24. Restlessness
Love you to death...
###
Part 24
Restlessness
###
Dan setelah menunggu selama beberapa menit di samping gerbang kampus, akhirnya pandangan Fiona menangkap mobil SUV hitam milik Frian yg melaju pelan menuju ke tempatnya berdiri dan berhenti di depannya. Fiona pun melangkah mendekati pintu mobil dan membukanya sebelum naik dan duduk di samping Frian.
"Kita mau kemana?" Tanya Fiona meletakkan dua tumpukan buku tebalnya di pangkuannya.
"Kak Fabriana ingin kita ikut makan malam bersama di luar." Jawab Frian tanpa menoleh ke arah Fiona. Menatap arah jalanan sebelum menginjak pedal gas dan melajukan mobil.
"Benarkah?" Fiona mengenakan sabuk pengamannya. Tumben sekali kakak iparnya itu tiba tiba mengadakan makan malam bersama secara dadakan seperti ini. "Memangnya ada acara apa?"
"Hanya ingin makan malam bersama saja. Merayakan keberhasilannya."
"Keberhasilan?" Ulang Fiona tak mengerti.
"Karna setelah menunggu dan berusaha selama tiga tahun lebih, akhirnya ia berhasil hamil."
'Hamil?' Kata terakhir yg keluar dari mulut Frian, membuat Fiona langsung membeku. Serasa seperti batu besar yg menghantam bahunya. Mendadak buku tebal yg ada di pangkuannya terlepas dari genggamannya dan jatuh ke bawah.
"Kenapa?" Frian menoleh sejenak ke arah Fiona dan kembali berkonsentrasi menatap arah jalanan.
"Tidak apa apa." Fiona melepas sabuk pengamannya dan membungkuk untuk memungut bukunya. Sambil berusaha memutupi kegugupannya dari pandangan Frian. Beruntung konsentrasi Frian tertuju ke arah jalanan. Sehingga tak terlalu sibuk memperhatikan ekspresinya yg selalu seperti buku terbuka untuk pria itu.
"Apa kau kelelahan?" Tanya Frian khawatir melihat wajah Fiona tiba tiba berubah pias. Akhir akhir ini memang wajah istrinya itu selalu terlihat letih dan muram.
Fiona meletakkan buku tebalnya di dashboard. Lalu kembali memasang sabuk pengamannya sambil mengangguk kecil. Ia memang kelelahan. Tapi bukan itu alasan bukunya terjatuh.
Sekali lagi Frian menoleh ke arah Fiona. Konsentrasinya terbelah antara istrinya dan jalanan. "Apa kau sudah minum obatmu?"
"Tadi aku tidak sempat makan siang." Jawab Fiona lirih sambil menatap ke arah jendela.
"Kau selalu melewatkan jadwal makanmu. Apa kau tidak bisa menghilangkan kebiasaan burukmu itu?" Suara Frian naik beberapa oktaf karna kesal dengan kebiasaan buruk Fiona yg tak mau menjaga kesehatannya sendiri.
"Apa?" Fiona membalikkan wajahnya menatap Frian dengan matanya yg melebar kesal. Tersinggung dengan kata kata Frian mengenai kebiasaan buruk. "Apa maksudmu kebiasaan buruk?"
"Apa kau tidak merasa mempunyai kebiasaan buruk?"
"Kau..." Fiona menutup kembali mulutnya yg sempat menyemburkan kata katanya untuk membalas kalimat Frian. Ia akan merasa lebih lelah lagi jika harus berdebat dengan Frian. "Sudahlah." Ia menyandarkan kepalanya kembali ke sandaran kursi. Membalikkan badannya memunggungi Frian.
Sejenak keduanya hanya terdiam. Sebelum Frian kembali bertanya, "Apa kau mau minum?"
"Tidak." Tolak Fiona.
"Apa kau mau makan dulu?"
"Bukankah kita akan pergi makan?"
"Kau harus minum obatmu dulu."
"Aku baik baik saja. Aku bisa meminumnya nanti setelah makan malam." Tandas Fiona kesal. Melemparkan ekspresi bahwa ia tak mau berdebat lebih jauh lagi. Berharap acara makan malam mereka tak akan memperburuk suasana hatinya mengenai kehamilan. Ia tak mungkin memberitahu Frian kabar berita yg sama di saat keluarga mereka tengah berbahagia merayakan kehadiran keluarga baru yg lainnya. Ia tahu kehadiran anggota keluarga baru lainnya yg ada di perutnya tak akan memberikan reaksi yg sama seperti calon bayi kakak iparnya itu.
Dan berbagai macam pikiran yg berkecamuk di kepalanyapun terbukti. Keesokan harinya, ketika ia baru saja keluar dari kamarnya untuk menyusul Frian yg ada di ruang kerjanya, sejenak ia melihat Fania yg berjalan masuk ke ruang kerja suaminya itu.
"Apa kau sudah mau berangkat?" Tanya Fania begitu melihat putra kesayangannya itu berdiri di balik meja kerjanya. Membereskan beberapa berkasnya dan memasukannya ke dalam tas.
"Ya." Frian mengangguk, "Kenapa mama ke sini?"
"Dokumen papamu tertinggal. Ia memintamu untuk membawakannya sekalian." Fania menyodorkan map berwarba merah yg di pegangnya kepada Frian.
Frian pun menerimanya dan langsung memasukkannya ke dalam tasnya sebelum menarik resletingnya menutup.
"Apa kau mau mengantar Fiona ke kampus dulu sebelum ke kantor?"
Frian terdiam sejenak sebelum mengiyakan pertanyaan mamanya itu. "Iya."
"Kau harus putar balik sebelum langsung ke kantor. Bukankah dia bisa membawa mobilmu yg lain?"
Frian menghentikan gerakannya untuk mengangkat tasnya. Mendongak mengamati wajah mamanya untuk mencari tahu maksud kata kata mamanya itu.
Fania berdecak, "Apa kau begitu menyayangi wanita itu?"
Frian terdiam sejenak sebelum balik bertanya kepada mamanya, "Bukankah itu alasan mama merestui pernikahan kami?"
Fania tertegun. Balik mengamati wajah Frian sambil berdecak. "Ya. Walaupun mama tidak begitu menyukainya, mama tetap berharap kalian bisa berbahagia."
"Frian tahu itu." Frian mengangguk mengiyakan. Menatap punggung mamanya yg berbalik dan melangkah menuju pintu.
Namun belum sempat melewati pintu keluar, Fania kembali berbalik menghadapnya dan bertanya, "Kemarin mama melihat Fiona meminun obat sehabis makan malam. Apa dia sakit?"
Frian hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan mamanya. Semalam dia sendiri yg memastikan istrinya itu untuk tidak melupakan obatnya.
"Dia tidak hamil, bukan?"
Wajah Frian seketika langsung membeku. Menatap wajah mamanya yg sama sekali tak bersusah payah menutupi kepanikannya akan kecurigaannya. Dengan nada dingin yg juga sama sekali tak di tutupinya, ia menjawab, "Dia hanya kelelahan dan kurang beristirahat karna terlalu sibuk mengurus kuliahnya."
Fania hanya bersikap datar dengan ketersinggungannya Frian. Terselip helaan kelegaan akan jawaban anaknya ketika kembali membalikkan badannya untuk melanjutkan langkahnya. Dan langkahnya membeku ketika mendengar Frian melanjutkan kalimatnya.
"Sepertinya mama lebih khawatir saat mengira Fiona hamil daripada saat mendengar Fiona sakit karna kuliahnya."
Fania tertegun. Mencerna kalimat putranya baik baik. Menarik nafasnya dalam dalam sebelum kembali membalikkan badannya menghadapi Frian. "Apa maksudmu?"
"Apa yg sebenarnya mama takutkan kalau istriku hamil?"
"Bukankah kau sudah tahu jawabannya?"
"Fiona masih bisa melanjutkan kuliahnya sekalipun dengan kehamilannya."
"Kau tahu benar mama tidak menginginkan hal itu terjadi." Desis Fania.
"Apa alasannya?"
Mulut Fania terbungkam. Kehilangan kata katanya untuk menjawab pertanyaan Frian. "Sebaiknya kau segera berangkat."
"Apa karna lebih mudah memisahkan Frian dengannya kalau Fiona tidak mengandung anak Frian?"
Mata Fania membelalak dengan persepsi anaknya yg begitu tak terkira, "Apa kau bilang?"
Frian diam tak menjawab. Memandang mamanya yg tampaknya tersinggung dengan kata katanya dan melangkah mendekatinya dengan kesal.
"Apa kau kira mama tidak punya perasaan? Apa kau kira mama sekejam itu? Pada wanita yg kau cintai?" Sembur Fania meluapkan kekesalannya. Kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya, "Apa begitu buruknya pemikiranmu tentang mama?"
Frian masih membungkam. Terselip penyesalan dengan kata kata kasarnya kepada mamanya. Mendesah dalam hati ketika menyadari bagaimana mungkin ia berpikiran sebegitu buruknya mengenai mama yg selalu menyayanginya. Paling menyayanginya di bandingkan saudara saudaranya yg lain.
"Mama hanya tidak menyukainya. Tapi mama berusaha menyukai dan menerimanya karna dia adalah wanita yg kau cintai. Apa itu balasan yg kau berikan atas usaha mama?" Wajah Fania memerah karna ketersinggungan bercampur dengan kemarahan dan sakit hatinya.
"Frian hanya tidak suka mama tampak begitu kepanikan dan ketakutan ketika mengira dia sedang hamil."
Fania memejamkan matanya. Menarik nafasnya perlahan dan dalam dalam. "Mama tidak mau dia hamil sebelum mama bisa menerima dia sepenuhnya. Mama tidak mau dia merendahkan mama hanya karna dia mengandung anakmu. Satu satunya anak laki laki keluarga ini. Penerus papamu."
"Fiona bukan wanita seperti itu." Frian tak bisa menahan hatinya yg meringis dengan kata katanya. Karna dirinyalah yg memancing wanita itu menikah dengannya sebagai imbalan kekayaan dan kekuasaan yg di milikinya untuk membalaskan dendam wanita itu pada mamanya.
"Mama tahu itu. Dan semoga saja kau benar."
Frian mengerang dalam hati, "Apa semua masih harus berjalan sesuai keinginan mama? Kenapa Frian masih tidak punya hak untuk diri Frian sendiri? Bahkan setelah pernikahan ini?"
"Bukankah kau berjanji untuk menuruti keinginan mama jika mama merestui pernikahanmu? Apa kau lupa kesepakatan kita?"
"Apa hanya sebatas itu pernikahan kami bagi mama?"
"Kau tahu bukan itu maksud mama?"
"Seharusnya mama tahy sebaras apa permintaan mama jika mengijinkan kami menikah."
"Apa kau mau menyalahkan mama sekarang?"
"Bukan itu maksud Frian."
Fania terdiam. Tahu perdebatan mereka tak berakhir dengan cepat dan mudah. "Sebaiknya kau berangkat kerja. Mama tidak mau membahas hal ini. Yg kita tahu tak akan berakhir tanpa kita saling menyakiti."
###
Pintu kamarnya yg terdorong membuka dan langkah kaki terdengar oleh telinganya, membuat Fiona tersentak dari lamunannya. Menatap pantulan tubuh Frian yg melangkah mendekatinya di belakangnya.
"Apa kau sudah siap?" Tanya Frian. Melihat Fiona yg sudah rapi dan duduk di kursi riasnya memunggunginya.
Fiona tak bersuara. Ketika Frian berdiri di sampingnya untuk memungut salah satu kunci mobil yg tergeletak di meja rias istrinya.
"Aku akan berangkat sendiri." Gumam Fiona lirih. Mengangkat tangannya untuk mengambil kunci mobil yg lain yg ada di atas meja dan menggenggamnya sebelum berdiri.
Frian terdiam. Keningnya berkerut ketika Fiona melangkah melewatinya sambil membuang mukanya. Heran dengan sikap istrinya yg tiba tiba berubah menjauh. Iapun memegang pergelangan tanga Fiona. Mencegah wanita itu melangkah lebih jauh dan memaksanya untuk menetapnya, "Ada apa?"
"Aku akan memakai mobilmu yg lain. Jadi kau bisa langsung ke kantor." Jelas Fiona. Sekalipun wajahnya di paksa menghadap suaminya itu, tapi ia benar benar tak bisa menatap manik mata Frian. Takut, kesal, marah, kecewa, sakit hati, atau malu. Ia tak mengerti harus bersikap seperti apa kepada Frian.
Kedua tangan Frian menangkup wajah Fiona. Memaksa wanita itu balas menatapnya sebelum bertanya, "Apa kau mendengar ucapan mama?"
Fiona terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Frian. Tidak mungkin ia mengiyakan pertanyaan itu. Tidak mungkin juga ia membantahnya tanpa bersikap seolah olah ia tak mendengar pembicaraan yg menyesakkan dadanya itu. Nyatanya pembicaraan itu memang memengaruhinya. Amat sangat malah.
"Aku bisa berangkat sendiri. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku." Fiona menarik dirinya. Memilih mengalihkan pembicaraan mereka.
Frian menarik lengan Fiona sekali lagi. Merebut kunci mobil yg ambil wanita itu dengan paksa. "Aku akan mengantarmu." Kata Frian tegas dan tak terbantahkan. Lalu menarik tangan Fiona dan membawanya keluar kamar.
###
"Jangan pedulikan ucapan mama. Kau tahu dia orang seperti apa, bukan?" Kata Frian memecah keheningan yg sempat bertahan sejak mereka keluar dari kediaman Sagara. Sejenak menoleh ke arah Fiona yg menghadap ke jendela mobil dan membuang mukanya.
Fiona menoleh. Hanya mengangguk kecil sebagai jawabannya dan kembali membuang mukanya ke samping dengan berbagai macam pikiran yg masih berkecamuk di kepalanya.
'Kenapa keadaannya menjadi semakin rumit begini?'
'Apa yg harus di lakukannya?'
'Bagaimana caranya ia memberitahu Frian tentang kehamilannya yg mendadak ini?'
'Atau haruskah ia memberitahu Frian tentang kehamilannya?'
'Ataukah tidak?'
'Bagaimana kalau mamanya Frian mengetahui kehamilannya?'
'Mungkinkah... mamanya Frian akan...' Fiona tak tahan melanjutkan bayangan bayangan akan apa yg di lakukan mertuanya itu.
'Bagaimana kalau mamanya itu memintanya untuk menggugurkannya karna tidak menyukai dirinya mengandung darah daging anak kesayangannya?' Fiona memejamkan matanya. Menarik nafasnya perlahan dan panjanh ketika pemikiran itu mau tak mau muncul di kepalanya.
'Jika Frian tahu. Apakah pria itu akan memilih mengikuti kemauan mamanya?'
'Jika ia menyimpannya, tidak mungkin hal itu akan bertahan lama. Semakin lama, kandungannya akan semakin membesar. Dan Frian pasti akan mengetahuinya.'
'Apa yg harus di lakukannya?'
'Apa... apa aku harus....'
"...Fiona?" Sentuhan jemari Frian di bahunya menyadarkannya dari lamunan Fiona.
Membuat Fiona mengerjap kaget dan menoleh ke arah Frian dengan bingung, "Apa kau memanggilku?"
"Apa kau melamun?"
Fiona hanya diam.
"Apa kau masih memikirkan ucapan mama?" Tanya Frian. Mengurangi kecepatan laju mobilnya ketika berbelok di jalan depan. Hampir mendekati kampusnya. "Sudah kubilang jangan pedulikan kata kata mama." Katanya lagi lebih lembut. Menarik jemari Fiona dan mengenggamnya untuk menenangkan pikiran istrinya. "Apa kau mengerti?"
Fiona menunduk. Menatap jemari jemari tangannya yg tergenggan di jemari Frian. Yang entah kenapa menyalurkan ketenangan dan perlindungan yg tak di sangkanya. Namun, sekalipun semua itu tak cukup menghilangkan pikirannya yg masih tetap kacau, setidaknya genggaman jemari Frian yg hangat itu mampu membuatnya mengangguk pelan mengiyakan kata kata Frian.
###
11.15.
Fiona mendongak menatap jam di dinding ketika menutup laptopnya. Menumpuk makalah makalahnya menjadi satu. Mendesah lega tugasnya sudah selesai sambil merenggangkan tubuhnya sejenak dan bersandar pada kursinya. Tubuhnya terasa letih, pikirannya masih juga tak berkurang dengan kecamuk yg mengganggunya sejak ia di nyatakan positif hamil oleh dokter. Membuat pusing di kepalanya tak menghilang juga sekalipun ia sudah meminun obatnya.
"Apa kau masih belum mau tidur?" Tanya Frian dari atas ranjang.
Fiona terperanjat. Membalikkan badannya ke arah ranjang dan melihat Frian yg terduduk memandangnya. Ia mengira suaminya itu sudah terlelap dalam tidurnya karna sudah sejam yg lalu merebahkan badannya di atas kasur begitu selesai mandi. "Apa kau belum tidur?"
"Tidurlah. Kau tahu jam berapa ini? Aku tidak bisa tidur." Perintah Frian sedikit kesal. Dari sejak ia pulang ia sudah menyuruh Fiona untuk beristirahat. Tapi wanita itu malah bersikeras menyelesaikan tugasnya yg katanya harus segera di selesaikan malam ini juga.
"Kenapa? Apa aku mengganggumu?"
"Aku tidak pernah berbagi kamar dengan siapapun. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak jika ada orang di dalam kamarku. Itu sangat mengganggu."
"Apa?" Mata Fiona melotot tak percaya dengan kata kata Frian. Kesal karna ia sudah berusaha untuk tidak membuat suara sekecil apapun karna tahu suaminya itu sedang tidur tapi nyatanya usahanya sia sia dengan amat sangat dan merasa terganggu dengan keberadaannya di ruangan ini. "Jadi... selama ini aku selalu mengganggu tidurmu?"
"Aku hanya bisa tertidur kalau kau sudah tidur." Jawabnya datar.
"Apa aku harus punya kamar sendiri?"
"Jangan salah mengerti. Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tak pernah berbagi kamar dengan siapapun." Tandas Frian. "Apa pekerjaanmu harus selesai malam ini juga?"
"Aku sudah selesai." Sinis Fiona. Berdiri dari duduknya sambil menampakkan ekspresi kesalnya pada Frian dengan terang terangan.
Dan ketika baru beberapa langkah ia berjalan menuju arah ranjang, tiba tiba ia merasa ada cairan panas mengalir dr hidungnya. Iapun memegang hidungnya dengan punggung tangannya. Dan terkejut ketika mendapat darah segar membasahi tangannya tersebut.
"Kau kenapa?" Tanya Frian terperanjat kaget melihat Fiona yg kini berlari ke kamar mandi dan bergegas mengejarnya.
Fiona menyalakan kran air di wastafel dan membersihkan tangan dan hidungnya. Mengambil tisu dan meletakkan di hidungnya berusaha menghentikan darah segar yg masih mengalir keluar dari hidungnya.
Begitu memasuki kamar mandi, Frianpun langsung menyambar tisu yg di pegang Fiona. Membantu membersihkan sisa noda darah yg masih ada di sekitar hidung wanita itu. Menggantinya dengan tisu yg baru untuk menahan aliran darah yg masih tak mau berhenti.
"BUKANKAH SUDAH KU BILANG. JANGAN BELAJAR TERLALU KERAS!" Bentak Frian penuh kekhawatiran.
Mata Fiona membelalak kaget. Membuat badannya tersentak ke belakang dan menghempaskan tangan Frian sambil tangan kirinya memegang hidungnya. "Kenapa kau berteriak padaku?"
Frian hanya diam. Menarik lengan Fiona untuk mendekat ke arahnya sekali lagi dan mengambil tisu yg lain.
"Aku bisa melakukannya..."
"Sebaiknya kau diam dan turuti ucapanku jika tidak ingin melihatku lebih marah lagi." Frian memotong kalimat Fiona dengan ekspresi galak dan nada dinginnya.
Fiona tak bisa berkata kata lagi ketika menyadari raut wajah Frian yg memerah karna menahan amarahnya. Membiarkan pria itu mengurus mimisannya sebelum menarik lengannya dan membawanya ke atas kasur.
"Apa kau sudah meminum obatmu?" Tanya Frian sambil menyelimuti kaki Fiona.
Fiona menjawab pertanyaan itu hanya dengan anggukan.
"Istirahatlah. Aku akan ke bawah membawakanmu teh hangat."
###
Tuesday, 24 January 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top