aku hanya lupa." Fiona mencoba menyangkal dengan suara lirihnya. Ya, mungkin itu kebiasaan buruknya. Ia selalu terlalu sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Hidupnya sudah terbiasa untuk melakukan apa yang ditargetnya dengan cepat tanpa memedulikan dirinya sendiri. Mungkin karena ia sudah terbiasa dengan orang lain yang mengabaikannya, sehingga dia sendiri ikut mengabaikan dirinya sendiri.

"Bagaimana harimu?"

"Baik." jawab Fiona singkat. Ya, kecuali perasaannya yang ia sadarai mulai berubah pada Frian, harinya berlalu dengan biasa. Rutinitas sehari-harinya. Tidak ada yang mengusiknya sampai ia pulang ke rumah dan mendapati keadaan suaminya yang kacau seperti ini. "Kau sendiri?"

Frian terdiam, mengamati wajah wanita cantik yang masih duduk di pangkuannya itu. Jemarinya mengelus pipi Fiona dengan lembut tak menjawab pertanyaan istrinya.

"Apa kau bisa menceritakan padaku apa yang terjadi?" tanya Fiona lagi. Ada nada kehati-hatian yang terselip di suaranya.

Frian hanya mengangkat bahunya kecil, "Aku sudah mengatakannya padamu tadi."

"Maksudku, siapa yang melakukannya?" Fiona menjelaskan maksud pertanyaannya lebih mendetail.

"Apakah akan ada bedanya jika aku memberitahumu?"

"Aku hanya ingin tahu saja." Fiona mengedipkan matanya sekali dengan canggung karena tatapan penuh pengamatan yang bersinar di mata Frian. Menggigit bibir bagian dalamnya. Bukankah komunikasi kunci dari sebuah hubungan? tadinya dia berpikir seperti itu.

"Rekan bisnis." jawab Frian singkat akhirnya.

"Kurasa sebagian besar rekan bisnis perusahaan mengenal diriku." ya, ke mana-mana papa mertuanya itu selalu membawa-bawa dirinya dan mengurus segala keperluannya. Mencatat apapun yang penting dari pertemuan itu.

Mata Frian memicing mendengar jawaban yang syarat akan desakan dari kalimat Fiona padanya, "Apa kau ingin menginterogasiku?"

Mata Fiona membelalak, lalu kepalanya menggeleng cepat membantah, "Aku hanya mencoba berbicara."

Frian terdiam. Sedikit tak menyangka dengan jawaban Fiona. Juga dengan sinar malu yang memenuhi wajah cantik itu. Ternyata Fiona mencoba lebih dekat dengannya. Sekali lagi perasaan hangat yang meluap itu tak bisa ditahannya untuk menyerbu hatinya.

"Aku belum pernah melakukan ini. Maafkan aku jika aku mungkin menyinggungmu atau terlalu jauh mengusikmu." jawab Fiona. Mulai sedikit gugup, tubuhnya bergerak ringkuh dengan sikap Frian yang sepertinya tak sependapat.

Sudut bibir Frian terangkat menahan senyum geli di sana. Wanita itu memang selalu kaku dan dingin. Dan bersikap hangat adalah hal yang mungkin tak akan pernah terbayangkan ada dalam kehidupan wanita itu. Tapi itu Fionanya yang dulu. "Bagaimana kalau kita memulainya dengan yang lebih ringan dulu?"

Kening Fiona tertarik ke bawah, membentuk huruf V di antara kedua matanya. "Maksudnya?" tanyanya tak mengerti.

"Misalnya... apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Frian lagi. Mengalihkan pertanyaan Fiona. "Biasanya itu yang dilakukan wanita hamil. Lalu suaminya akan berusaha mengikuti permintaan istrinya yang ngidam aneh-aneh. Terkadang ada rasa kesal, tapi tetap akan aku perjuangkan."

Sebenarnya pertanyaan tentang siapa yang telah menghancurkan wajah tampannya hanyalah pertanyaan ringan. Iapun akan melakukan hal yang sama jika ia pulang dan mendapati Fiona dalam keadaan seperti ini. Sebagai suaminya ia harus tahu apa yang terjadi dengan istrinya hingga hal sekacau ini bisa menimpanya, begitu juga sebaliknya.

Komunikasi yang baik memang harus berasal dari kedua belah pihak. Hanya saja, jawabannyalah yang cukup berat untuk hanya sekedar mengobrol sehabis minum teh untuk pasangan suami istri. Ia tahu jawabannya akan seperti beban berat yang dipanggul Fiona di bahunya. Dan ia tak melakukan hal itu untuk hubungan mereka yang mulai membaik.

Kerutan di dahi Fiona bertambah, dari mana Frian tahu tentang hal-hal seperti itu?

"Aku membacanya di artikel." Frian menjawab pertanyaan Fiona yang tak terlontarkan.

Dan kerutan di kening Fiona menghilang. Ya, seharusnya hubungan mereka memang dimulai dengan hal kecil semacam ini. Sekalipun ada nada kesal ketika Frian akan terpaksa menuruti jika keinginannya ada yang aneh-aneh, "Apa kau ingin aku menjawabnya?"

"Bukankah kau ingin mengobrol?"

Kedua sudut bibirnya berkedut, seharusnya ia tak menanyakan pertanyaan bodoh itu. Ya, pertanyaan Frian memang membutuhkan jawaban, hanya saja, ia merasa aneh jika Frian bertanya sehangat itu. "Bagaimana jika aku meminta yang aneh-aneh?"

Kali ini Frian tak bisa menahan senyuman gelinya, "Kau pikir, memangnya akan seaneh apa permintaanmu? dan apa kau pikir aku akan kesal jika kau memintanya padaku?" jeda sejenak, tangannya terangkat mengusap perut Fiona yang masih rata. Merasakan kehidupan di sana yang membuat dadanya sesak olah perasaan yang meluap-luap itu. "Kau sudah mengandung anakku, permintaan anehmu tidak akan sepadan dengan apa yang akan kau lakukan untukku."

Fiona terpaku oleh kata-kata Frian. Ada rasa haru di sana. Lebih besar saat mengetahui sebesar apa kasih sayang yang diberikan papa tirinya untuknya. Lebih besar dengan kasih sayang yang diberikan oleh papa mertuanya untuknya.

"Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Frian mengulang. Menarik Fiona dari keterpakuannya.

Fiona terdiam sejenak memikirkan. Ya, ia memang ingin makan sesuatu, dan teringat, "Strawberry." jawabnya akhirnya. "Aku berencana membelinya di toko buah sepulang kuliah tadi. Tapi aku melupakannya."

"Benarkah?" tanya Frian lagi tak percaya. Wajahnya berubah takjub dengan jawaban istrinya. "Strawberry?"

"Ya." Fiona mengangguk, "Kenapa? Apa ada yang salah?"

Frian menggeleng. "Kebetulan sekali, tadi aku membawakan untukmu dari cafe Keydo ketika mengingatmu."

Tadi ia berniat membelikan Fiona jus alpukat, tapi mengingat sensitifnya wanita itu akan buah tersebut karena kehamilannya. Akhirnya ia memutuskan membawakannya buah strawberry yang juga buah kesukaannya. Bukankah anak itu nantinya akan sangat mirip dengannya?

Sekalipun ia berharap anaknya nanti akan mirip dengan Fiona. Mempunyai mata wanita itu, hidung wanita itu, senyuman wanita itu. Tapi ia bisa mempunyainya nanti. Mungkin anak keduanya dengan Fiona akan sangat mirip ibunya.

Bayangan itu benar-benar membuat perasaan bahagia di dadanya tak tertahankan. Membuncah dan tak terelakkan.

Mata Fiona membelalak. Tiba-tiba saja air liurnya seakan menetes membayangkan buah itu menyentuh lidahnya. Dan ia tak bisa menahan wajah tak sabarnya ingin mencicipi buah merah itu.

"Bolehkah aku mendapatkannya sekarang?" seketika mulutnya membungkam menyadari kata-katanya yang tak tahu malu. Menggigit bibir bagian dalamnya lagi karena malu.

Frian tertawa, kecil tapi cukup mengekspresikan kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Lucu sekali melihat sikap Fiona yang belum pernah ditunjukkannya ini. Bahkan wajah wanita itu semakin memerah mendengar tawa renyahnya.

"Tentu saja." ia mengangguk. Menarik Fiona dari pangkuannya dan membawa tubuh mereka berdiri, "Ayo." ajaknya. Menarik pergelangan tangan wanita itu dan membawanya melangkah keluar kamar.

"Kau memang mudah sekali ditebak?" gumamnya lirih pada dirinya sendiri. Melirik Fiona yang masih menunduk sejenak.

"Apa?" tanya Fiona sambil menoleh. Suara Frian tadi memang tidak terlalu jelas karena dia sibuk merapikan bajunya yang kusut.

Frian menggeleng, "Tidak."

Dan senyumnya yang semakin melebar tak tertahankan. Wajahnya yang lebam, semua rasa sakit itu, tiba-tiba saja sudah tak terasa lagi. Semuanya terasa setimpal. Lebih besar dari yang bisa ia dapatkan.

***

"Fiona?" Fiona membelalak kaget mendapati seorang wanita berdiri di depan gerbang kampusnya. Menghampirinya ketika ia baru beberapa langkah melewati gerbang kampus dan berniat untuk mencari taxi.

Septa?

Apa yang dilakukan wanita itu di sini?

Ia ingin menghindar, tapi memangnya kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Toh urusannya dengan suami wanita itu sudah selesai. Terserah Septa jika masih ingin mempercayai apa yang ingin dipercayai wanita itu. Ia tak peduli.

Di tambah pertemuan terakhir mereka yang berakhir buruk membuatnya tak ingin melihat wajah itu. Hubungan baik tak akan  terjalin di antara mereka. Lebih baik seperti ini.

"Bisakah aku meminta waktumu sebentar saja?" tanya Septa. Kedua tangannya saling meremas.  Tampak gugup dan panik.

Dan niatan untuk menghindari wanita itu sejenak terlupakan. Kening Fiona berkerut, mengamati wajah cantik yang ada di hadapannya. Masih cantik, tapi wajahnya sedikit... pucat?

Panik?

Dan gugup?

Sangat jauh berbeda dengan terakhir kalinya ia bertemu dengan wanita itu, bersikap sangat dingin dan penuh kemarahan. Membuatnya hanya diam membeku.

"Ini tentang Brian."

Fiona tercekat. Ada sedikit hatinya yang masih tersentuh ketika nama itu disebutkan. Tapi ia segera menepisnya. "Aku harus pulang." tolaknya.

Masalalu mereka sudah berakhir. Sekarang Frian menginginkan ia tidak menemui Brian lagi, dan ia sedang berusaha.

Lagipula, Brian menginginkan ia bahagia. Pasti pria itu akan mengerti dengan apa yang dilakukannya. Dan ia sungguh berharap hubungan Brian dan Septa membaik dan mereka bisa mencoba hidup berbahagia seperti yang dilakukannya dengan Frian.

"Aku mohon." Septa mengiba. Memegang pergelangan tangan Fiona ketika wanita itu berniat melangkah melewatinya.

Fiona berhenti. Wajahnya menoleh ke arah Septa. Dingin dan datar, "Jika kau masih menginginkanku bertanggung jawab atas perasaan Brian padaku. Kau tahu jawabannya, Septa."

Septa menggeleng cepat, "Tidak. Aku benar-benar minta maaf atas apa yang kukatakan padamu tempo hari."

Fiona terdiam. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu, ia tak mau tahu. Tapi kekhawatiran, kepanikan dan ketakutan yang bercampur aduk di wajah Septa menarik perhatiannya dan tak bisa ia abaikan begitu saja.

Apakah Brian meninggalkan Septa? pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benaknya. Dan ia mencoba menyangkalnya, Brian tidak seburuk itu. Ia kenal Brian. Mungkin, mirisnya lagi. Karena setahunya Brian tidak seperti itu.

"Suamimu benar." ucap Septa ketika Fiona tak membuka mulutnya dan hanya memperhatikannya. Memberikan isyarat tak terucap untuk dirinya berbicara.

Sekali lagi kening Fiona berkerut ketika suaminya itu disebutkan dalam pembicaraan mereka. Apakah Frian pernah bertemu dengan Septa? tanyanya dalam hati. Tapi ia tetap bergeming, tak mau menanyakannya dan menunggu ke mana arah pembicaraan mereka berlanjut.

"Suamimu mendatangiku di tempat parkir setelah aku menemuimu di cafe itu." jelas Septa. "Seharusnya sudah cukup bagiku Brian memilih berada di sampingku. Tapi aku terlalu serakah, maafkan aku atas semua yang telah kulakukan dan katakan padamu. Aku benar-benar menyesal." ia melanjutkan.

Jadi Frian tahu apa yang mereka bicarakan, Fiona masih tak membuka mulutnya. Sekali lagi pria itu mengetahui keterpurukannya, pantas saja Frian memintanya untuk tidak menemui Brian lagi. Untuk dirinya dan untuk pria itu sendiri. Dan memang itu lebih baik.

Dan tentang Septa, ia memang bisa memaafkan kata-kata Septa tempo hari. Ia mengerti dengan emosi yang dirasakan wanita itu padanya. Sangat wajar.

Ia pernah melihat Frian keluar dari apartemen Calista, melihat Calista bergelung manja di lengan suaminya. Perasaan itu menghancurkannya, sekalipun ia tak pernah mau mengakui rasa yang membuat hatinya remuk itu. Dan ia melakukan hal yang sama yang dilakukan Septa padanya, ia berbicara buruk pada Calista, sekalipun Calista pantas mendapatkannya. Karena dengan terang-terangan akan merebut Frian darinya. Dan baru disadarainya, bahwa semua yang ia lakukan hanyalah tameng agar hatinya tak lebih remuk lagi.

Ia tahu betapa buruknya perasaan itu. Perasaan dikhianati. Membuatnya lebih mudah memaafkan Septa.

"Bisakah kau memaafkanku?" kali ini suara Septa berubah memohon.

Fiona menghembuskan nafasnya ringan. Lalu mengangguk kecil.

Septa bernafas lega. Air mata mengalir membasahi pipinya, "Terima kasih, Fiona."

Fiona masih membatu. Apakah permintaan maafnya sebesar itu artinya untuk wanita itu hingga mampu meneteskan air mata. Dan bahkan, semua ini juga bukan semata-mata sepenuhnya kesalahan Septa. Ia juga ikut andil dalam masalah ini. Membuatnya merasakan firasat yang aneh ketika mengingat awal pembicaraan mereka tentang Brian. "Dan apa semua ini ada hubungannya dengan Brian?" tanyanya, karena setahunya, pembicaraan ini hanyalah antara dirinya dan Septa saja. Sekalipun pembicaraan itu tentang  Brian.

Kali ini Septa yang membungkam. Wajahnya yang sudah basah oleh air mata semakin memucat.

"Apakah Brian yang menyuruhmu?" mata Fiona memicing menatap manik mata Septa. Mengabaikan tatapan-tatapan mata yang berjalan melewati mereka. Membuatnya tersadar bahwa mereka  masih berdiri di tengah halaman kampus. Segera ia menarik lengan Septa dan menariknya. Membawanya ke tempat yang lebih pas untuk pembicaraan  mereka.

Septa hanya menurut. Menghapus pipinya dengan punggung tangannya ketika Fiona menghentikan langkahnya dan mereka berdiri di pinggir jalanan. Di samping pohon besar yang tertanam sepanjang pagar kampus.

Fiona mengurut dahinya sambil menghembuskan nafasnya dengan keras. Kenapa masalah Brian dan Septa semakin rumit. Dan ia akan sangat mengerti betapa terlukanya Septa membayangkan Brian yang menyuruh wanita itu meminta maaf padanya. Amat sangat mengerti perasaan Septa karena perasaan Brian yang masih tersisa untuknya yang sudah diketahui wanita itu. Kembali matanya menatap Septa, dan kali ini, ia tak bisa menahan rasa iba yang bergelayut di dadanya untuk wanita itu. Perasaan bersalah yang semakin berat ditanggungnya untuk wanita itu. Pantaskah ia bahagia setelah menghancurkan kebahagian wanita lain?

Tangisan Septa sudah mereda, sekalipun masih menyisakan isakannya. Lalu wajahnya mendongak memandang Fiona dan menggeleng, "Tidak. Bukan Brian yang menyuruh meminta maaf."

Ada perasaan lega dengan jawaban Septa. Tapi tak cukup menghilangkan raut penuh tanya di sana.

"Aku akan sangat malu jika Brian tahu apa yang kulakukan padamu. Dan aku tak akan sanggup melihat wajahnya." jeda sejenak. Air mata Septa kembali mengalir, "Aku mencintainya, dan seharusnya cukup dengan pilihan Brian untuk berada di sisiku."

Kali ini perasaan bersalah itu kembali menghantam dada Fiona. Brian tak sanggup melihat wajah Septa karena pria itu tidak bisa mencintai istrinya. Dan Septa, wanita itu tak sanggup melihat wajah Brian dengan perasaan cinta yang dimiliki Septa untuk Brian. Tidak bisakah mereka saling mempertahankan apa yang ada di sisi masing-masing dan mencoba hidup bahagia? nyatanya semua tak semudah yang dipikirkannya.

"Dan kali ini, maukah kau membantuku?" suara Septa mengembalikan kesadaran Fiona, "Aku akan melakukan apapun untukmu asalkan kau mau membantuku kali ini. Membantuku dan Brian."

Fiona tak bisa menolak permohonan Septa. Ia tentu akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Brian dan Septa. Untuk menebus apa yang ia lakukan pada Brian dan Septa, sekalipun ia yakin tidak akan bisa menebus semuanya. Dan iapun mengangguk pelan, "Aku akan berusaha sebisaku."

"Bi... bisakah..." tangan Septa terangkat, menyeka air matanya lagi, "Bisakah kau membujuk suamimu untuk mencabut tuntutannya dan mengeluarkan suamiku dari penjara?"

Dan seketika darah lenyap dari wajah Fiona. Tubuhnya membeku, tenggorokannya tercekat, dan tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.

Tuntutan?

Penjara?

Apa yang sebenarnya telah terjadi antara Brian dan Frian?

***

Hahhh.... akhirnya.

Kurang satu part/ dua part lagi end ya.

Tapi jangan lupa kasih vote dan commentnya yang banyak ya. 

Tuesday, 25 April 2017

Repost Tuesday, 20 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top