21. Sorry, I Love You

Love you to death...

###

Part 21

Sorry, I Love You

###

Frian membuka pintu kamarnya. Mendengar gemericik air dari arah wastafel yg menandakan keberadaan Fiona. Segera ia berjalan menuju meja rias. Membuka lacinya dan mengambil kotak obat sebelum berjalan menghampiri Fiona.

Fiona mengacuhkan kedatangan Frian yg kini sudah ada di sampingnya. Membersihkan luka di telapak tangannya dan berusaha menghentikan darah yg masih mengucur dengan tisu

Frian meletakkan kotak obat itu. Membukanya dan mengambil kapas sebelum menarik tangan Fiona dan menekan kapas itu pada luka di telapak tangan Fiona. "Apa yg sebenarnya terjadi?"

Fiona menarik tangannya. Menatap datar Frian sambil menjawab, "Apa yg sebenarnya ingin kau ketahui?"

Frian kembali menarik tangan Fiona. Mencoba mengobati luka itu tapi sekali lagi Fiona menghempaskan tangannya dari jemari wanita itu dan berucap dingin, "Aku bisa melakukannya sendiri."

Hembusan nafas berat Frian semakin dalam dan berat. Tak tahu harus dengan cara apalagi ia menghadapi wanita ini. Dengan gusar ia bertanya, "Kenapa tanganmu sampai terluka?"

"Bukan urusanmu dan apa pedulimu tentangku?" Jawab Fiona. Membuang mukanya ke arah cermin. "Apapun yg ku katakan, aku tahu kau tidak akan mempercayainya. Jadi, buat apa kita membahas hal yg sia sia."

"Aku sangat yakin kau tidak cemburu padaku. Tapi kau tahu dia tidak bisa berenang, bukan?"

Fiona menyeringai. "Kamu benar. Jadi... percayai saja apa yg ingin kau percayai. Dan jangan tanyakan hal sia sia yg lainnya lagi."

"Apa maksudmu?" Desis Frian.

"Aku mendorongnya untuk membuktikan dia bisa berenang atau tidak. Dan aku melakukannya dengan sengaja. Dari segi mana yg tidak kau mengerti?"

"Kau tidak mungkin mendorongnya tanpa alasan. Katakan padaku apa yg terjadi sebenarnya?"

"Apa kau yakin akan mempercayai ucapanku?" Fiona menoleh. Menatap mencemooh ke arah Frian yg kini diam tak bersuara mendengar pertanyaannya.

Frian masih tertegun. Wanita ini tak cukup pintar berbohong padanya. Tapi, akan membuatnya gila karna Fiona tak pernah mau mengucapkan kebenarannya padanya. Ia tahu Fiona sengaja mendorong Calista ke kolam renang. Tapi...

Aarrgghhhh... Frian mengerang.

"Tidak akan ada yg berubah kalaupun aku membela diriku. Selain karna diriku memang sengaja mendorongnya, aku tak mau bersusah payah melakukan hal sia sia itu. Jadi, kau hanya perlu mengabaikanku saja."

"Kenapa kau selalu berbuat sesukamu? KENAPA KAU SELALU MEMBUATKU MERASA BURUK?"

Fiona terdiam. Termangu mendengar kalimat yg keluar dari mulut Frian penuh amarah tersebut. Pandangan penuh iba dan kesakitan yg memenuhi matanya membuat Fiona marah bercampur muak. "Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berbuat sesukaku? Apa yg telah aku lakukan hingga kau merasa buruk?"

"Apa kau tidak tahu? Apa kau benar benar tidak tahu apa yg telah kau lakukan padaku? Apa kau benar benar tidak tahu kalau perbuatanmu itu sangat menyiksaku?"

Fiona merasakan tenggorokannya menelan duri yg menusuknya ketika mencerna kalimat Frian dan menyadari kepedulian pria itu padanya. Dengan susah payah ia mengabaikan emosi yg terpampang di wajah Frian dan berkata dengan angkuh, "Kenapa perbuatanku bisa membuatmu tersiksa?"

"Apa kau benar benar tidak tahu?"

"Tidak." Tatapan Fiona menajam. Ia merasa benci Frian peduli padanya. Ia benci di kasihani seperti itu. Dengan kemarahannya ia berteriak lantang, "AKU TIDAK TAHU!"

"Baiklah." Frian menarik nafasnya sebelum mengeluarkan kata katanya lagi, "Kau tidak perlu menjawab pertanyaanku. Tapi, apa kau tidak merasa tersiksa oleh perbuatanmu sendiri? Membiarkan orang membencimu oleh kesalahan yg tidak kau perbuat?"

"Aku tidak peduli. AKU TIDAK MAU PEDULI."

"Sebesar kau menyakitimu. Sebesar itu juga kau menyakitiku. Bahkan lebih sakit lagi. Aku benar benat tersiksa olehmu. Apa kau tidak tahu itu?" Frian mengeluarkan semuanya dengan luapan emosi yg di tahan tahannya selama beberapa minggu ini.

"KENAPA? Kenapa kau tidak mengacuhkanku saja?" Tanpa di sadarinya air mata menetes di kedua sudut matanya. Merasakan sesak di dadanya tanpa alasan yg jelas. Hingga rasanya tak bisa lagi bernafas.

Frian meneteskan air matanya. Tanpa tangisan saat ia bersuara lagi. "Apa kau mengerti rasa sakitku sekarang?"

Fiona menggeleng. Frustasi menutup mata dan telinganya dengan kedua telapak tangannya, "Tidak. Aku tidak mengerti. AKU TIDAK MENGERTI. AKU TIDAK TAHU. AKU TIDAK PEDULI."

Frian memejamkan matanya. Tak tahan melihat wanita itu menangis. Tak tahan dengan keadaan mereka yg saling menyakiti. Ingin membawa wanita ke pelukannya dan menenangkannya. Meredakan rasa sakitnya. Tapi ia tahu ia tidak mampu melakukan itu. Tahu ia tidak bisa melakukan itu. Iapun membalikkan badannya. Memberikan Fiona waktu untuk dirinya sendiri. Sebelum pertanyaan Fiona menghentikan langkahnya.

"Bukankah ini yg kau inginkan?" Fiona menghapus air matanya dengan kasar. Menatap punggung Frian dengan matanya yg basah.

Frian menoleh. Tapi tetap tak membalikkan badannya. "Kau melakukannya bukan karna aku menginginkannya. Tapi karna kau menginginkanku lebih menderita daripada dirimu. Apa kau puas sekarang?"

###

'Bukankah ini yg kau inginkan?'

'Kau melakukannya bukan karna aku menginginkannya. Tapi karna kau menginginkanku lebih menderita daripada dirimu. Apa kau puas sekarang?'

Frian menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Memejamkan matanya sambil menarik nafasnya dan menghembuskannya kembali dengan berat dan dalam.

Kepalanya di penuhi oleh kalimat kalimatnya yg keluar dari pertengkarannya dengan Fiona beberapa jam yg lalu.

Ia tidak keberatan wanita itu membawanya untuk menerima rasa sakit itu. Ia tak peduli wanita itu menyakitinya dengan sangat buruk. Hanya saja, yg benar benar membuatnya merasa tak tahan lagi adalah Fiona menyakiti dirinya sendiri. Ia membenci siapapun yg melukai Fiona. Termasuk dirinya sendiri ataupun diri wanita itu sendiri yg melukai Fionanya. Ia benar benar benci melihat wanita itu terluka.

Perasaan benci bercampur cintanya pada sosok yg sama membuatnya benar benar hampir gila.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan pintu dari luar yg tertangkap indera pendengarannya membuyarkan semua yg berkecamuk di dalam dadanya.

"Masuk." Gumamnya lelah sambil menegakkan punggungnya. Kembali memegang mouse dan menatap layar laptopnya yg kembali menyala.

Bik Inah muncul dari balik pintu. Membawa nampan berisi secangkir coklat yg masih mengepulkan asapnya.

"Apa istri saya sudah pulang, Bik?" Tanya Frian ketika Bik Inah selesai meletakkan cangkir coklatnya di sisi mejanya yg kosong.

"Belum, Den."

Frian mendesah. Mengangguk kecil dan berucap, "Makasih, Bik."

"Kalau Non Fiona sudah datang. Bibik langsung kasih tahu Aden." Jawab Bik Inah dengan senyum lembut khas orang tuanya.

Frian hanya melengkungkan bibirnya masam. Tak ingin membuat pengurus rumah tangga tersinggung dengan sikap dinginnya. Sekalipun senyum itu juga tak mampu menutupi wajah muramnya.

"Kalau gitu Bibik keluar dulu. Siapa tahu Non Fiona bentar lagi pulang." Pamit Bik Inah segera. Tahu bahwa tuannya itu butuh waktu untuk sendiri.

Frian melirik jam di dinding yg sudah menunjukkam pukul 11.25 PM. Hampir tengah malam dan istrinya belum juga kembali sejak tadi sore. Sejak ia meninggalkan wanita itu setelah pertengkaran mereka tadi sore. Dan pergi ke ruang kerjanya untuk memberi waktu Fiona sekaligus menenangkan dirinya sendiri. Dan setelah sejam kemudian kembali ke kamarnya, ia tak mendapati sosok istrinya. Pergi tanpa membawa apapun melihat tas dan ponsel Fiona yg masih di tempatnya.

Teringat ponsel Fiona yg tertinggal, ia juga teringat teman Fiona yg sepertinya cukup dekat dengan istrinya itu yg tinggal di gedung yg sama dengan Calista.

Irina.

Ya, Irina.

Iapun beranjak dari duduknya.

"Hallo?" Jawab suara dari seberang dengan nada enggan, "Kenapa? Apa kau memintamu menjemputmu lagi?" Irina mendecakkan lidahnya, "Sudah ku bilang jangan minum minum lagi malam ini. Aku tidak bisa mengantarmu pulang karna ada operasi dadakan dan baru selesai satu menit yg lalu. Aku benar benar bisa gila harus mengurus anak asuh macam kau."

"Maaf." Potong Frian. "Saya Frian. Suaminya Fiona."

Irina tersedak. Hening sejenak sebelum suaranya bisa kembali normal, "Maaf. Saya kira ini Fiona."

"Tidak apa apa. Saya memang sengaja memakai ponsel Fiona."

Irina terdiam. Malu sudah mengeluarkan banjiran kalimat kalimatnya tentang Fiona pada suaminya sendiri, "Ngomong ngomong, kenapa anda menghubungi saja? Dan... kemana Fiona?"

"Sebenarnya saya menghubungi anda ingin menanyakan leberadaan Fiona. Dan sepertinya andapun tidak bersama dengannya."

"Ya. Saya sedang kerja. Apa Fiona belum pulang?"

"Belum. Ia meninggalkan ponselnya di kamar. Makanya saya tidak bisa menghubunginya." Jawab Frian. Walaupun ia ragu wanita itu akan mengangkat panggilannya sekalipun Fiona membawa ponselnya. "Apa kira kira anda tahu di mana Fiona biasanya pergi?"

Irina terdiam sejenak sebelum menjawab, "Beberapa hari ini dia sering minum di Zea Bar. Mungkin dia minum di sana lagi."

"Zea Bar?" Frian mengulangi kalimat Irina. Sambil mengingat ingat di mana Bar itu. Bukan Bar yg biasa di kunjungi, tapi ia tahu Bar itu, "Baiklah. Terima kasih atas infonya."

"Ya. Sama sama." Balas Irina. Dan sedetik setelahnya ia mengingat sesuatu, "Tunggu."

"Ya?"

"Kalau tidak ada. Mungkin dia di apartemen saya. Anda tahu gedungnya, bukan? 763."

Frian mengangguk. Mengulangi no. apartemen yg di beritahu Irina. "763."

"Baiklah. Kalau begitu, selamat malam."

"Ya. Selamat malam. Maaf mengganggu pekerjaan anda."

"Tidak masalah."

###

Karna sudah hampir satu jam ia menghabiskan waktunya mengedarkan pandangan di bar itu dan tak menemukan sosok yg di carinya. Frianpun memutuskan untuk mencarinya di apartemen Irina. Dan sudah lebih dari lima kali ia memencet bel di depan pintu apartemen bernomor 763 itu tapi sepertinya di dalam sana juga tidak ada siapapun.

Sambil melirik jam tangannya yg sudah menunjukkan pukul 01. 15 AM, ia membalikkan badannya. Merogoh ponsel Fiona untuk menghubungi Irina. Dan belum sempat Irina menjawab panggilannya, ia mendengar suara pintu di belakangnya terbuka.

"Siapa bertamu malam malam begini?" Tanya Fiona dengan suara malasnya muncul dari balik pintu.

Frian membalikkan badannya. Mencium bau minuman keras yg sangat menyengat. Lega sekaligus gusar melihat wajah Fiona. Lega karna akhirnya menemukan keberadaan wanita itu dan gusar melihat keadaan Fiona yg mabuk mabukan seperti ini.

"Aa... suamiku." Gumam Fiona dengan senyum sumringah setengah mabuknya.

Frian mengamati Fiona dari atas sampai ke bawah yg bertelanjang kaki dan bersandar pada pinggiran pintu karna sepertinya tak sanggup berdiri dengan tegak. "Apa kau mabuk?"

Fiona menggeleng, masih dengan senyum yg melengkung di kedua sudut bibirnya. "Tidak. Ngomong ngomong, apa yg kau lakukan di sini, Suamiku?"

"Berapa banyak yg kau minum?"

Fiona hanya nyengir dan mengedikkan bahunya santai. Lalu memukul mukul kepalanya ringan untuk menghilangkan pengaruh minuman keras yg mulai memburamkan pandangannya sambil menjawab, "Cuma sedikit."

Frian menghela nafasnya kasar. Sebelum menerobos masuk untuk mengambil alas kaki wanita itu dan membawanya pulang.

"Apa yg kau lakukan? Kenapa kau masuk?" Fiona terhuyung ke belakang saat berusaha dengan tiba tiba mengejar Frian. Mengikutinya dengan langkah kaki yg sedikit terhuyung huyung oleh pengaruh minuman keras.

Frian berhenti. Menatap meja kaca yg ada di tengah tengah sofa santai. Lampunya di padamkan. Sumber cahaya satu satunya adalah layar televisi yg di biarkan menyala tanpa suara. Membuat suasana ruangan itu remang remang. Tapi tak bisa membatasi pandangan Frian ke arah dua botol wiski dan sebuah gelas di atas meja kaca tersebut. Dan salah satu botol wiskinya yg tersisa setengahnya memberitahunya seberapa banyak wanita itu minum minum.

Fiona mengikuti arah pandangan Frian. Memilih menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa karna Frian sudah terlanjur melihatnya.

"Kita harus pulang. Di mana sepatumu?" Tanya Frian mengedarkan pandangannya mencari alas kaki yg di kenakan oleh Fiona.

"Apa aku punya rumah?" Dengus Fiona. Menuangkan cairan wiski ke dalam gelasnya yg sudah kosong.

Melihat itu, dengan sigap Frian menghampirinya dan mengambil gelas tersebut sebelum Fiona sempat meneguknya.

Fiona terperangah. Mendesah kesal namun tak berkomentar apapun. Memilih langsung meneguknya dari botolnya langsung. Dan sekali lagi Frian merebutnya. Membuatnya menoleh ke arah Frian dengan wajah merahnya karna marah bercampur mabuk, "Apa yg kau lakukan?"

"Jangan minum lagi."

"Berikan padaku. Aku ingin meminumnya lagi."

Frian menepis tangan Fiona yg berniat merebut minuman itu sekali lagi. Membuat wanita itu geram dan bangkit dari duduknya. Menghadap dirinya dan berkata, "Biarkan aku melakukan apapun sesukaku."

"Kau sudah terlalu banyak minum." Jawab Frian.

"Benarkah?" Fiona lelah berusaha merebut botol itu sekalipun tekadnya tak cukup kuat untuk mengambilnya kembali. Ia terlalu lelah oleh sesuatu yg tidak di ketahuinya. Lelah hingga tanpa sadar sudut matanya mulai memanas. "Lalu kenapa rasanya masih sesakit ini?" Rintih Fiona. Memukul mukul dadanya yg terasa sesak sekaligus sakit.

"Hentikan." Frian meletakkan botol wiski dan gelas yg pegangnya ke atas meja kecil yg berada paling dekat dengannya. Menarik tangan Fiona yg memukul mukul dadanya.

"Kau yg hentikan." Maki Fiona. Menarik kembali tangannya dengan kasar dari cekalan Frian. Terlalu keras hingga membuatnya terjatuh ke atas sofa yg empuk. Dan langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis. "Hentikan mengurusi semua urusanku dan berjalanlah di jalanmu sendiri dan mengabaikanku saja."

Frian terpaku. Gumpalan di tenggorokannya terasa sangat menyakitkan. Perih di dadanya terasa semakin menyiksanya dan tak tertahankan melihat wanitanya menangis tersedu sedu. Penuh luka dan tak berdaya. Ia benar benar benci melihat wanita yg di cintainya tersiksa. Lebih tak tertahankan semua itu karena dirinya.

Ia tidak sanggup lagi melihat Fiona lebih menderita lebih dari ini. Hingga ia membukan mulutnya. Mengambil keputusan, "Kita..." Suara Frian kembali tertelan. Juga tak sanggup melanjutkan kalimat selanjutnya. Namun ia bersikeras melanjutkannya. Semuanya harus di hentikan. Ia tak bisa membiarkan Fiona tersiksa lebih lama lagi. "Kita akhiri saja semua ini."

Seketika tubuh Fiona menegang. Tangis terhenti mencerna kembali kalimat Frian yg baru saja di dengarnya. Dengan wajah basahnya ie mendongak. Menatap tajam sekaligus tak percaya ke arah Frian sambil mendesis, "Apa?"

Frian menelan ludahnya. Menelan semua keperihan dan kepahitannya secara bersamaan. Ia benar benar tak sanggup lagi mengulangi kalimat itu. Tapi ia harus, "Kita akhiri saja semuanya."

"Kenapa?" Desis Fiona semakin tajam. Berikut tatapan matanya, "Apa sekarang kau mengkhawatirkan keadaan Mamamu?"

"Bukan itu."

"Apa kau terlalu takut untuk mengetahui siapa yg akan lebih terluka?"

Frian terdiam.

"Kenapa? Kenapa kita harus mengakhirinya?"

Sekali lagi Frian hanya terdiam. Tak mampu mengeluarkan suaranya sedikitpun. Terlalu sibuk mengatasi sesak di dadanya yg semakin menyiksa.

Fiona menarik taplak meja yg ada di hadapannya. Membuat vas bunga, botol dan gelas yg ada di atasnya pecah berkeping keping di lantai dengan suara memilukan. "KENAPA? KENAPA KAU TIBA TIBA MENGAKHIRINYA SEKARANG?"

Air mata mengalir di wajah Frian. Ia menarik lengan Fiona dan membawa tubuh tak berdaya itu ke pelukannya.

"Lepaskan." Fiona meronta. Melepas pelukan Frian. Namun Frian tak membiarkannya lepas. Malah semakin mengetatkan pelukannya. Merasa Frian tak berniat melepaskannya, iapun memukul mukul punggung pria itu. Menggapai apapun untuk menyakiti pria itu. "Jika kau berniat mengakhirinya, kenapa kau memintaku berjalan sejauh ini?"

"Aku tidak mau melihatmu lebih terluka lagi." Lirih Frian. Memejamkan matanya dan air mata menetes di antara sela sela kelopak matanya.

"Bukankah kau akan lebih senang jika pada akhirnya aku yg akan lebih terluka? Dan kau tidak seharusnya peduli aku terluka atau tidak. Semua itu bukan urusanmu." Teriak Fiona di antara isak tangisannya yg teredam di dada Frian.

"Maaf. Ini semua kesalahanku. Maafkan aku."

"Lepas." Sekali lagi Fiona berusaha menarik dirinya, tapi sia sia. "Lepaskan aku. Aku tidak butuh kepedulianmu. Aku tidak butuh rasa ibamu. Aku tidak punya alasan untuk mengakhirinya. AKU TIDAK MAU. AKU TIDAK MAU BERHENTI."

"Aku benar benar jahat padamu. Maafkan aku. Tidak seharusnya aku melakukan ini padamu. Tidak seharusnya aku membohongimu."

"AKU TIDAK PEDULI. Aku tidak mau peduli dan aku tidak akan berhenti. Aku akan melangkah lebih jauh lagi. Tidak peduli seberapa parahnya semua itu di hadapanku. Tidak peduli seberapa menyakitkannya semua itu menyiksaku." Fiona memukul mukul punggung Frian lagi dengan tangannya yg lemah. Lemah oleh pikiran dan hatinya.

Frian menggeleng pasrah, tidak ingin Fiona menerima sakit yg lebih menyiksa lagi. "Dari awal, aku melakukan ini bukan karna untuk balas dendam pada Mamaku. Sebenarnya karna aku ingin memilikimu. Karna aku mencintaimu. Karna aku benar benar sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu."

Fiona menghentikan pukulan sia sianya di punggung Frian. Menjerit begitu keras karna tak sanggup lagi meluapkan amarahnya yg begitu mendesak meminta pelampiasan.

"Tapi sekarang, aku tidak sanggup melihatmy begitu tersiksa di sisiku aku benar benar tak sanggup."

"Aku tidak mau berhenti." Lirih Fiona. Semakin letih dan melemah.

"Kau tidak mau berhenti? Baiklah. Kita akan tetap melangkah. Tapi, berjanjilah padaku kau akan berhenti membuat dirimu menderita. Tetaplah di sisiku dan jadilah satu satunya wanitaku." Frian terdiam sejenak, "Aku sangat mencintaimu. Jika kau tidak bisa mencintaiku, tetaplah di sisiku dengan rasa kasihanmu. Aku tidak akan mempedulikannya selama kau berada di sisiku dan berhenti menyakiti dirimu sendiri."

"Aku tidak mau berhenti. Aku tidak punya alasan untuk mengakhirinya." Lirih Fiona. Di antara isak tangisnya yg semakin deras membawa air mata itu membasahi seluruh wajah dan baju Frian. Ia tak peduli.

Frian semakin mengeratkan rengkuhan lengannya melingkupi tubuh Fiona. Menangis tak kalah tersedunya dengan istrinya. Menggumamkan kata maaf berkali kali. Tak ada kata yg mampu keluar dari bibirnya selain meminta maaf atas keegoisannya. Atas kepengecutannya. Dan atas keserakahannya.

###

Vote dan Commentnya.

Enjoy it....

Friday, 11 November 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top