12. Will Never Regret it All

Love you to death...

###

Part 12

Will Never Regret it All

###

Hening...

Penuh kecanggungan.

Satunya menampakkan ketenangan yg terkontrol.

Satunya lagi menahan menatap sepasang laki laki dan wanita yg ada di hadapannya dengan pandangan datar dan dinginnya. Mencoba menerima kenyataan yg ada di hadapannya.

"Apa kalian sudah menentukan tanggalnya?" Suara Fania datar. Sedatar ekspresinya ketika memecahkan keheningan itu.

"Kami akan melakukannya secepat mungkin." Jawab Frian.

Fiona mendongak. 'Secepat mungkin?'. Akan membuka mulutnya untuk berbicara. Tapi Frian meremas tangannya mengisyaratkan untuk tidak mengatakan apapun.

"Tepatnya?" Alis Fania naik ke atas.

"Seminggu lagi kami akan menikah. Semua persiapan sedang kami urus."

Fania memejamkan matanya. Lalu menghembuskan nafasnya secara perlahan. Mengatur emosinya. Tak menyangka pernikahan anaknya sudah di rencanakam secepat itu dan tanpa meminta pendapat darinya. "Apakah hubungan kalian memang seserius ini?"

"Kita sudah membahasnya, Ma." Jawab Frian. Menatap manik mata mamanya dengan tegas dan tak menyerah. "Kami hanya tidak ingin menunda apapun."

"Baiklah." Jawab Fania. "Lalu, apa pendapat orang tuamu? Apakah mereka akan ikut bagian dalam pernikahan kalian?"

"Frian sudah berbicara dengan Om Toni dan Tante Laura kalau Frian yg akan mengurus semuanya. Karna situasi canggung mereka dengan Alra, mereka tidak bisa berjanji untuk datang."

"Setelah menikah. Mama tidak ingin kalian berpindah tempat. Hanya itu yg ingin mama bicarakan dengan kalian." Fania berdiri. Lalu melangkah keluar meninggalkan keduanya dalam keheningan. Ia tidak ingin kehilangan putra yg sangat di sayanginya. Jadi, ia mencoba menerima wanita yg sangat di cintai putranya itu.

"Seminggu lagi?" Fiona menghadap Frian. Menatap tak percaya ke arah Frian. "Apakah harus secepat itu?"

"Papamu tidak akan mengijinkanmu keluar dari rumah itu sebelum kita menikah. Bahkan seminggu lagi, apakah kau masih mau menghabiskan waktu selama itu di neraka itu?"

Fiona terdiam.

'Benar.'

'Papa tirinya tidak akan mengijinkannya keluar dari rumah itu sebelum dia menikah.'

"Dan kapan kau bicara dengan Papa tiriku?"

"Papamu menemuiku semalam."

Fiona tak bisa berkata apa apa oleh jawaban Frian. Dia berencana keluar dari rumah itu besok. Tidak peduli Papa tirinya itu menyetujuinya atau tidak.

"Baiklah. Kita akan melanjutkan semua ini." Suara Fiona tertahan.

'Tidak ada lagi jalan untuk kembali.'

###

Pernikahan itu tidak cukup megah. Tapi, Frian memastikan semuanya yg terbaik. Hanya orang orang terdekat yg di undang.

Hanya saja, yg membuatnya tak berhenti gusar sejak acara mulai sampai acara berakhir adalah ekspresi wajah Fiona.

Tubuh wanita itu berada di dekatnya. Dan entah kenapa, ia merasa pikiran wanita berada jauh dari sini.

Dan semakin kesal ketika Fiona tampak meragu saat akan mengucapkan janji pernikahan mereka. Keresahan tampak jelas di wajahnya.

Apakah wanita itu masih memikirkan Brian?

Sialan...

Pria itu masih saja mengusiknya sekalipun ia dan Fiona sudah menikah. Sekalipun wanita ini sudah menjadi miliknya.

"Kau tampak resah sepanjang acara. Kenapa?" Suara Frian terdengar datar dan dingin. Menatap kosong di samping dinding kaca kamar hotel mereka.

"Aku hanya lelah." Jawab Fiona singkat

"Bagaimana perasaanmu? Melihat mamamu menyaksikan kemenanganmu."

Fiona terdiam. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya. Menyakiti mamanya. Bahkan rasanya lebih menyakitkan daripada ketika mamanya menyakitinya. Yg membuatnya semakin sesak.

Ia mengira semuanya akan baik baik saja ketika mamanya menyaksikan kemenangannya. Ia mengira, rasa sakit ini akan menghilang ketika ia memberikan rasa sakit yg lebih pada mamanya. Tapi, kenapa dadanya terasa sesak dan tak tenang.

"Bagaimana perasaanmu setelah menjadi seorang nyonya Sagara?" Suara Frian mengembalikan kesadarannya.

"Apakah aku harus menjelaskan perasaanku padamu?" Jawab Fiona datar di antara berbagai macam emosi yg berkecamuk di dadanya. Bagaimana mungkin ia mengatakan kepada Frian akan semua ketololannya tentang harapan harapan yg masih mengemis di dadanya.

Wajah Frian menegang ketika merasakan Fiona yg seakan menjauh darinya. Walaupun ia tahu ia tak pernah bisa menggapai wanita itu. Tapi, egonya sebagai seorang suami tiba tiba merasa di usik.

Ia membalikkan badannya. Menatap ke arah Fiona yg terduduk di sofa. Menghadapnya alan tetapi matanya menatap kosong vas bunga yg ada di depannya.

"Apa kau menyesal melakukan ini semua?" Suara Frian dingin.

"Kau sendiri?" Tanya Fiona mendongakkan kepalanya menatap Frian.

"Di wajahku tidak tampak penuh penyesalan seperti yg terlihat jelas di wajahmu."

Fiona membuang mukanya mendengar jawaban Frian.

'Tidak. Ia tidak akan menyesali apapun.'

"Kenapa kau sangat mencintai Brian?"

Fiona terdiam. Bertanya tanya apakah maksud Frian menanyakan hal itu. Jujur, ia sangat menyayangi Brian. Tapi perasaannya tak pernah lebih dari kasih sayang seorang adik kepada adiknya.

"Apakah dia begitu berarti bagimu hingga kau merasa ragu ketika mengucapkan janji pernikahan kita? Apakah kau menyesal bukannya menikah dengan dia? Yg membuatmu tampak begitu menderita selama acara resepsi berlangsung? Apakah kau begitu kecewa dengan semua ini? Apakah kau khawatir mengapa dia tidak datang di..."

"Hentikan, Frian." Suara Fiona sedikit meninggi. Tidak tahan dengan semua rentetan persepsi Frian yg jauh dari yg sebenarnya.

Frian menyeringai, "Apakah suamimu tidak boleh tahu. Kenapa kau begitu mencintai pria itu?"

"Hari ini adalah hari pernikahan kita. Apakah kita perlu membicarakan dia?"

"Kita adalah suami istri. Tidak seharusnya ada rahasia di antara kita, bukan?"

"Kenapa kau begitu penasaran tentang alasanku mencintai Brian?"

"Apa kau tidak akan menjawab pertanyaanku?"

"Aku tidak punya alasan untuk menjawabnya. Kesepakatan kita tidak mengatakan untuk saling mengungkapkan perasaan masing masing, bukan?"

Seketika wajah Frian menegang. Gemuruh panas menyeruak di dadanya mendengar Fiona mengatakan semua ini hanyalah kesepakatan mereka. Apakah hubungan mereka, ciuman mereka setelah malam itu hanya sebatas ini bagi wanita itu?

Segera ia menguasai dirinya. "Kau benar. Aku rasa aku salah mempertanyakan hal tersebut."

Selama beberapa saat keduanya terdiam.

"Aku akan ke kamar mandi dulu." Ucap Fiona. Beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kamar mandi. Namun baru beberapa melangkah, Frian menarik lengannya. Memegang kedua bahunya sebelum mengunci pandangan mata Fiona.

Fiona menelan ludahnya. Tiba tiba merasa gugup dengan pandangan mata Frian. Dan semakin parah ketika Frian menundukkan wajahnya dan akan menciumnya.

Frian ingin sekali mencium bibir Fiona. Menikmati kemanisan dan kelembutan bibir merah itu. Lalu membawanya ke atas ranjang sekarang juga. Menyentuh setiap inci kulit di balik gaunnya. Memilikinya seutuhnya malam ini untuk dirinya.

Jujur, ia hampir tak bisa menahan diri atas godaan itu. Dan benar benar hampir mencium bibir itu jika saja ingatannya tentang hati Fiona yg masih di miliki Brian tidak mengusiknya.

Ia tidak bisa menyentuh Fiona dengan tanpa kerelaan wanita itu. Ia tak bisa memiliki Fiona seutuhnya jika hati wanita itu masih di miliki oleh pria lain. Dan ia benar benar gusar akan hal itu.

Fiona hanya terdiam. Membiarkan Frian melakukan apapun terhadapnya. Frian sudah memiliki dirinya. Dan ia sudah siap akan hal itu. Tapi, entah apa yg di pikirkan pria itu. Tiba tiba Frian menegang. Seperti menahan sesuatu. Dan bukannya menciumnya, Frian malah mendekatkan bibirnya di telinganya.

"Aku harus pergi." Bisik Frian. "Teman temanku ingin memberi kejutan untuk pernikahan kita."

Frian menarik dirinya. Menangkup pipi Fiona dan mengelusnya dengan lembut, "Lagipula...jika aku menghabiskan malam di sini. Kurasa aku tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu."

Fiona membeku. Ia berusaha keras menerima Frian sebagai suaminya. Mempersiapkan mental dan perasaannya menjalani kesepakatan mereka. Mempersiapkan hati dan tubuhnya menjalani pernikahan ini.

Dan sekarang?

Frian malah lebih memilih menemani teman temannya daripada menemaninya. Di malam pertama mereka.

"Sandiwara pernikahan kita tidak akan terbongkar hanya karna kita melewatkan malam pertama kita, bukan." Gumam Frian lirih. Masih mengusap usapkan jemarinya di pipi Fiona. Ia menginginkan Fiona.

Panas di dada Fiona semakin menjalar ke kepalanya saat Frian mengatakan pernikahan mereka yg hanya sandiwara.

Setelah ciuman itu?

Dan pria itu masih bisa menganggap pernikahan mereka hanyalah sebuah sandiwara.

Setelah pria itu melihat kehancurannya?

Setelah pria menjanjikan bahwa dirinya tidak akan mengalami malam mengerikan itu?

Bagaimana mungkin sekarang Frian memperlakukannya hanya sebagai leluconnya saja?

Pria ini benar benar paling handal mempermainkan emosinya.

Tangan Frian naik ke kepala Fiona. Berganti mengelus rambut Fiona dan berkata, "Kau bilang kau lelah. Aku tidak akan mengganggumu. Tidurlah yg nyenyak dan..." Frian kembali menundukkan wajahnya dan mengecup bibir Fiona sebelum berbisik lembut di telinganya, "...Selamat malam, istriku."

Jemari di kedua tangan Fiona terkepal ketika mendengar suara pintu berdebum tertutup. Wajahnya menegang dan memerah merasakan panas yg kini menyebar ke seluruh tubuhnya. Sekaligus penyesalan yg tolol pada dirinya sendiri.

Air mata yg tanpa di rasanya mengalir di pipinya membuatnya tersadar.

"Tidak..." Fiona menghapus air matanya dengan kasar. "Tidak. Aku tidak akan menangis. Aku tidak lemah. Cukup sudah air mata yg terbuang sia sia." Desisnya lirih.

Memangnya apa yg di harapkannya setelah ia melangkah sejauh ini?

Hidup bahagia dengan sang pangeran?

Ia tahu dirinya tak seberuntung itu.

Dan ia juga cukup tahu. Rasa sakit yg ia rasakan saat ini bukanlah yg terakhir kalinya. Akan ada lagi rasa sakit yg lebih daripada saat ini.

Pilihan yg ia ambil. Ia tidak akan menyesalinya. Rasa sakit yg ia dapat dan akan ia dapatkan nanti. Pilihan itu tidak akan ia sesali. Hanya itu yg ia miliki saat ini. Ia harus menerima semua rasa sakit ini.

Dan ia akan menerimanya tanpa penyesalan sedikitpun.

###

Cahaya hangat yg menerpan wajahnya, memaksa Fiona tersadar dari tidurnya. Membuatnya berusaha membuka matanya yg sebenarnya masih mengantuk. Dengan mata yg menyipit, ia melihat sisi lain tempat tidurnya yg kosong dan masih rapi. Dengan kekecewaan yg ia tahu akan ia rasakan.

Frian bahkan semalaman tak kembali ke kamar mereka. Membuat Fiona bertanya di manakah pria itu menginap? Apakah di rumahnya?

Tidak mungkin.

Pria itu tak mungkin sebodoh itu untuk tidur di rumahnya meninggalkan pengantin wanitanya tidur sendiri di hadapan keluarganya. Terutama di hadapan Fania Sagara.

Selama beberapa detik ia bertanya tanya di manakah pria itu tidur, tiba tiba Fiona tersadar.

Di mana pria menginap semalaman bukanlah urusannya. Bukankah pria itu menganggap pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Kesepakatan mereka membuat mereka bebas melakukan apapun urusan masing masing.

Dengan keresahan yg tanpa alasan tentang Frian, ia turun dari ranjangnya. Mengabaikan tubuhnya yg dingin karna semalaman ia tertidur tanpa memakai selimut.

Ia akan melangkah menuju kamar mandi ketika getaran ponselnya di nakas menarik perhatiannya.

Frian A. S calling...

Sejenak ia melirik caller id yg tertera di layar ponselnya.

"Hallo." Jawab Fiona dingin.

"Apa kau tidur nyenyak?" Suara Frian langsung menerpa gendang telinganya. Sangat lembut dan penuh cinta. Tapi Fiona tahu itu hanyalah kepura puraan pria itu.

"Aku sangat lelah. Membuat tidurku terlelap dan sangat nyenyak." Jawab Fiona. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia hampir tidak bisa tidur semalaman. Sekaligus mengisyaratkan bahwa ada atau tidaknya pria itu di sisinya. Sama sekali tidak mempengaruhinya.

"Baguslah. Apakah kau sudah bersiap siap?"

"Aku baru akan ke kamar mandi."

"Mama ingin kita sarapan di rumah. Sebaiknya kau segera bersiap siap. Sebentar lagi aku akan menjemputmu di depan hotel."

"Ya." Jawab Fiona singkat sebelum mematikan ponselnya.

###

Frian berjalan melewati lobi hotel. Sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia bahkan tak bisa tertidur setelah menemui Darius dan Keydo di rumah Keydo karna gusar memikirkan Fiona. Kesal pada Brian yg masih juga tak menghilang di antara dirinya dan Fiona.

Saking geramnya, semalam ia benar benar akan menuruti saran Darius untuk meniduri dan memiliki wanita itu seutuhnya. Toh Fiona sudah memilih menikah dengannya. Dan Fiona adalah istrinya. Tak peduli siapa pemilik hati wanita itu, kenyataannya mereka sudah menikah. Dan sah sah saja jika ia menyentuh wanita itu sekalipun wanita itu tak bersedia.

Ia akan memutar handle pintu kamar pengantin mereka ketika tiba tiba ketakutan menyeruak di dadanya. Ia takut Fiona akan menyesal. Atau dirinya yg akan menyesal telah memaksakan kehendaknya pada wanita dan menghancurkan wanita itu.

Menyakiti wanita itu.

Tidak.

Satu satunya hal yg tidak akan pernah di lakukannya adalah menyakiti wanita itu.

Merenggut satu satunya hal paling berharga milik wanita itu.

Ia mengeluarkan wanita itu nerakanya bukan untuk memberikan neraka yg lain bagi wanita itu.

Saat itu juga ia membalikkan badannya. Memesan kamar lain di sebelah kamar pengantin mereka.

Frian menghentikan mobilnya di jalan keluar hotel untuk menunggu Fiona saat matanya tanpa sengaja melihat kantong plastik putih kecil yg tergeletak di kursi penumpang. Yg mamanya berikan dua hari yg lalu.

"Berikan pada Fiona dan minta Fiona meminumnya hari ini juga." Kata Fania sambil menyodorkan kantong plastik putih kecil itu pada Frian.

Frian membukanya dan keningnya berkerut ketika melihat tablet tablet yg ada di dalam kantong itu.

"Pil kontrasepsi." Fania menjawab pertanyaan yg tersirat di wajah Frian. Membuat Frian mendongakkan kepalanya dengan wajah sedatar mungkin. Berusaha tak terlihat bahwa ia terpengaruh dengan perlakuan mamanya.

"Sebelum ia menyelesaikan kuliahnya. Dan sebelum mama benar benar menerimanya di rumah ini. Mama tidak menginginkan ataupun mendapatkan cucu darimu." Sambung Fania.

Frian hanya diam. Tak ada kata kata yg bisa keluar dari mulutnya untuk membantah mamanya.

"Setelah dia tinggal di rumah ini, Mama tidak peduli apa yg kalian lakukan. Bagaimana caramu menenangkan hatinya. Tapi, apapun yg mama lakukan padanya, jangan pernah membela dia di depan mama. Dia harus mengerti posisinya di rumah ini."

Frian termenung mengingat ucapan ucapan mamanya. Ia juga tak membantahnya. Lagipula, ia juga tak perlu memberikannya pada Fiona. Toh ia juga tak akan menyentuh wanita itu.

Segera ia menyimpan plastik tersebut di kantong belakang kursi penumpang saat ia melihat Fiona baru saja keluar dari pintu utama hotel. Menekan tombol klakson sekali saat Fiona mengedarkan pandangannya mencari mobilnya. Begitu melihat mobilnya, wanita itu segera melangkah menghampirinya.

Suasana hening menyelimuti keduanya selama perjalanan dari hotel sampai ke rumah. Frian sendiri tidak mau mengusik wanita itu ketika melihat wajah Fiona yg masih sekacau semalam. Membuatnya semakin malas mengeluarkan suaranya karena terlalu sibuk dengan gemuruh kecemburuan di dadanya.

"Dengan wajah seperti itu, kau aka membuat suasana meja makan sesuram suasana hatimu." Ucap Frian saat keduanya baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju pintu utama keluarga Sagara.

Fiona hanya melirik sinis pada Frian. Lalu melengkungkan bibirnya dengan datar.

"Kita harus memainkan peran kita dengan sangat baik." Frian meggandeng tanga Fiona. Menggenggam jemarinya dengan lembut. "Kita adalah pasangan pengantin baru yg menikah karna saling mencintai hingga akan menjadi gila jika kita di pisahkan. Benar, bukan?"

Fionapun hanya diam. Merasa enggan jika harus berdebat dengan pria itu. Membiarkan Frian menuntunnya berjalan. Mengabaikan rasa sakit di dadanya yg semakin menajam.

Frian benar, ia harus memainkan perannya dengan sangat baik. Kehidupan rumah tangga yg bahagia.

###

Vote dam comment....

WAJIB!!!

OK.

Wednesday, 5 October 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top