32. Run to You
Love you to death...
###
Part 32
Run to You
###
Vote dan commentsnya sangat memuaskan. Jadi author kasih part ini buat bonusnya. Tapi masih belum ada judulnya. Author sibuk dengan dunia nyatanya. Commentsnya juga beberapa aja yang udah di baca. Tapi tetap author baca kok. Semuanya. Jadi jangan khawatir kalau ga di baca.
Ga dibalas bukan berarti ga di baca.
Enjoy it...
Kalau ada yang mau request buat judul yang cocok ama part ini. Siapa tahu authornya suka.
###
Terima kasih banget buat rae2392 untuk judulnya. Author sangat terbantu.
###
Frian tersenyum sambil bersalaman dengan lelaki muda yang berdiri di hadapannya, "Semoga kerja sama ini membuahkan hasil yang diharapkan."
Lelaki itu membalas senyum Frian dengan senyum yang lebih lebar, "Terima kasih anda sudah mempercayakan proyek ini pada perusahaan kami."
"Sama-sama."
Kemudian lelaki itu melangkah meninggalkan ruangan diikuti sekretarisnya yang usianya hampir sama dengan si boss.
Frian mendesah keras sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya setelah rekan bisnisnya tersebut menghilang dari balik pintu. Wajahnya tampak begitu lelah. Berikut otak dan dadanya yang masih berkecamuk.
"Apa Bapak tidak enak badan?" tanya Stella yang sedang merapikan berkas-berkas di meja.
"Kau bisa kembali ke kantor. Aku ada urusan sebentar." jawab Frian.
Stella mengangguk, "Apa Bapak butuh sesuatu sebelum saya pergi?"
Frian menggeleng, "Kau selesaikan saja tagihannya."
"Baik, Pak." sekali Stella mengangguk. Lalu melangkah keluar beserta berkas-berkas yang ada di kedua tangannya.
Tak lama setelah Stella keluar, Frianpun beranjak dari duduknya dan ikut keluar. Dan baru saja ia menginjakkan kakinya keluar dari private room itu, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Fiona yang memasuki pintu cafe.
Ia hendak menyapa wanita itu, tapi Fiona melangkah ke salah satu sudut cafe yang berseberangan dengan tempatnya berdiri. Menuju seorang wanita muda yang sepertinya sedang menunggunya di salah satu meja. Frian tidak mengenali wanita tersebut karena wanita bergaun pink itu memunggunginya. Membentuk kerutan di dahinya ketika bertanya dalam hati siapa wanita itu.
###
"Apa kau tahu kenapa aku ingin bertemu denganmu?" suara Septa dingin dan datar. Mata cantiknya bersinar dengan amarah yang tertahan.
Fiona diam. Ia tahu jawaban pertanyaan yang dilontarkan Septa. Tapi ia juga tak mungkin mengiyakan pertanyaan itu secara gamblang.
Septa mendengus. Tertawa kecil dan mencemooh Fiona, "Apakah ini berarti kau sudah mengetahuinya?"
Fiona menghela nafasnya. Merasa tak nyaman dengan pembicaraan yang baru mereka mulai. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Sekali lagi Septa mendengus, "Apa kau tidak sadar kalau kau sudah menghancurkan rumah tanggaku dan Brian?"
"Aku tidak ikut andil dalam masalah rumah tangga kalian." sangkal Fiona.
"Kalian menyembunyikan fakta yang sangat menyakitkan dariku. Dan sekarang kau masih berani bilang bahwa kau tidak bersalah?"
"Apapun hubunganku dan Brian, semua itu terjadi sebelum kau menikah dengannya."
"Apa kau juga tahu kalau Brian masih belum melupakanmu? membuatku tampak menyedihkan saat aku berpikir bahwa dia juga mencintaiku."
"Apa itu kesalahanku?" Fiona balik bertanya. "Itu juga bukan sesuatu yang kuinginkan."
"Ternyata dia menikahiku hanya karena ingin menjadikanku pelariannya saja. Apa kau tahu kalau kau sudah menghancurkan perasaanku?"
"Aku benar-benar berharap kalau kalian bisa hidup bahagia." kata Fiona tulus.
"Kau mengkhianati pertemanan kita." desis Septa, "Harapanmu itu tidak akan memperbaiki sakit di dalam hatiku."
Fiona diam. Ia memang tak berharap begitu banyak dapat memperbaiki sakit hati wanita itu.
"Kau memang tidak bersalah dengan perasaan yang masih dimiliki Brian untukmu. Tapi kebohonganmu..."
"Aku tidak perna berbohong apapun padamu." bantah Fiona.
"Sikap kalian berdua saat di hadapankulah yang membohongiku." tandas Septa. Nada dan tatapannya menajam. "Kalian bertingkah seolah tidak pernah ada hubungan apapun di antara kalian kecuali sebagai teman saja."
"Apa kami perlu harus memperjelas kerumitan hubungan kami?" Fiona membalas. "Apalagi semua itu hanya masa lalu yang sudah kami tinggalkan."
"Apa kau yakin kalian sudah meninggalkan kerumitan itu?" sengit Septa. "Di saat seharusnya ia membujukku untuk kembali pulang, tapi ia malah mendatangimu di kampusmu."
Mata Fiona membelalak. Tersentak dengan pemberitahuan Septa. 'Dari mana wanita itu mengetahuinya?'
"Apa kau masih mau membodohiku?"
"Saat... saat itu. Aku juga tidak tahu."
"Jangan menyangkalnya!" bentak Septa. Membuat orang-orang yang duduk di sekitar mereka memperhatikan meja mereka dengan gusar. Menyaksikan ketegangan di antara mereka. Dan Septa tak mempedulikannya. Wajahnya memerah menahan amarah yang mulai memuncak. l
"Aku tidak akan menyangkalnya." kata Fiona mulai gusar dengan sikap Septa, "Brian memang menemuiku di kampus. Dan apa yang kau harapkan dari pembenaranmu ini sekarang?"
"Kau benar-benar licik, Fiona. Wanita paling licik yang pernah kutemui."
"Apa kau sudah puas dengan mengataiku seperti ini?"
"Kau menghancurkan rumah tanggaku. Aku akan memastikan suamimu juga mengetahui kelicikanmu itu."
Fiona memejamkan matanya. Menarik nafasnya dan menghembuskannya guna menenangkan dadanya yang bergemuruh. "Aku tidak merasa berhutang tanggung jawab apapun kepadamu, Septa. Semua masa laluku dengan Brian sudah berakhir sebelum kau menikah dengannya dan sebelum aku menikah dengan suamiku. Tidak seharusnya kau menarik orang lain untuk jatuh ke dalam lubang yang kau gali sendiri. Rumah tanggaku dan rumah tanggamu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perasaan yang masih dimiliki Brian padaku. Dan tidak seharusnya kau menyalahkan orang lain atas kegagalanmu "
"Dan jangan menyalahkanku jika suamimu membencimu karena mengetahui kelicikanmu dan pria lain di rumah tangga kalian." nyala di mata Septa semakin membara, lalu ia menarik tasnya dengan kasar dan beranjak dari tempat duduknya. Melangkah pergi dan membiarkan Fiona tercenung di tempatnya.
Fiona masih mematung di tempat duduknya. Berusaha menenangkan emosi yang berkecamuk di dalam sana. Ia tidak boleh mengeluh tentang semua ini. Mungkin perasaan sakit itu bukan apa-apa dibanding derita yang telah ia berikan pada Brian dan Septa. Bahkan pernikahannya dan Frian pun juga tidak lebih baik dari keadaan rumah tangga mereka. Tidak ada apapun lagi yang tersisa untuk di hancurkan. Apa yang bisa ia keluhkan lagi selain menyesali keputusannya dulu. Namun ia tidak akan menyesali apapun. Hanya akan membuatnya semakin terpuruk dan lebih menyedihkan. Ia sudah berjalan sejauh ini, kalaupun ia bisa mengembalikan waktu, ia mungkin tetap tidak akan mengambil keputusan yang lain. Karena, selain penderitaan yang ia alami, setidaknya saat ini ia mempunyai anak yang ada di dalam kandungannya. Anak yang bisa membuatnya bertahan hidup menghadapi semua ini.
Dan ia rasa, ia juga tidak akan menyesali Frian dalam pilihannya.
###
Frian mengejar wanita bergaun pink yang berjalan melewati pintu keluar cafe. Memegang lengan wanita itu ketika mereka menuruni anak tangga di depan cafe.
"Bisakah aku berbicara sebentar denganmu?" tanya Frian ketika Septa membalikkan badannya dan mengerutkan keningnya dengan pertanyaan yang di lontarkan oleh pria asing itu.
"Apakah kau tidak mengenalku?" Frian bertanya lagi ketika mendapati Septa yang tak mengenali wajahnya di pertemuan pertama mereka dulu. "Kita pernah bertemu sekali. Frian, suaminya Fiona."
Kening Septa berkerut semakin dalam ketika mengingat-ingat sesuatu. Lalu tersenyum puas ketika mengangguk-angguk kecil, "Benar. Suaminya Fiona. Maaf aku melupakannya."
Frian hanya memberinya senyum tipis.
"Kebetulan sekali . Aku juga butuh bicara denganmu." wajah Septa tampak lebih bersemangat. Namun semangat penuh kelicikan.
"Apa kau ingin memberitahuku tentang kelicikan Fiona dan pria lain di dalam rumah tangga kami?" Frian mendahului kata-kata yang sama sekali belum terucap dari mulut Septa. Membuat wanita itu membelalak terkejut akan kalimat Frian.
"Ba... bagaimana kau tahu?" Septa tersentak.
"Apakah setelah kau memberitahukan hal itu kepadaku, maka kau akan berhenti mengusik Fiona?"
Mata Septa membelalak sempurna. Reaksi yang diinginkannya sama sekali tak mendekati apa yang diharapkannya. "Kenapa kau tampak baik-baik saja mengetahui hal itu? apa kau begitu bodoh?"
"Ini bukan masalah bodoh atau tidak. Apakah kau benar-benar mencintai Brian?"
"Kenapa aku harus menjelaskan hal itu kepadamu?"
"Jika kau mencintai Brian, bukankah seharusnya sudah cukup jika dia memilih berada di sampingmu?"
"Bagaimana itu sudah cukup? dia memang di sisiku. Tapi bukan aku yang ada di hatinya. Dan kau, apakah kau baik-baik saja istrimu mempunyai mantan yang masih mencintainya? Bahkan mereka masih bertemu di belakang kita."
"Aku berbohong jika aku mengatakan baik-baik saja. Tapi aku percaya pada Fiona."
Septa mendengus, "Kuharap kepercayaanmu padanya berhasil."
"Aku tidak membutuhkan harapanmu." suara Frian mulai mendingin, "Aku hanya ingin memberitahumu. Perasaan yang masih dimiliki Brian, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Fiona. Jadi jangan sekali-kali menemui Fiona lagi dan meminta pertanggung jawaban tentang Brian padanya. Tidakkah hal ini akan membuat harga dirimu semakin jatuh jika Brian mengetahui apa yang kau perbuat pada wanita yang masih dicintainya?"
###
"Apa yang kau lakukan di sini?" Fiona terperanjat ketika menemukan Frian ketika ia melangkah melewati tempat parkir akan ke jalan raya mencari taxi. Pria itu berdiri bersedekap di kap mobilnya. Terlihat sedang menunggu dan mengamatinya.
"Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu padamu?" Frian menarik turun kedua tangannya, "Aku ada janji temu di sini."
Fiona diam. Ya, di sini memang biasanya tempat mereka bertemu dengan rekan bisnis ataupun klien. "Aku... aku menemui temanku." jawabnya sambil melangkah lebih dekat ke arah suaminya itu.
"Lalu kenapa wajahmu sekacau itu jika bertemu dengan temanmu?"
Mata Fiona mengerjap. Malu. Apakah wajahnya sekacau itu sampai Frian mengatakan demikian? Mungkin saja, suasana hatinya memang sedang kacau. Rasa sesak itu ternyata masih ada sekalipun udara dingin malam menerpa wajahnya.
Fiona masih tertegun, menatap Frian cukup lama. Dan entah apa yang berkecamuk di dalam kepala dan dadanya, tiba-tiba ia melangkah ke depan. Memeluknya dan tak bisa menahan diri untuk meluapkan air mata yang sedari di tahannya. Ia menangis di dada pria itu. Ia tak tahu apa yang mendorongnya melakukan itu. Yang ia tahu, hanya itu yang membuatnya lebih nyaman. Ia membutuhkan pria itu dan ingin bersandar pada pria itu.
Frian terpaku. Tak mempercayai apa yang sedang terjadi. Mulutnya membeku kehilangan kata-katanya. Lagipula ia tak butuh berkata-kata. Fiona membutuhkannya. Butuh bersandar padanya dan ia hanya perlu mendekap wanita itu erat-erat. Tak akan membiarkannya lepas dari dekapannya sampai kapanpun.
###
"Kalian sudah datang?" Irina melongokkan kepalanya begitu menarik pintu apartemennya terbuka.
Fiona mengangguk. Mendahului Frian masuk ke dalam. "Ya, tadi kami langsung kemari."
"Kau menelfonku tiba-tiba. Jadi aku belum selesai membereskan barang-barangmu." Irina menunjuk meja di ruang tamu yang masih berserakan masih sama seperti terakhir kalinya Fiona meninggalkannya tadi pagi. "Buku dan obatmu masih berserakan di sana."
"Tidak apa-apa." Fiona menggeleng. Lalu meletakkan tasnya di sofa dan menoleh ke arah Frian yang berjalan di belakangnya, "Kau duduk saja dulu. Aku akan membantu Irina membereskan barangku di dalam."
Frian mengangguk kecil. Mengambil tempat duduk yang paling dekat dengannya. Sejenak memperhatikan punggung Fiona yang menghilang di ruangan yang tak jauh dari sofa ruang tamu. Matanya menangkap buku-buku Fiona yang berserakan di hadapannya sebelum mengambil tas Fiona yang ada di sampingnya dan memasukkan buku-buku tersebut ke dalam.
Sesaat gerakannya terhenti melihat tiga amplop berstempel rumah sakit yang dilihatnya. Sedikit lega saat tahu Fiona sudah memeriksakan dirinya ke dokter. Mengembalikan amplop tersebut ke tempat semula, ia memungut botol obat yang masih di atas meja.
"Narfoz? Obical?" Ada perasaan familiar ketika memegang botol tersebut. Membuat keningnya berkerut mengingat-ingat sesuatu. Dan ketika otaknya berusaha lebih keras untuk mengingatnya...
"Apa kau tidak apa-apa?" suara panik Irina dari dalam kamar tertangkap indera pendengarannya. Membuat Frian segera beranjak dari duduknya dan berlari menuju ke dalam.
Matanya membelalak panik menemukan Fiona yang sepertinya menahan rasa sakit yang berasal dari perutnya. Sedangkan tangan satunya bersandar pada ranjang. "Kau kenapa?"
Fiona menggeleng. Meringis menahan sakit di perutnya membiarkan Irina membantunya duduk di pinggir ranjang. "Perutku sedikit sakit."
"Apa kau salah makan?" tanya Frian.
"Mungkin." bohong Fiona, kepalanya mengangguk mengabaikan tatapan Irina yang menelanjanginya tak setuju dengan kebohongan wanita itu. Dan beruntung rasa sakit itu perlahan semakin menghilang. Walaupun masih menyisakan sedikit ketegangan di perutnya.
"Tidak bisakah kau lebih perhatian pada tubuhmu sendiri?" suara Frian penuh kekhawatiran. Mengelap keringat Fiona yang membasahi dahinya dengan sapu tangannya.
Irina berderap mengambil ke samping nakas. Menuangkan air putih ke gelas sebelum menyodorkannya pada Fiona, "Minumlah dan istirahat sebentar dulu sebelum pulang."
Fiona mengulurkan tangannya hendak mengambil gelas tersebut, tapi Frian mendahuluinya. Membawa gelas itu ke bibir Fiona, "Apa kau sudah pergi ke dokter?"
Fiona mengangguk. Mengusap bibirnya yang basah dengan punggung tangannya. Sedikit lega karena rasa sakit itu mulai menghilang.
"Lalu apa kata dokter?"
Sejenak matanya melirik ke arah Irina yang semakin menajam dengan ketidak jujurannya pada Frian, tapi ia mengabaikannya dan menjawab, "Aku... aku hanya butuh istirahat."
"Apa hanya itu yang dikatakan dokter?"
Sekali lagi Fiona mengangguk.
###
'Sampai kapan kau akan menyembunyikan kehamilanmu dari Frian?' Fiona membaca pesan singkat yang dikirim Irina saat ia naik ke atas kasur. Membuatnya mendesah kecil sebelum jemarinya bergerak untuk membalas pesan itu.
'Dia akan segera tahu.'
'Dia tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahunya.'
'Dia akan tahu.'
'Sebenarnya apa yang membuatmu khawatir untuk memberitahunya?'
'Kau tahu aku masih mempunyai masalah dengan mamanya, bukan?'
'Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehamilanmu.'
'Kau tahu mamanya sangat membenciku. Bahkan pil itu mamanya yang memberikannya padaku.'
'Itulah sebabnya kau harus memberitahu Frian. Aku yakin dia akan menyelesaikan masalah kalian.'
Sekali lagi Fiona mendesah, lebih keras dari sebelumnya karena kalimat Irina.
"Apa kau belum tidur?" tanya Frian yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melempar handuk yang baru saja digunakannya untuk mengusap rambutnya yang basah ke keranjang yang ada di sudut.
"Sebentar lagi." jawab Fiona. Mengetik 'Aku harus tidur.' sebagai balasan terakhirnya untuk Irina sebelum meletakkan ponselnya di atas nakas.
Frian melangkah ke samping ranjang. Menatap Fiona bergerak menyelipkan tubuhnya di antara selimut dan ia ikut menyusulnya. Tapi tidak ada yang merebahkan badannya. Keduanya bersandar di kepala ranjang.
"Apa yang kau keluhkan pada dokter sewaktu periksa tadi?" pertanyaan Frian memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka.
Fiona menoleh, "Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Aku hanya ingin tahu saja. Apa tidak boleh?"
"Bu... bukan begitu." Fiona menggeleng. Ia tahu pria itu akan menginterogasinya setelah melihatnya mimisan tadi pagi. Dan tatapan mata pria itu cukup memberitahunya bahwa suaminya itu meminta jawaban yang mendetail, "Tentu saja... aku menanyakan mimisanku. Lalu dokter memeriksa... nadiku, tekanan darahku..." 'dan kandunganku.'
"... dan mengatakan kalau tidak ada yang serius. Hanya butuh istirahat lebih saja." Fiona tidak sepenuhnya berbohong. Matanya menatap tumpukan buku yang ada di meja belajarnya hanya untuk menghindari bertatapan dengan mata Frian.
Frian terdiam. Ada sesuatu yang mengusik hatinya dengan jawaban Fiona. Ia tidak tahu itu apa, tapi ia tahu tidak seharusnya ia memaksakan rasa penasaran tanpa alasannya itu meminta jawaban pada wanita itu.
'Mungkin karena pengaruh pertemuannya dengan istri Brian beberapa jam yang lalu.' Frian mengira-ngira. Selama ini, pria itu memang masih memiliki dampak yang cukup kuat atas suasana hati istrinya. Membuat dadanya bergemuruh oleh rasa cemburu yang menderanya.
"Apa kau pernah menemui Brian selama aku pergi?" tanya Frian. Tak bisa menahan rasa cemburu itu menyergapnya.
Fiona tercenung ketika topik pembicaraan berganti jauh dari pembicaraan mereka sebelumnya. Tak menyangka dengan pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan Frian padanya tentang Brian. Sudah cukup tadi masalah pria itu membuat suasana hatinya memburuk. Kenapa pria itu malah membicarakan pria lain di atas ranjang mereka? tidak bisakah pria itu hanya membicarakan hubungan mereka saja? tentang bagaimana keadaannya selama pria itu pergi?
"Apa kau masih belum bisa melupakannya?"
Fiona masih membungkam. Brian tidak akan bisa menjadi orang yang akan ia lupakan dan dengan mudah ia anggap sebagai masa lalunya begitu saja. Tidak dengan semua kebaikan yang pria itu berikan padanya sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi, ia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Frian. Suaminya.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Frian sekali lagi dengan kebungkaman istrinya. Matanya mengamati wajah Fiona penuh arti, "Apa kau takut aku akan marah kalau kau menjawab ya?"
Fiona mengerjap, memandang wajah Frian yang tampak datar tanpa ekspresi yang berarti. Membuatnya sama sekali tidak mengerti arti pandangan itu. Apakah pria itu sedang marah atau tampak baik-baik saja dengan pembicaraan mereka? ia tidak tahu.
Berbeda dengan Frian yang selalu bisa menebak isi hatinya, baginya, Frian adalah orang yang paling susah ditebak. Sangat pandai menyembunyikan perasaanya, terbukti ternyata selama ini pria itu menyimpan perasaan padanya. Atau dirinya sendiri yang tidak mengenal Frian dengan baik?
"Aku hanya ingin kau tidak menemuinya lagi. Itu lebih baik untukmu." ujar Frian lagi. Menggerakkan badanya menghadap Fiona dan melanjutkan, "Setidaknya lakukan itu untuk menjaga perasaanku."
Jika pertanyaan Frian tadi hanya mampu menahan kebungkamannya, kalimat Frian kali ini sempurna melumpuhkan lidahnya untuk mengeluarkan sepatah katapun. Ada perasaan membuncah di dadanya yang tak mampu ditahannya.
"Tidurlah." tangan Frian terangkat mengelus ujung kepala Fiona sebelum membawa wajahnya mendekat dan mencium dahinya sebagai ucapan selamat malam untuk istrinya.
Fiona mungkin hanya akan mematung semalaman jika Frian tidak menarik selimut untuk menutupi setengah badannya setelah berbaring di sampingnya. Tangan pria itu bergerak mematikan lampu di nakas dan bersiap-siap akan tidur. Dan Fiona menggeleng-gelengkan kepalanya sekali sebelum ikut mematikan lampu di sampingnya. Ikut berbaring di samping Frian.
Ia berusaha memejamkan matanya. Degup jantungnya semakin mengencang di dadanya ketika ia menghempaskan tangan kanannya di atas selimut, terjatuh tepat di atas telapak tangan Frian. Segera ia menarik tangannya menjauh karena reaksi tubuhnya yang berlebihan terhadap kulit pria itu. Tapi, jemari Frian malah menggenggamnya dengan erat dan tak membiarkan terlepas.
Fiona menoleh ke samping, dan wajah pria itu sudah menoleh ke arahnya di antara keremangan kamar mereka, "Kenapa kau menggenggam tanganku?"
Fiona menelan ludahnya. Tangannya masih berusaha lepas dari genggaman tangan Frian, "Kau yang menahanku."
"Kau yang menjatuhkan tanganmu lebih dulu."
"Aku tidak sengaja." "
"Berhenti memberontak atau aku akan memelukmu." Frian mengetatkan genggamannya.
"Jangan bercanda, Frian. Bukankah kau tadi menyuruhku untuk tidur?"
"Sepertinya pikiranku berubah." dan tanpa Fiona duga, Frian menarik tubuh Fiona mendekat. Memeluknya.
"Aa... apa yang kau lakukan?" suara Fiona terbata-bata karena kegugupan yang melumurinya.
"Aku sedang memelukmu." jawab Friab ringan. Semakin merapatkan pelukannya, "Kenapa kau begitu gugup? apa karena aku akan melakukan lebih dari ini?"
Wajah Fiona memerah. Nafasnya tertahan ketika Frian bukan hanya mengetatkan pelukannya. Melainkan juga berusaha melenyapkan jarak di antara wajah mereka. Benar-benar berharap pria itu tidak bisa mendengar suara detak jantungnya yang bergetar begitu hebat di dadanya.
"Sudah dua minggu kita tidak bertemu. Apa kau tidak merindukanku?" bisik Frian lembut.
Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Fiona kesal mengingat pria itu sama sekali tidak menghubunginya selama kepergiannya. "Apa kau mau mengatakan kalau kau merindukanku?" dengus Fiona. "Kau bahkan sama sekali tak menghubungiku."
Jawaban Fiona membuat sudut bibir Frian terangkat menahan kegeliannya atas kalimat wanita itu, "Apa kau mengharapkan telfon dariku?" godanya.
Mata Fiona membelalak, "Apa?!" wajahnya bergerak menjauh dari wajah Frian sejauh mungkin. Tapi pelukan Frian terlalu erat dan bahkan ia sama sekali tidak bisa menjauh seincipun, "Tidak. Aku tidak menunggu telfonmu. Aku terlalu sibuk dengan kuliahku. Dan..." Fiona berusaha mencari alasan untuk menyangkal.
"Dan kau memang tak pandai berbohong." Frian melanjutkan kalimat Fiona. "Apa kau benar-benar menunggu telfonku?"
Fiona menggeleng cepat dan menjawab ketus, "Tidak!"
Senyum di bibir Frian semakin melebar, "Jika aku tahu kau menunggu telfonku, aku akan menyempatkan waktuku untuk mendengar suaramu."
"Berpikirlah sesukamu." Fiona berusaha mendorong dada Frian menjauh. Tapi pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan gerakannya dan semakin gencar mengganggunya. Rasanya wajahnya bukan hanya sekedar memanas saja.
"Setidaknya, sekarang kau sudah bisa mendengar suaraku secara langsung dan melihat wajah tampanku ini."
Fiona mendengus, "Kau memang orang paling sombong yang pernah ada di..." ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Frian membungkam mulutnya dengan bibir pria itu. Dan ia tahu, malam ini pria itu tidak akan membiarkan dirinya menjauh seinci pun dari tubuh pria itu.
###
Sunday, 09 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top