36. Give Me Time to Love You

Love you to death...

###

Part 36

Give Me Time to Love You

###

Frian masih membungkam. Kepalanya masih mencerna setiap kata yang keluar dari mulut mamanya. "Sejak kapan mama mengetahui semua itu?"

Sejenak Fania terdiam. Menatap wajah putra kesayangannya yang memucat dan menjawab, "Sebelum kau menyadarinya sendiri."

Seakan belum cukup keterkejutannya berlalu, matanya semakin melebar dengan jawaban mamanya.

Jadi, mamanya sudah mengetahui sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak sebelum ia menyadari bahwa ia mencintai Fiona?

"Mama tidak habis pikir, sampai kau senekat itu untuk melanjutkan kuliahmu hanya untuk menghindari wanita seperti itu. Mama tidak tahu bagaimana caramu menipu wanita itu sampai mau menikah denganmu. Semua yang kau lakukan untuknya, kau benar-benar dibutakan olehnya, Frian?"

"Setidaknya dia adalah wanita yang paling Frian cintai. Dan sekarang, Fiona membutuhkan Frian." Frian menjawab.

"Oh, apakah sekarang dia membutuhkanmu?" Fania bertanya mencemooh. "Apakah nanti dia akan mencampakkanmu setelah dia tidak membutuhkanmu lagi?"

Frian mendesah keras, "Frian tidak tahu kehidupan kami akan bahagia atau tidak tanpa restu mama. Tapi, saat ini Fiona lebih membutuhkan Frian. Sudah cukup Frian membuat Fiona menderita mengalami ini semua.

"Jadi, setelah semua yang sudah mama lakukan dan berikan untukmu, kau lebih memilih dia?" Fania menatap tak percaya.

"Hanya Frian yang dimiliki Fiona saat ini. Ia tak punya siapa-siapa lagi selain ibunya yang sangat membencinya. Tapi mama, Frian tahu mama lebih kuat dan punya orang di sekeliling mama yang bisa mendukung dan mencintai mama."

Fania tertawa keras, tawa hambar yang syarat akan kekalahan, "Apa mama kalah karena mama kuat?" tanyanya sinis.

"Mengertilah, ma. Frian hanya tidak mau mengulagi kesalahan Frian untuk kedua kalinya. Frian tidak bisa kehilangan Fiona, Frian juga tidak bisa menggugurkan darah daging Frian sendiri."

"Siapa yang menyuruhmu menggugurkan anak itu?" sahut Fania setengah berteriak. "Apa kau berpikir sekejam itu tentang mama?" Fania menatap sakit hati kepada putranya. Tak bisa percaya dengan pemikiran seburuk itu bercokol di kepala anaknya, "Jika saja masalah ini bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Mama tidak perlu memikirkan dan berusaha menenangkan perasaan mama sejauh ini karena kekecewaan yang kau lemparkan pada mama."

"Kalau begitu cobalah menerima Fiona dengan cara yang lain. Lewat anak Frian yang ada di kandungannya."

"Mama tak perlu berusaha untuk menyukai darah daging mama sendiri." desis Fania tajam. "Mama hanya butuh wanita itu menginginkan dan mencintaimu seperti yang kau lakukan padanya."

Frian terdiam. Suara hening dan penuh aura ketegangan yang menguar di udara ruangan, terasa mulai menyesakkan dada. Ia tak bisa memaksa Fiona untuk memberikan apa yang diinginkan mamanya untuknya. "Frian tidak bisa memaksa Fiona untuk mencintai Frian. Tapi itu bukan alasan bagi Frian untuk melepaskan Fiona."

Fania terdiam. Kehabisan kata-kata untuk menjawab kalimat Frian.

"Mama harus kembali kerumah."  ucap Frian memecah keheningan itu. "Beberapa hari lagi papa akan pulang. Dan... mungkin lebih baik..." Frian menghentikan kalimatnya menahan sedikit nafasnya "...Frian dan Fiona tidak tinggal di rumah untuk sementara."

Ucapan Frian menarik perhatian Fania. Membelalak tak percaya dengan apa yang didengarnya. Lidahnya terasa keluh dan kesulitan hanya untuk sekedar  mengeluarkan suaranya untuk berkata, "Aa...apa? "

"Frian akan tinggal di apartemen yang sempat Frian beli ketika Frian akan menikah."

Fania benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya membuka nutup menelan protes apapun yang akan diucapkannya.

"Kandungan Fiona sangat lemah. Ia sudah cukup tertekan dengan kebencian mama padanya. Ditambah urusan kuliah yang cukup menyita tenaga dan pikirannya. Bahkan dia menyembunyikan keadaannya dan hampir membahayakan kandungannya."

"Apa kandungannya baik-baik saja?" pertanyaan itu dengan lancangnya keluar dari bibirnya. Kesal akan kekhawatiran yang tanpa diduganya itu.

"Frian tidak mau kandungannya kenapa-napa lagi. Jadi, lebih baik kami tinggal di sana."

Fania menghembuskan nafasnya kasar. Sepertinya hubungan buruknya dengan Fiona cukup mempengaruhi kandungan wanita itu. Mengerang marah menyadari kata-kata Frian yang benar. Bagaimanapun, janin yang ada di dalam kandungan wanita itu adalah darah dagingnya. Keturunannya. Dan ia tak mau membahayakan cucunya itu.

Mungkin pilihan Frian ada benarnya. Ia juga butuh waktu untuk menerima wanita itu.

"Maafkan Frian karena kebahagiaan Frian begitu mengecewakan mama. Frian akan kembali." kata Frian mengakhiri pembicaraan. Membalikkan badannya dan melangkah pergi.

Kata-kata Frian seperti sebuah tamparan yang mendarat di pipinya tanpa diduganya. Menamparnya begitu keras dan meninggalkan rasa panas dan bekas memerah di sana. Menyadarkannya akan sesuatu. Dadanya terasa sangat sesak melihat raut Frian yang penuh kesedihan. Belum pernah ia melihat anak lelakinya seputus asa itu.

"Maafkan Frian karena kebahagiaan Frian begitu mengecewakan mama. Frian akan kembali."

Selama ini, ia hanya ingin melihat kebahagiaan anak lelakinya. Yang ia lakukan untuk kebahagiaan anaknya.

Bagaimana mungkin, setelah anaknya memperoleh kebahagiaannya, kemudian ia harus kecewa?

***

Jam di dinding hampir menunjukkan tengah malam ketika Frian membuka pintu kamarnya. Sekali lagi melihat Fiona yang tertidur di atas meja belajarnya. Sekalipun kali ini tidak dengan tumpukan buku dan laptop yang masih menyala, hanya satu buku yang terbuka. Menutup pintu dengan perlahan, lalu melangkah sambil meletakkan jaketnya di punggung sofa sebelum menghampiri wanita itu dan memindahkannya ke atas ranjang.

Apakah jika dia tidak pulang, wanita itu akan tertidur di atas meja belajarnya semalaman? gerutunya dalam hati saat membungkukkan badannya dan menyelipkan lengannya di balik lutut Fiona.

Mata Fiona mengerjap oleh sentuhan Frian, lalu mengangkat kepalanya dan melihat wajah Frian yang membungkuk di hadapannya, "Ee... kau sudah pulang?"

Frian menegakkan badannya. Menghembuskan nafasnya dan menganggukkan kepalanya bersamaan, "Kalau lelah istirahatlah di atas kasur."

"Aku terbangun." melirik buku bacaannya yang masih terbuka, "Dan tak bisa tertidur lagi."

"Apakah kau selalu seperti ini?" Frian menyandarkan tubuhnya di meja belajar Fiona. Menghadap wanita itu dan tangannya terangkat mengusap lembut ujung kepala Fiona dengan sayang.

"Terkadang." Ya, tadi sore dia sudah tertidur di sofa menunggu Frian kembali. Lalu terbangun jam 10 dan tak juga menemukan pria itu di sampingnya. Dan sepertinya, bukunya masih cukup ampuh membuatnya mengantuk ketika ia sedang kesulitan untuk tidur.

Frian hanya diam memandang wajah Fiona dengan lembut. Menyelipkan anak-anak rambut Fiona di belakang telinganya. Menangkup pipi  kiri Fiona sambil mengelusnya dengan lembut. Hening cukup lama saat Frian hanya diam mengamati wajah Fiona.

"Kenapa?" Fiona mengeryitkan dahinya. Ia merasa sikap Frian kepadanya sedikit aneh.

"Kau tidak perlu melanjutkan kuliahmu  jika kau tidak mau melakukannya" gumam Frian pelan.

"Apa maksudmu?" Fiona bergarak tak nyaman, kerutan di dahinya semakin dalam mencerna kalimat Frian.

"Aku tidak mau kau melanjutkan kuliah jika itu mengganggu kesehatanmu. Aku takut itu akan membahayakan pertumbuhan anak kita." tambah Frian.

"Bukan masalah kuliah yang seharusnya kita pikirkan sekarang." Fiona mencoba berdalih. Sekalipun ia juga terkadang kewalahan menghadapi ketinggalannya, tapi ia tak keberatan. Otaknya masih mampu untuk memikirkan semua itu. "Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana cara menghadapi kemarahan mama pada kita berdua"

Sejenak Frian terdiam, "Kita akan pergi dari rumah ini dan tinggal di apartemenku."

"Apa?!" Fiona terkejut. Menatap semakin tak mengerti keputusan yang Frian ambil. Pertama kuliah, sekarang pindah dari rumah ini. Mungkinkah?

"Mulai sekarang jangan pikirkan apapun tentang mama." Frian menjawab ekspresi yang terpampang di wajah Fiona. Ia tahu wanita itu tidak akan menyetujui keputusannya. Tapi hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi Fiona dan anaknya. "Aku sudah bicara dengan mama."

"Apa kau tahu dimana mama sekarang?"

Frian mengangguk, "Aku menyuruh beberapa orang untuk mencari keberadaan mama di villa mana beberapa hari yang lalu. Tadi pagi salah satunya mengabariku mama berada di mana. Maaf aku tidak di sisimu ketika kau terbangun."

"Apa mama juga sudah tahu kalau kau juga mengetahui tentang kehamilanku?" tanya Fiona dengan was-was. Tak bisa membayangkan kebencian mertuanya itu akan sebesar apalagi.

"Ya. Aku mengatakannya."

"Jadi..." Fiona menelan ludahnya. Merasakan gumpalan itu berhenti di tenggorokannya. "...mama mengusirmu?"

"Tidak." Frian menggelengkan kepalanya, "Aku sendiri yang memutuskan kalau kita akan  tinggal sendiri di apartemen. Aku takut tekanan yang kau rasakan dari kebencian mama akan mempengaruhi kehamilanmu lebih banyak lagi."

Mendengar itu, Fiona tercengang. Tak menyadari air matanya yang menetes dari kedua sudut mata Fiona. Perasaan nyeri karena ia sudah menyeret Frian ke dalam penderitaannya. Rasa bersalah telah menghancurkan hubungan Frian dengan mamanya. "Kau tidak perlu melangkah sejauh ini, Frian." sesalnya.

Frian menggelengkan kepalanya, "Tidak. Semua ini bukan kesalahanmu." sangkal Frian ketika wajah Fiona mulai dipenuhi perasaan bersalah akan keputusannya. "Dan aku memang perlu melangkah sejauh ini. Aku tidak akan membiarkanmu menderita karena diriku. Kita tetap akan melangkah bersama sejauh mungkin. Ini keputusanku sejak awal, dan aku tak akan berubah."

"Maafkan aku." Fiona menatap wajah Frian dengan mata basahnya, "Aku benar-benar minta maaf sudah membuatmu berada dalam masalah ini."

"sshh... tidak." kepala Frian menggeleng lagi, "Jangan meminta maaf. Jika ada yang harus meminta maaf, maka akulah orangnya." jemarinya menghapus air mata yang mengalir di pipi Fiona. Selalu saja, air mata itu mampu membuat hatinya tergores. Tak tahan melihat wanitanya menangis.

Belaian Frian di wajahnya mampu memberikan rasa nyaman dan hangat itu. Menahannya ketika ia akan terjatuh dan menariknya dari derita yang berkubang di hatinya. Tapi tak cukup menghilangkan rasa tak nyaman di dadanya. Tak cukup menghilangkan rasa bersalah yang bercokol di hatinya. "Aku tak mau merusak hubunganmu dengan mamamu. Kau tahu itu sangat menyakitkan bukan? percayalah padaku, Frian. Itu sangat menyakitkan."

"Aku akan memastikan itu tidak akan terjadi." Frian menyakinkan, "Mama tidak akan membenciku. Dia juga tidak akan membenci anak kita. Aku akan memastikan hal itu. Apa kau percaya padaku?"

Fiona tak menjawab. Tak mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya. Sejujurnya ia ragu, tapi, haruskah kali ini ia bisa mempercayai Frian? memulai mempercayai Frian sepenuh hatinya?

"Mama memerlukan waktu untuk sendiri. Ia harus mencari cara lain itu menyukaimu dan menyesuaikan dengan harga dirinya. Dan kita hanya perlu menunggu dan memberinya waktu untuk berpikir. Sedikit ruang untuk emosinya." jelas Frian dengan kelembutan. "Jadi mulai sekarang kau hanya perlu memikirkan dirimu dan kehamilanmu. Apa kau mengerti?"

Fiona masih membeku. Mengamati wajah Frian dengan semua keraguan yang menyerbunya. Ia tak pernah mempercayai siapapun selama ini,kecuali Brian. Tapi hal itu berakhir dengan ia sendiri mengkhianati pria itu. Begitu juga dengan kepercayaan pada papa mertuanya, berakhir dengan kesepakatan gilanya dengan Frian.

"Kali ini, bisakah kau mempercayaiku?" alis Frian terangkat bertanya, meminta Fiona, "Berikan aku kesempatan sekali ini, aku berjanji tidak akan mengecewakanmu."

Masih ada ketakutan ketika akan jawabannya yang keluar dari bibirnya. Matanya masih mengamati wajah Frian, menelisik mencari sedikit saja alasan untuk tidak mempercayai pria itu kali ini. Sebelum kemudian semua ketulusan yang pria itu berikan padanya melenyapkan keraguannya. Ia tak buta untuk melihat semua yang dilakukan pria ini untuknya selama ini adalah karena pria ini begitu peduli padanya. Bukan rasa kasihan yang selama ini benci.

"Bisakah aku?" tanyanya lirih.

Frian mengangguk mantap, "Aku akan memastikan diriku tak akan mengecewakanmu lagi." Ia meyakinkan Fiona sekali lagi. Ia tak menyalahkan keraguan yang bercampur di sela-sela pertanyaan istrinya itu. Terlalu banyak orang di  sekitar Fiona yang membencinya hingga istrinya itu lupa bagaimana cara mencintai orang. Terlalu banyak pengkhianatan yang mengelilingi Fiona sampai wanita itu lupa bagaimana cara mempercayai seseorang. Ia salah satu dari beberapa orang yang telah mengkhianati Fiona dengan kesepakatan pernikahan mereka. Menipu wanita itu untuk berada di sampingnya dengan ikatan pernikahan ini. Memaksanya untuk berada di sampingnya. Dan ia tak akan heran jika kali ini Fiona menolak untuk mempercayai dirinya untuk kedua kalinya.

Sesaat Fiona masih menimbang-nimbang, namun akhirnya ia mengangguk  pelan. Tanpa keraguan sedikitpun dan penuh rasa terima kasih pada sosok yang berada di hadapannya. Hingga tanpa bisa menguasai dirinya, ia menghambur ke pelukan Frian. Mendekapnya erat-erat.

Frian mematung. Tak menyangka dengan pilihan yang diambil oleh Fiona. Ya, ia memang memintanya, tapi ia tak menyangka wanita itu akan menerimanya. Tak menyangka Fiona akan memberinya kesempatan kedua. Dengan seulas senyum di bibirnya, ia pun mengangkat  tangannya membalas pelukan Fiona. Menarik tubuh istrinya semakin erat. Dan tangan kanannya mengelus rambut Fiona dengan lembut.

Lama keduanya saling membungkam. Terlalu larut dalam kenyamanan dan ketenangan  pelukan itu. Dan Fiona merasa sangat nyaman berada dalam dekapan pria ini. Pria yang menjadi suaminya dan ayah dari calon anak yang ada di dalam perutnya. Lalu tiba-tiba ia melepas pelukannya, mendongak menatap wajah Frian lagi dan bertanya, "Bisakah kau memberiku waktu untuk membalas cintamu?"

Frian tercenung, seakan tak cukup ruang lagi akan kejutan yang diberikan Fiona untuknya. Apakah wanita ini akan berusaha mencintainya? selama ini tak ada lagi yang diinginkannya setelah Fiona memilih berada di sampingnya. Tapi, kali ini, wanita ini malah memintanya untuk memberinya waktu untuk membalas cintanya? adakah lagi yang diinginkannya lagi setelah ini?

Pertanyaan itu menyerbunya beserta ribuan kupu-kupu yang memenuhi dada dan perutnya. Ia tak bisa lagi terbang lebih tinggi lagi.

Fiona menatap mata Frian meminta jawaban. Ia akan membiarkan Frian masuk ke dalam hatinya. Membongkar bentengnya untuk pria ini. Ia akan mencoba untuk membiarkan Frian berdiri kokoh menopang hidupnya. Menariknya ketika ia terhuyung dan menangkapnya ketika ia terjatuh. Mempercayakan pria itu untuk melindunginya.

Frian mengangguk. "Aku tak pernah bisa menolakmu, Fiona." jawabnya.

Fiona tersenyum, "Terima kasih."

Frian membalas senyum itu dengan senyum yang lebih cerah. Menundukkan kepalanya mendekat ke arah wajah Fiona. Merasakan nafas Fiona yang kini menerpa wajanya dengan sensasi yang membuat perutnya bergejolak.

Fiona menelan ludahnya, pandangan Frian padanya yang begitu intens membuat kegugupan menyerangnya.  Menyergapnya tanpa bisa berpaling dari mata Frian. Seperti menghipnotisnya. Belum pernah ia merasakan sensasi dan gejolak aneh yang asing seperti ini pada Frian, juga pada siapapun. Semua rasa berncampur jadi satu memenuhi dadanya yang tiba-tiba menjadi tak karuan.

"Aku mencintaimu," bisik Frian dengan penuh makna. Mengunci tatapan Fiona. "Aku benar-benar mencintaimu."

Dan di detik berikutnya bibirnya sudah menyentuh bibir Fiona. Menciumnya dengan ciuman lembut. Menikmati setiap sentuhan yang mengalirkan perasaan terbaik yang pernah ia miliki di sekujur tubuhnya. Dan karena merasa Fiona tidak keberatan dengan hal itu, Frian pun semakin merapatkan pelukannya dan meminta lebih dari hanya sekedar berciuman yang singkat.

Bagi Fiona, entah mengapa efek ciuman Frian kali ini berbeda. Membuatnya merasa dihujani berbagai emosi. Perasaan terbesar yang pernah diberikannya untuknya. Membuatnya tak bisa menahan diri untuk menikmati dan membalas lumatan bibir Frian di bibirnya. Kata- kata Frian yang menyatakan cinta benar-benar membuatnya melayang.

'Mungkinkah ini yang namanya bahagia?' tanyanya dalam hati.

'Mungkinkah ia mulai mencintai pria ini tanpa disadarinya?' Fiona tidak bisa menjawabnya. Ia tak mau memikirkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ia bisa mencari tahunya nanti. Saat ini, ia hanya ingin menikmati kenyamanan dan kehangatan yang diberikan Frian padanya.

Ia tahu Frian akan membahagiakannya.

***


Tetep semangat buat vote dan comment cerita ini ya.

Promokan juga ya.

He... he... he...

Tuesday, 18 April 2017

Repost Tuesday, 6 November 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top