19. Undesirable
Love you to death...
###
Part 19
Undesirable
###
Frian mematikan mesin mobilnya. Mencondongkan tubuhnya untuk melepas seatbelt yg terpasang di tubuh Fiona. Sejenak pandangannya terhenti. Menatap wajah yg begitu tenang dalam lelapnya.
Fiona tampak begitu lembut, hangat dan cantik ketika memejamkan matanya seperti ini. Berbeda ketika terbangun. Berganti dengan sesosok wanita dingin, angkuh dan tak tersentuh. Jemari Frian terulur, mengusap lembut sepanjang rahang dan dagu istrinya. Sebelum mencuri kecupan ringan di bibir manis itu.
Sungguh. Ia benar benar mencintai wanita ini. Hingga hampir gila rasanya melihat wanita ini akan menjadi milik orang lain. Dengan keegoisannya, ia menjebak wanita ini dan terikat dengannya. Tapi...
Apa yg di lakukannya sekarang pada wanita ini?
Pada wanita yg ia cintai.
Pandangannya teralihkan pada jok belakang yg penuh dengan tas tas belanjaan bermerk. Ia tahu Fiona bukanlah tipe wanita yg suka menghabiskan uang untuk berbagai macam belanjaan yg ada di jok belakang itu.
Frianpun hanya mampu memejamkan matanya dan menghembuskan nafasnya dalam dan berat. Tak menyangka semuanya akan jadi sekacau dan serumit ini.
Seharusnya sudah lebih dari cukup baginya dengan Fiona berada di sisinya. Seharusnya ia tidak meminta lebih dari ini. Ia benar benar tersiksa melihat wanita yg di cintainya jadi semakin menderita karna keserakahannya. Karna dirinya yg di butakan oleh cintanya.
Mengabaikan berbagai macam pertanyaan dan emosi yg berkecamuk di kepala dan dadanya, segera ia turun dari mobil. Mengitari dan membuka pintu penumpang untuk mengangkat Fiona. Membawanya masuk ke dalam.
###
"Kau sudah bangun?" Tanya Frian ketika mendengar pintu ruang kerjanya terbuka dan mendapati istrinya muncul dari balik pintu.
Fiona mengangguk kecil. Melangkah menghampiri meja kerja Frian. "Siapa yg mengantarku pulang?"
"Mamamu menelfonku." Jawab Frian. Matanya mengamati tubuh Fiona dari atas sampai ke bawah. Mengenakan dress abu abu mudanya dengan potongan sederhana. Beserta tas senada yg sudah bergantung di bahunya. "Mau kemana kau hari minggu begini?"
Fiona terdiam sejenak. "Aku akan menemui temanku sebentar. Bisakah aku meminjam mobilmu?"
"Mobil Mama di bengkel. Dan sekarang Mama memakai mobilku."
"Benarkah?" Cibir Fiona. Memasang muka cemberut yg di buat buat sambil menggumam lirih, "Kukira, setahuku mobilmu ada tiga. Mungkin lebih mengingat kau pewaris Sagara Group."
Frian mendongak. Menatap tajam Fiona yg memainkan kuku kuku jarinya tak peduli kata katanya yg pedas itu menyinggungnya. Berusaha mengabaikan sindiran itu ia menjawab, "Aku akan keluar. Bisakah kau menungguku sebentar? Aku akan mengantarmu."
Fiona hanya mengedikkan bahunya. Membalikkan badannya dan duduk di sofa.
Frian melanjutkan memeriksa berkas yg ada di hadapannya. Bukan masalah jika Fiona meminjam mobilnya. Tapi ia tak mau istrinya itu keluar tanpa pengawasannya dan mabuk mabukkan seperti semalam.
###
"INNAAAHHHH!!!!" Suara Fania menggema di seluruh ruang tengah kediaman Sagara.
Melangkah dengan terburu buru dan wajah yg merah padam menahan amarah.
Tak lama si pengurus rumah tangga muncul dari arah dapur. Berlari dengan tergesa gesa, "Ii...ya...Nya...?" Suara Bik Inah terbata bata sambil mengambil nafas.
"Panggil Fiona!!!"
"Ee?" Bik Inah mengerutkan keningnya. Menatap majikannya itu dengan agak linglung.
"CEPAT PANGGIL FIONA TURUN KE BAWAH!!! SEKARANG!!!" Bentak Fania tak sabar.
"CEPAT!!!" Sekali lagi Fania membentak si pengurus rumah tangga itu ketika Bik Inah tak juga beranjak dari tempatnya berdiri untuk melakukan perintahnya.
"Tapi, Nya. Den Frian ama Non Fiona lagi keluar."
"Apa? Kemana?"
"Den Frian ga bilang."
Fania memejamkan matanya. Menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan kasar, "Suruh ke kamar kalau sudah pulang. Langsung."
###
"Non, di tunggu Nyonya di kamarnya. Sekarang." Suara Bik Inah menyambut Fiona ketika baru saja ia melewati pintu masuk. Membuat wanita itu mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Ada apa, Bik?" Tanya Frian yg langsung menyahut.
"Ga tahu, Den. Tadi Nyonya pulang pulang langsung marah marah nyariin Non."
Marah marah?
Sejenak Frian mengerutkan keningnya heran. Tapi ia tetap mengangguk kecil dengan pernyataan Bik Inah dan menggumamkan, "Terima kasih, Bik."
Tok... tok... tok...
"Masuk."
Frianpun memimpin untuk masuk ke dalam lebih dulu. Melihat Mamanya yg baru beranjak dari duduk di sofa depan tv. Melangkah menuju meja rias untuk mengambil kantong plastik berwarna putih. Wajahnya yg dingin tampak semakin dingin ketika melangkah menghampiri kedua sosok itu.
Dan tanpa Fiona duga, Mama mertuanya itu melemparkan plastik putih itu tepat di wajah Fiona. Membuatnya terkesiap kaget.
"Apa ini?" Desis Fania.
Fiona membeku. Wajahnya tertunduk menatap isi kantong itu yg sudah berhamburan di lantai. Pil kontrasepsi yg sama yg di berikan Mama mertuanya beberapa hari yg lalu. Tapi ia tahu bukan itu yg di berikan Fania padanya.
Frian lebih terkejut lagi. Baru teringat kalau vitamin yg Mamanya berikan ada di dashboar mobil yg Mamanya pinjam.
"Apa kau bisa jelaskan semua ini pada Mama?" Desis Fania. Giginya mengertak menahan amarah yg siap meluap.
"Mama..." Frian berusaha menenangkan Mamanya.
"Diam kamu." Desisnya tajam pada Fania ketika Frian akan membuka mulutnya untuk mengeluarkan kalimatnya. Lalu kembali menghadap Fiona yg hanya tertunduk tanpa kata. "Kenapa kau hanya diam saja. JELASKAN SEMUA INI PADA MAMA!!!"
Fiona memejamkan matanya. Mendongak siap menghadapi kemarahan Fania. Dengan suara setenang mungkin ia menjawab, "Mama sudah tahu?"
Plaakkk...
Tangan kanan Fania mendarat di pipi sebelah kiri Fiona. Matanya melotot tak percaya dengan jawaban menantunya itu, "Apa?"
"Fiona!" Suara Frian agak keras.
"Apa kau bilang?"
"Bukankah Mama sudah tahu. Apalagi yg harus Fiona jelaskan." Tambah Fiona lagi. Mengucapkannya dengan mata menatap tepat di manik mata Fania. Membuat wanita itu semakin geram dan melemparkan tamparan keduanya di pipinya sekali lagi.
Plaakkk...
"Fiona!!!" Bentak Frian kasar pada wanita keras kepala itu.
"Kau benar benar." Fania menunjuk wajah Fiona yg tertunduk. "BERANI BERANINYA KAU MEMBOHONGI MAMA!!"
"Mama." Frian menarik Fiona ke belakangnya. Menghadangnya dari amukan Mamanya. "Ini hanya salah faham. Frian bi..."
"DIAM KAMU, FRIAN!" Fania memotong kalimat Frian. "JANGAN MEMBELANYA DI HADAPAN MAMA."
"Fiona, keluarlah. Aku akan bicara dengan Mama." Pintah Frian.
"KENAPA KAU MENYURUHNYA KELUAR? MAMA BELUM SELESAI DENGANNYA." Bentak Fania. Berusaha menepis Frian yg berdiri di antara dirinya dan Fiona.
"CEPAT KELUAR!" Frian menoleh ke belakang. Menatap tajam istrinya itu.
Fiona hanya diam tak bergeming di tempatnya. Menatap keras kepala pada Frian bahwa ia tak mau keluar.
Menyadari bahwa wanita itu tak akan keluar, Frianpun membalikkan badannya. Menarik pergelangan tangan Fiona dan membawa wanita itu keluar dari kamar Mamanya dengan paksa. Menutup pintu dan membalikkan badannya ketika jemari Mamanya mendarat di pipinya.
Plaakkk...
"Beraninya kau membela dia di hadapan Mama!!" Desis Fania tajam.
Frian tertegun. Rasa panas di pipinya bukan apa apa di bandingkan dengan apa yg di lihatnya ketika tamparan yg sama juga mendarat di pipi Fiona.
"Mama sudah pernah memperingatkanmu sebelumnya."
Frian mengangkat wajahnya. Menatap wajah Mamanya penuh pengendalian diri yg tinggi ketika berkata, "Frian bukan membelanya. Tapi ini memang bukan kesalahannya."
"Apa maksudmu?" Kening Fania bertaut tak mengerti ketika mencerna kalimat Frian. Dan saat menyadari arti kata kata Frian, wanita itu tercekat tak percaya, "Jangan bilang..."
"Fiona tidak tahu apapun tentang pil itu. Fiona tidak menerimanya ketika Mama memberikannya pada Frian. Dan Frian yg menyimpan pil itu di mobil."
Plaakkk...
"Kau..." Fania menunjuk wajah Frian dengan telunjuknya. "Berani beraninya kau membohongi Mama. Kau tahu, ini bahkan lebih menyakitkan daripada ketika Fiona yg membohongi Mama. APA KAU TAHU ITU?"
"Maafkan Frian." Lirih Frian.
"KENAPA? Kenapa kau lakukan ini pada Mama?" Desis Fania. Menurunkan tangannya sambil memejamkan matanya. Berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali berkata, "Apa kau tahu bagaimana beratnya Mama berusaha menerima dia sebagai menantu Mama? Mama mengalah karna kau adalah yg paling Mama sayang di antara semua anak Mama. Karna kau mencintai dia. Dan sekarang. Kenapa kau tega sekali membohongi Mama?"
"Maaf..." Menatap penuh penyesalan ketika melihat mata Mamanya yg kini berurai air mata. "Frian benar benar minta maaf."
###
"Apa kau perlu bicara seperti itu pada Mama?" Tanya Frian tajam begitu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Fiona yg duduk di meja rias membersihkan wajahnya penuh ketenangan. Seperti tak terjadi apa apa.
"Kenapa?" Fiona beranjak dari duduknya. Menghadap Frian dengan sikap dingin dan tek tersentuhnya seperti biasa. "Bukankah itu yg kau inginkan? Menjadi menantu yg paling tidak di inginkan oleh Fania Sagara."
Frian terpaku. Menatap pipi Fiona yg masih merah bekas tamparan tadi. Tak habis pikir bagaimana mungkin wanita ini sama sekali tak meneteskan air matanya. Ia tahu tamparan itu sangat menyakitkan.
"Apa aku salah?"
"Kau tak perlu melakukannya sejauh itu. Apa kau mau membuat Mama semakin membencimu?"
"Apa kau sekarang mengkhawatirkan Mamamu?"
"Apa kau benar benar tidak apa apa jika Mama membencimu?" Frian balik bertanya.
"Tidak di inginkan bukan hal baru bagiku. Jadi kau tidak perlu berpura pura mengkhawatirkanku."
Jemari Frian terkepal di kedua sisi tubuhnya. Menahan amarah yg tak bisa ia lampiaskan. Ia benar benar sudah kehabisan kata katanya.
"Aku lelah. Mau ke kamar mandi." Kata Fiona tenang. Membalikkan badannya dan melangkah ke arah kamar mandi.
Frian memejamkan matanya frustasi. Menarik nafas dalam dalam sebelum menghembuskannya dengan kasar penuh kefrustasian. Menatap punggung Fiona yg menjauhinya. Langkahnya tenang seperti tak terjadi apa apa. Tapi ia tahu, keadaan wanita itu sama tak baik baik saja dengan dirinya. Sama sama tersiksa dengan situasi mereka yg kini berubah saling menyakiti.
Entah sampai kapan situasi ini akan bertahan...
###
"Apa kau tidak ada kelas?" Tanya Irina ketika membukakan pintu apartemennya dan mendapati Fiona yg memencet belnya.
Fiona berjalan masuk. Langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Cuma ada kelas pagi. Jam berapa kau masuk sif malammu?"
"Lima." Jawab Irina. Menutup pintu dan ikut bergabung dengan Fiona di sofa setelah mengambil beberapa makanan ringan di meja pantri. "Malam ini jangan minum minum lagi. Aku tidak bisa mengantarmu pulang karna ada jadwal operasi dadakan." Irina diam sejenak. Menatar tajam pada Fiona dan menekan suaranya, "Lagi."
Fiona hanya diam. Menengok jam tangannya yg menunjukkan pukul 12.37 PM. "Apa kau mau berenang?"
"Kelihatannya kau memang butuh olahraga. Wajahmu tampak kusam dan kurang sehat karna beberapa hari kau menghabiskan waktumu hanya untuk minum minum. Ngomong ngomong, bagaimana kau bisa mengejar ketertinggalanmu..."
"Apa kolam renangnya ramai?" Sekali lagi Fiona mengabaikan omelan temannya itu. Beranjak dari sofa untuk menuju dinding kaca di sebelah sofa. Menengok ke bawah tempat kolam renang yg ada tepat di bawah apartemen Irina. Tampak sepi, hanya ada dua orang pria dan tiga wanita.
Tiba tiba pandangannya terpaku pada seorang wanita yg baru saja keluar dari kolam renang. Memakai bikini berwarna ungu muda. Dan ia semakin yakin kalau itu adalah Calista ketika wanita itu membuka penutup kepalanya dan mengurai rambutnya.
"Kalau hari jumat biasanya memang sepi. Apalagi jam segini. Aku akan mengambil baju renangnya." Irina ikut menengok di samping Fiona.
"Kenapa harus ada dia? Membuat suasana hatiku jadi buruk." Gumam Fiona lirih.
"Siapa?" Tanya Irina. Mencari cari seseorang yg di maksud Fiona. "Apa ada seseorang yg kau kenal?"
Fiona hanya mengedikkan bahunya acuh. Membalikkan badannya dan melangkah ke sofa. Memungut remote TV dan menyalakannya sebelum merebahkan badannya kembali ke sofa.
Irina hanya menatap bengong dengan sikap Fiona, "Apa tidak jadi berenang?"
Fiona menggelengkan kepalanya cuek sambil menekan tombol remote yg di pegangnya. Mencari sambungan yg menarik.
"Bagaimana kau bisa berubah pikiran secepat itu tanpa alasan yg jelas?"
"Kau tidak akan mau tahu."
"Bagaimana kalau aku bersikeras."
"Sudahlah." Jawab Fiona sambil mengibaskan tangannya. Ia tak mau membahas masalah Frian dan wanita itu. Dan getaran ponsel di tasnya membuatnya sepenuhnya mengabaikan Irina.
"Hallo?" Jawab Fiona datar ketika mendapati caller id yg terpampang di layar ponselnya. "Ada apa?"
"Apa kau masih di kampus?"
"Kenapa?"
"Papamu ingin makan siang dengan kita. Aku akan menjemputmu."
"Apa?" Fiona terkejut, menegakkan punggungnya tak percaya dengan keputusan Frian yg sepihak. "Kenapa tidak tanyakan dulu padaku? Kau bisa mencari alasan apapun untuk menolaknya."
"Papamu datang ke kantorku. Dan aku sudah terlanjur bilang kita akan datang."
Fiona mendesah, kembali menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
"Aku akan sampai 15 menit lagi."
Fiona diam sejenak. Dan karna tak ada alasan untuk menolak ajakan Frian iapun berkata, "Aku di apartemen temanku. ATB. Ku tunggu di lobi."
"Siapa? Suamimu?" Tanya Irina begitu Fiona meletakkan ponselnya di meja kaca di antara mereka.
Fiona hanya mengangguk enggan.
"Apa kalian bertengkar?"
Fiona mencibir, "Apa kau kira kita anak kecil?"
Hening yg lama.
Sampai akhirnya Fiona tak tahan dengan pandangan yg di lemparkan Irina padanya, "Kenapa?"
"Apa kalian benar benar menikah karna saling mencintai?"
"Apakah menurutmu aku berbohong?"
"Kalau begitu, tidakkah sikapmu terlalu dingin pada suami yg sangat kau cintai itu?"
"Hubungan kita memang seperti ini."
"Jawaban macam apa itu." Dengus Irina. "Apa kira aku percaya begitu saja kau tiba tiba jatuh cinta pada Frian dan memutuskan menikah dengan pria kaya itu? Padahal kau tahu Brian sangat mencintaimu."
"Aku tidak memintamu memercayainya. Aku hanya mengatakan yg terjadi."
"Aku sangat mengenalmu. Kau tidak mudah dekat ataupun menyukai seseorang begitu saja."
"Benarkah? Mungkin pesona Frian terlalu sulit untuk ku abaikan." Jawab Fiona dengan datar. "Atau kau yg tidak terlalu mengenalku?"
Mulut Irina membuka nutup tak percaya. Menatap kesal pada sahabatnya itu. Sebelum memutuskan untuk memilih mendiamkan Fiona. Ia tahu, sekalipun dirinya mengemis ngemis penjelasan pada wanita itu. Fiona tak akan membuka mulut untuk menjelaskannya. Tidak mudah membujuk seorang Fiona Mikaela dengan tembok tingginya yg begitu kokoh yg hanya bisa menembusnya ketika si pemilik memutuskan untuk membuka pintunya dari dalam.
###
"Apa yg kau lakukan di sini?" Sengit Laura ketika melihat Fiona dan Frian mengambil tempat di hadapan mereka di meja yg sama.
"Tidak bisakah Mama bersikap lebih hangta sedikit saja di hadapan menantu Mama?" Fiona menarik salah satu sudut bibirnya.
Rena dan Alra berdecak sinis mendengar kata terakhir Fiona. Yg membuat Fiona tersenyum semakin lebar.
"Papa meminta kita datang." Jawab Frian ramah pada Laura.
"Bukankah ini acara keluarga? Kenapa Papa mengundangmu?" Sahut Rena sengit.
Fiona terkekeh geli. Lalu menunjuk Mamanya sambil berkata, "Keluarga Mama?" Berganti menunjuk Rena, "Atau keluarga Papa?" Kemudian menatap Alra yg ada di samping Rena, "Walaupun itu juga sama sekali tak ada pengaruhnya buatmu."
"Apa kau sudah gila?" Desis Rena penuh kegeraman akan jawaban Fiona.
Fiona menggeleng mantap, "Tidak. Apa kau juga mau aku gila?"
"Kau bukan lagi bagian dari keluarga ini sejak kau menikah dengan Frian." Desis Alra. Akan mengumpat tapi Seno yg ada di sampingnya menatapnya dingin.
"Bisakah kalian diam?" Seno memotong kalimat Alra. Melihat Toni yg berjalan memasuki restaurant. "Papa sudah datang."
"Kalian sudah datang?" Tanya Toni pada Frian dan Fiona sambil menarik kursi kosong di antara Laura dan Seno.
Frian menjawabnya dengan anggukan ramah dan senyumnya. Berbeda dengan Fiona yg hanya menatap datar sang Papa tiri.
"Apa Papa yg mengundang mereka?" Tanya Alra sinis.
"Kenapa? Bukankah ini acara keluarga?" Jawab Toni tajam. Lalu pandangannya beralih menatap semua wajah anggota keluarganya. Seno yg cuek, Rena dan Alra yg kesal, Frian yg tampak canggung dan Fiona dan Laura yg masih bertahan dengan sikap dinginnya.
Membuat pria itu menarik nafasnya dalam dalam. Lalu menghembuskannya dengan berat. "Ini acara keluarga. Papa tidak ingin ada keributan sekecil apapun. Apa kalian mengerti?"
Semuanya hanya terdiam. Sebagai isyarat persetujuan.
"Frian, Papa tidak akan mengatakan apapun untuk apa yg sudah kau lihat. Jadi, Papa minta pengertianmu jika ada yg menyinggungmu."
###
"Apa ini pertama kalinya kau di perlakukan tidak di inginkan kehadiranmu?" Fiona memecah keheningan yg tercipta sejak keduanya keluar dari restaurant. Melihat Frian yg mematikan mesin mobil ketika pria itu memarkirnya di halaman rumah.
Frian terdiam. Menatap wajah Fiona dan menjawab, "Apa kau mau tahu yg sebenarnya?"
Fiona tertegun. Sejujurnya ia sedikit kesal pada kesinisan Mamanya terhadap Frian dan tak enak hati menempatkan posisi pria itu di dalam keluarganya. "Tidak."
"Baguslah. Karna sekarang aku ingin istirahat."
Fiona mengerutkan keningnya, "Apa kau tidak kembali ke kantor?"
Frian mengamati wajah Fiona. Sungguh. Ia tidak keberatan dengan perlakuan keluarga itu pada dirinya. Tapi, ia benar benar tak tahan melihat Fiona di perlakukan dingin oleh ibunya sendiri. Membuat suasana hatinya langsung memburuk dan tak akan bisa memikirkan pekerjaannya yg menumpuk di atas meja kerjanya.
"Keluargamu sedikit menguras otakku. Aku ingin berenang. Bisakah kau sedikit berbaik hati menemaniku bersantai karna sudah membuatku menghadapi keluargamu?"
###
Vote dan commentnya jangan lupa. Yg ngarep Frian ngungkapin cintanya, jangan kecewa ya. Soalnya belum waktunya. He he he...
Sekarang author mau konsen ama ceritanya Keydo dulu.
Sampai jumpa minggu depan.
Friday, 4 November 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top