10. Irony

Love you to death...

###

Part 10

Irony

###

Frian baru saja membuka pintu mobilnya ketika iphone miliknya berdering menandakan ada panggilan masuk yg menghubungi no.nya. Keningnya sedikit berkerut ketika melirik unknow number tertera di layar iphonenya.

"Hallo...?" Jawab Frian sambil naik ke atas kursi pengemudi SUV Hitamnya.

"Hallo, Frian. Ini tante Laura, Mamanya Alra." Suara lembut Laura menjawab dari seberang.

Fian terdiam sesaat mendengar Mama Fiona menghubunginya, hatinya terasa sakit mendengar suara dari wanita yg telah melahirkan wanita yg sangat di cintainya itu. Ingatan akan apa yg telah di lakukan wanita itu pada Fiona, pada anak kandungnya sendiri membuatnya bersusah payah menahan emosi yg rasanya sudah berada di ubun-ubun dan ingin segera di luapkannya.

Akan tetapi ia tidak akan meluapkannya pada wanita paruh baya itu. Itu tidak akan membuat manfaat apapun selain memperkeruh suasana dan membuat Fiona semakin berada dalam masalah yg lebih pelik. "Iya, tante. Ada apa?"

"Bisakah tante bertemu denganmu? Ada yg mau tante bicarakan denganmu."

Alis Frian kembali bertaut mendengar permintaan Laura. Walaupun ia tidak tahu apa yg akan di bicarakan Laura dengannya, setidaknya tidak ada salahnya menerima tawaran Laura. "Sepertinya hari ini Frian tidak bisa. Maaf, tante. Tapi mungkin besok kalau tante tidak keberatan."

"Baiklah. Besok saja kalau begitu."

"Tempatnya tante saja yg tentukan."

"Kalau begitu nanti akan tante hubungi di mana tempatnya."

Frian mengangguk. "Ya, besok Frian akan menemui tante."

"Ya sudah. Itu saja yg mau tante bicarakan. Kalau begitu sampai jumpa besok."

"Ya tante." Ucap Frian mengakhiri perbincangan mereka. Sambil meletakkan kembali iphonenya ke dalam saku jasnya, ia melihat Fiona yg baru saja keluar dari lobby dan berjalan menuju arahnya dengan membawa kantong belanjaan milik Finar yg kemarin malam di berikannya pada wanita itu.

"Apa yg kau lakukan dengan barang-barang ini?" Tanya Frian begitu Fiona sudah duduk di kursi penumpang sambil meletakkan kantong belanjaan di jok belakang.

"Kembalikan pada Finar. Aku akan pulang untuk mengambil bajuku sendiri di rumah." Fiona merasakan kegetiran saat mengucapkan kata rumah baru saja.

'Benarkah itu rumahnya?' tanyanya dalam hati.

"Baiklah. Aku akan mengantarkanmu pulang setelah kita makan siang dan pergi ke kantor Papamu." Frian mengangguk kecil sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Apa?" Fiona mengalihkan pandangannya dari kantong belanjaan yg di bawanya ke arah Frian yg mulai menginjak gas dan menyetir mobilnya keluar dari area hotel. "Kenapa kita harus pergi ke kantor Papa tiriku?"

"Karna kita harus." Jawab Frian dengan penuh keyakinan yg sama sekali tidak di mengerti oleh Fiona.

"Apa yg mau kau bicarakan dengan Papa tiriku?" Tanya Fiona sedikit memaksa.

"Bukan apa yg mau ku bicarakan dengan Papamu, tapi apa yg akan dan harus kita bicarakan dengan Papamu"

"Kita tidak perlu pergi ke kantor papa tiriku. Aku akan pulang dan membicarakan ini sendirian dengannya nanti."

"Saat ini, semua bukan hanya tentangmu saja, Fiona."

"Saat ini aku butuh untuk membicarakan semuanya sendirian dengan Papa tiriku."

Frian menghembuskan nafas ringan, memikirkan sejenak tentang penolakan Fiona untuk menemui Papa tiri Fiona dengan dirinya. "Baiklah, setelahnya aku dan kau juga perlu berbicara pada Papa dan Mamamu mengenai hubungan kita. Dan itu harus kita berdua." Frian menekan pada kata 'berdua' dengan di sertai tatapan tak terbantahkan miliknya yg memang sudah sangat familiar bagi Fiona. "...mengingat Mama meminta bertemu denganmu di pesta perusahaan kita."

"Aa...apa?" Fiona terlonjak, matanya seakan melompat dari tempatnya karena begitu gugup memikirkan pertemuan yg sama sekali tak terlintas di pikirannya. "Kenapa?"

"Bukankah sudah jelas?" Jawab Frian ringan tanpa menoleh ke arah Fiona karna berkonsentrasi pada jalanan yg ada di hadapannya.

Fiona terdiam dan mengerti maksud dari ucapan Frian. "Ha...hanya saja, apa secepat ini Mamamu menyerah padamu?"

Frian menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. "Mamaku tdk akan secepat ini menyerah padaku, Fiona. Bahkan jika kita menikah hari inipun dengan restu Mamaku, itu bukan berarti seorang Fania Sagara menyerah. Akan tetapi, kabar baiknya. Perrnikahan kita akan membuat Mamamu dan Alra menyerah. Seharusnya itu cukup untukmu."

Fiona termangu. Mengangguk sedikit dengan wajah penuh kegamangan yg berusaha di tampakkan penuh kepuasan untuk hasil yg ia dapatkan dari kesepakatan mereka pada Frian.

'Ya. Seharusnya itu sudah cukup.'

###

Fiona berjalan memasuki pintu rumahnya ketika ia melirik jam tangannya yg menunjukkan pukul 01.45 PM. Bersamaan ia melihat Mamanya yg sedang berjalan menuruni tangga sambil membawa nampan berisikan menu sarapan pagi yg nampaknya belum tersentuh sama sekali. Sepertinya Alra memulai ritual mogok makannya lagi, batin Fiona dalam hati.

Laura melemparkan tatapan dingin dan datar pada Fiona yg juga membalas tatapannya dengan sama dingin dan datarnya. Matanya teralihkan pada potongan rambut Fiona yg terlihat rapi dan luka di dahinya yg sudah tertutupi plester.

Tatapan Mamanya sama sekali tidak menghentikan langkah Fiona menuju anak tangga dan mulai menaikinya tanpa menatap Mamanya untuk keduakalinya. Melangkah penuh ketenangan yg berusaha di tampakkan di hadapan siapapun. Ia tidak akan menundukkan kepalanya. Tidak akan pernah.

"Apa kau sudah mengundurkan diri dari tempatmu bekerja?" Tanya Laura menghentikan langkahnya sambil membalikkan badannya menghadap Fiona yg memunggunginya berada di beberapa anak tangga di atasnya. Bahkan putrinya itu hanya menghentikan langkahnya dan sama sekali tidak bersusah payah untuk membalikkan badannya menghadap ke arahnya.

"Apa Fiona punya alasan untuk menuruti perintah Mama itu?"

"Apa kau masih punya muka untuk tinggal di rumah ini setelah kekacauan yg kau buat kemarin?" Desis Laura.

Fiona hanya diam. Melanjutkan melangkahkan kakinya menaiki tangga sepenuhnya mengabaikan Mamanya. Ia tidak akan kembali. Ia tidak akam membalikkan badannya untuk Mamanya sekalipun.

###

Fiona sedang duduk di pinggiran kasurnya sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper ketika Laura menerobos masuk kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu yg sudah jadi kebiasaannya.

Wajah Laura berubah pucat pasi ketika melihat apa yg di lakukan Fiona. Namun, Fiona mengabaikan kehadiran maupun reaksi Laura.

"Apa yg kau lakukan dengan barang-barangmu?" Tanya Laura geram sambil menunjuk pada barang-barang dan koper milik Fiona yg sudah sebagian terisi.

"Apa peduli Mama dengan apa yg akan Fiona lakukan?" Jawab Fiona datar.

"Apa yg akan kau lakukan dengan barang-barangmu?" Bibir Laura menipis saat mengulangi pertanyaannya, menunjukkan kemarahan yg berusaha di tahannya. "Kemana kau akan pergi?"

Fiona menghentikan pekerjaannya dan tersenyum tipis mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Mamanya. "Ini akan menjadi kejutan buat Mamaku yg tercinta."

"Berhenti memperkeruh suasana yg sudah kau kacaukan. Kau tidak akan keluar dari rumah ini kecuali pergi melanjutkan kuliahmu di luar negeri."

"Aku rasa keputusan bukan berada di tangan Mama. Lagipula..." Fiona menggantung kalimatnya di ikuti seringai penuh kepuasan. "...Fiona sudah tidak punya muka untuk tinggal di rumah ini setelah kekacauan yg Fiona buat kemarin."

"Dan bukan berarti kau harus mengganti posisi Alra di sisi Frian."

"Fiona sama sekali tidak mengganti posisi Alra di sisi Frian, Alra sama sekali bukan apa-apanya Frian jika Mama lupa." Fiona menatap tepat di bola mata Mamanya penuh kemantapan yg tak tergoyahkan. "Kecuali, sebatas kencan buta yg kalian rencanakan."

"Mama tahu kau mendekati Frian hanya ingin mengusik Mama, jadi berhenti melakukan hal yg konyol."

"Fiona tidak pernah mendekati Frian jika aku boleh berkomentar tentang pernyataan Mama."

"Apa kau kira Mama akan percaya?" Desis Laura.

"Fiona juga tidak peduli Mama mau percaya atau tidak. Lagipula Fiona tidak akan mendekati pria manapun jika hanya untuk mengusik Mama. Membuat Fiona terlihat murahan. Sampai..." Fiona menggantung kalimatnya lagi di sertai tatapan yg penuh kilatan amarah. Penuh kebencian yg di paksakan, "...semua yg telah kalian lakukan pada Fiona tadi malam. Membuat Fiona berubah pikiran untuk mendekatinya dan akan memastikan untuk mendapatkannya."

Laura menatap penuh kengerian mendengar kata-kata Fiona, kata-katanya sendiri yg akan di keluarkannya tertekan di tenggorokannya dan membuat wajahnya semakin pucat pasi seakan darah di wajahnya tersedot entah kemana.

"Tidak bisakah Mama berpura-pura terlihat senang dengan berita menggembirakan ini?" Bibir Fiona melengkung. Menyeringai dengan tatapan tajamnya. "Bukankah ini yg Mama tunggu? Menunggu Fiona melangkahkan kaki pertama Fiona keluar dari rumah ini."

Laura mengepalkan kedua tangannya. Menahan murka yg luar biasa oleh kalimatnya yg di lemparkan kembali kepadanya dengan sangat menyakitkan.

"Kau. Tidak. Boleh. Dan. Tidak. Akan. Pernah. Memdapatkan. Frian." Ucap Laura penuh penekanan di setiap kata-katanya dan nada penuh ancaman pada suaranya.

"Kita bisa melihatnya nanti." Jawab Fiona ringan.

"Apa kau kira kau pantas mendapatkan pria seperti Frian? Apa kau masih belum sadar siapa dirimu?"

"Karna Fiona sadar siapa diri Fionalah, maka Fiona harus mendapatkannya."

"Kau!" Laura mengangkat tangannya berniat menampar Fiona. Namun, Fiona dengan cekatan menghempaskan tangan Laura dengan kasar hingga Laura terdorong ke belakang dan Fiona berdiri dari duduknya menghadap Mamanya.

"Apa alasan Fiona masih kurang untuk mendapatkan apa yg Fiona inginkan?"

"Berhenti main-main dengan masalah serius seperti ini." Ucap Laura dengan menaikkan nada suaranya dan tampak frustasi menghadapi Fiona.
"Apa bagi mama saat ini Fiona tampak tidak serius?"

"Lupakan keinginanmu yg tidak masuk akal itu da..."

"Kenapa?" Fiona memotong ucapan Laura yg belum selesai.

"Mama tahu kau tidak menyukai Frian."

"Fiona tidak perlu menyukainya untuk apa yg akan Fiona inginkan."

Laura tercenung. Mencerna maksud kata kata yg di tekan oleh Fiona, "Apa maksudmu?"

"Banyak hal yg akan Fiona dapatkan ketika Fiona berhasil mendapatkan Frian.Terutama, Fiona tidak akan memiliki anak yg akan bernasib sama dengan Fiona kalau Fiona menikahi pria miskin  seperti Mama."

"Jika hanya masalah harta, Mama bisa mengaturnya dengan anak teman Mama yg lebih kaya lagi dari keluarga Sagara."

"Fiona tidak tertarik."

"Kenapa?"

"Karna Frian adalah yg kalian inginkan." Fiona menjawabnya sedetik setelah Laura menyelesaikan pertanyaanya tanpa keraguan sama sekali. "Fiona ingin kalian tahu, bahwa tidak semua hal bisa kalian dapatkan walaupun kalian telah berusaha sekeras apapun. Dan Fiona akan memastikan hal itu untuk kalian. Sampai akhirnya kalian menyerah dan putus asa."

Wajah Laura sudah tidak bisa lebih pucat lagi. Ia benar-benar telah kehilangan kontrol terhadap dirinya dan Fiona. "Apa kau mengancam Mama?"

"Fiona lelah." Fiona mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandinya. Tidak memedulikan Laura yg berdiri mematung karna semua kata-kata yg di lemparkan Fiona ke mukanya.

"Baiklah. Ini belum berakhir. Kau yg memulai peperangan ini. Jangan salahkan Mama jika pada akhirnya kau yg akan lebih terluka dan hancur. Kita lihat nanti siapa yg akan menang."

Fiona menghentikan langkahnya sebelum kembali menghadapkan kepalanya untuk memandang Mamanya, setelah beberapa detik keduanya hanya saling pandang tanpa kata, akhirnya Fiona tersenyum kecil sambil mengangguk sedikit. "Ya, kita akan melihatnya nanti."

Laura terdiam sejenak mendengar kata tantangan penuh keyakinan yg di ucapkan Fiona. Dengan sisa-sisa emosi yg sudah tdk bisa ia luapkan sembarangan kepada putrinya ia berjalan keluar dan meninggalkan suara pintu yg terbanting dengan kasar.

Fiona menatap datar pada bayangan cermin yg ada di hadapannya, tampak seorang wanita yg tampak letih dan kacau membalas tatapan matanya. Dadanya terasa sangat sakit, air mata memaksanya untuk keluar namun ia berhasil menahannya.

Seharusnya ia merasa puas dan senang akan keberhasilannya mengusik ketenangan Mamanya. Tapi kenapa setelah pembicaraannya dengan Mamanya beberapa menit yg lalu, pembicaraan yg bisa di bilang hampir 100% berhasil lebih dari sekedar mengusik Mamanya. Rasanya seolah jantungnya di cabut dari tempatnya, begitu hampa dan menyesakkan.

Ia memejamkan matanya merasakan sesak itu menghantamnya, ia berusaha menormalkan debaran jantungnya yg terasa sangat perih.

'Ini hanyalah awalnya,berikutnya akan ada hal yg lebih menyakitkan dari ini semua.

'Jadi ia harus membiasakan diri.'

"Ia telah siap dengan segala resiko yg akan di temui jika ia memilih pilihan ini dalam hidupnya. Maka ia tidak boleh menyesalinya.'

'Ya, ia tidak akan pernah menyesalinya.'

###

"Sepertinya keadaanmu sudah lebih baik." Ucap Toni dengan nada dan tatapan penuh kelegaan melihat kondisi Fiona -yg tampak jauh lebih baik daripada kemarin malam dengan potongan rambut yg sudah rapi dan membuat wajahnya terlihat semakin cantik. Jelas sekali itu kerjaan seorang penata rambut profesional-,ketika baru saja Fiona dan dirinya mendudukkan diri di sofa kulit yg ada di ruang kerjanya.

Fiona hanya mengangguk pelan dan memasang tatapan datar dan tak tersentuhnya.

"Apa yg akan kau bicarakan dengan Papa?" Tanya Toni penuh kelembutan dan kasih sayang yg tanpa berusaha di tutupinya untuk Fiona.

Fiona diam sejenak, mengatur kata-kata yg tepat yg akan di katakannya. Ia mengambil nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya sebelum berkata dengan mantap, "Tentang kepindahan Fiona dari rumah ini."

Toni terperangah. Tidak menyangka dengan topik pembicaraan yg akan di bahas Fiona. Ia juga tidak menyangka kejadian tadi malam akan membuat reaksi Fiona sampai sejauh ini.

Namun, jika Fiona pergi dari rumah ini karna alasan itu, tentu dia tidak akan membiarkannya. Bagaimanapun, posisi Fiona di hatinya sama sekali tidak ada bedanya dengan Rena, Seno maupun Alra.

"Fiona rasa, ini sudah waktunya Fiona pindah dari rumah ini."

"Kenapa? Apa karna kejadian tadi malam?" Toni masih berusaha mempertahankan ketenangan emosinya.

Fiona hanya diam mengiyakan.

Ya.

Salah satu alasan ia pindah dari rumah ini adalah karna kejadian tadi malam.

Ia benar benar sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi untuk menerima semua kebencian yg Mamanya berikan padanya.

Ia sudah tidak bisa membuat keduanya saling membenci lebih jauh lagi dan saling menyakiti satu sama lainnya lebih dari ini.

"Jika itu alasan kau pergi dari rumah ini, Maka kau tahu jawaban dari Papa."

Ya, jika ia pergi dari rumah ini karna kejadian tadi malam, ia tahu Papa tirinya itu tidak akan membiarkannya.

"Fiona tidak punya alasan apapun untuk tetap tinggal di rumah ini lebih lama lagi. Bahkan sejak awal di sini bukanlah tempat Fiona."

"Lalu, dimanakah seorang anggota keluarga harus tinggal jika bukan di rumah?" Tanya Toni dengan nada tersinggung oleh kalimat Fiona. "Satu-satunya darahmu yg masih hidup ada di sini. Dan semua keluarga yg kamu miliki juga ada di rumah ini."

Fiona tersenyum hambar dan datar, "Setelah semua yg telah Fiona alami dari detik Fiona menginjakkan kaki di rumah ini sampai detik ini. Fiona tidak mau lagi membodohi diri Fiona sendiri. Tidak ada yg menganggap Fiona sebagai anggota keluarga di rumah ini, begitu juga sebaliknya."

Toni tidak bisa menyangkal ucapan Fiona yg tidak sepenuhnya salah. Kecuali dirinya, tidak ada anggota keluarga inipun yg bersikap baik padanya apalagi menganggapnya sebagai salah satu anggota keluarga rumah ini. Bahkan Laura selalu bersikap dingin dan datar padanya.

"Kamu masih menjadi tanggung jawab Papa, jadi Papa tidak akan membiarkanmu keluar dari rumah ini dan melepaskan kewajiban Papa sebagai orang tuamu."

"Fiona tidak pernah meminta pertanggung jawaban apapun pada anda atas diri Fiona.Dan anda tidak perlu merasa menjadi orang tua yg buruk karna melepas kewajiban anda sebagai orang tua saya, karna bahkan kedua orang tua saya sudah tidak merasakan perasaan sia-sia yg anda miliki itu. Jadi, jangan membuang-buang waktu anda lagi."

"Tidak bisakah kau menghargai perasaan Papa sedikit saja padamu?" Toni menaikkan nada suaranya, ia benar-benar kecewa dengan ucapan yg keluar dari mulutFiona. "Kau tahu Papa menyayangimu sama seperti Papa menyayangi anak papa yg lainnya. Kau benar-benar sudah menjadi anak Papa sejak Papa mengetahui keberadaanmu di dunia ini. Bagaimana kau bisa begitu tega mengatakan kata-kata kejam seperti itu setelah semua kasih sayang yg Papa berikan padamu?"

"Berhentilah mengasihani kehidupan Fiona." Gumam Fiona sambil mengedipkan matanya yg sudah mulai basah.

'Tidak. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak akan menangisi kata-kata lemah dan penuh omong kososng seperti itu.'

"Apa? Mengasihimu?" Toni memicingkan matanya, ia sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk menunjukkan kemarahan yg berusaha di tahannya sejak tadi. "Apa kau benar-benar begitu bodoh tidak bisa membedakan rasa kasihan yg kau bilang dengan kasih sayang yg selama ini Papa berikan padamu?"

"Apa ada alasan untuk anda menyayangi orang seperti saya?"

"Orang seperti apa yg kamu maksud?" Toni menatap lebih tajam tepat ke manik mata Fiona, menunjukkan bahwa ia benar-benar sangat marah dengan pertanyaan Fiona.

"Lihatlah saya."

"Ya. Papa sudah melihatmu." Jawab Toni. "Jika kau menanyakan kenapa Papa menyayangimu, tentu saja karna kau adalah putri Papa. Tidak ada alasan apapun yg menghalangi seorang ayah untuk menyayangi putrinya."

Fiona terdiam menahan rasa sesak yg begitu mendalam di dadanya. Anehnya rasa sesak ini sama sekali tidak menyakiti hatinya. Namun ia segera menepisnya.

Tidak, jika perasaan ini tidak menyakiti hatinya, berarti ini adalah perasaan baik yg tidak boleh di rasakannya. Ia harus membuang segala macam pikiran dan perasaan baik ini jauh-jauh darinya.

"Fiona akan menikah. Jadi tidak ada alasan apapun bagi anda untuk menolak kepindahan Fiona dari sini."

"Papa akan membiarkanmu meninggalkan rumah ini di hari pernikahanmu."

"Jika anda tahu siapa yg akan Fiona nikahi, anda tidak akan mem..."

"Lelaki itu Frian, bukan?" Toni memotong ucapan Fiona."Frian Alandra Sagara."

Fiona terlonjak, bagaimana mungkin Papanya sudah mengetahuinya?

"Kau kira Papa tidak tahu kenapa Frian membatalkan rencana pertunangannya dengan Alra?" Toni menjawab pertanyaan yg tidak keluar dari mulut Fiona. "Melihat pandangan dan sikap Frian padamu saja, Papa sudah tahu perasaan macam apa yg di miliki Frian padamu. Dan mendengar kau menerima lamarannya, Papa tahu kau membalas perasaannya."

"Anda tahu Alra mencintai Frian."

"Kau dan Alra sama-sama putri Papa. Papa tidak akan membiarkan putri Papa menikah dengan lelaki yg tidak mencintainya. Setidaknya di dalam pernikahan kalian, merupakan persetujuan dari kedua belah pihak. Kalian sudah dewasa, Papa yakin kalian sudah bisa menentukan pilihan kalian sendiri dan menerima apapun resiko dari pilihan tsb."

'Fiona dan Frian menikah bukan karna perasaan sentimentil bernama cinta seperti yg anda katakan. Fiona menikah dengannya agar Fiona bisa pergi dari rumah ini. Bagaimana pendapat anda tentang itu?' Teriak Fiona dalam hatinya.

'Dan anda benar, apapun resiko yg akan Fiona dapatkan nantinya, Fiona akan menerimanya. Dan tidak akan menyesalinya.'

"Papa mengharapkan yg terbaik bagimu."

"Kenapa?" Tanpa sadar dan tanpa bisa menahannya lebih lama lagi, sudut matanya meneteskan air mata yg membasahi pipinya. "Kenapa anda melakukan ini pada saya? Apa maksud anda mengatakan semua ini? Apa niat anda yg sebenarnya?"

"Papa tahu kau mengetahui jawabannya."

"Apa anda mengatakan ini agar saya melepaskan Frian dengan sukarela?"

"Tidak semua orang seperti yg kau pikirkan."

"Semua orang mengatakan saya tidak pantas ..."

"Tidak ada seseorang yg tidak pantas untuk seseorang yg lain yg saling mencintai untuk mendapatkan kebahagiaan. Karna semua orang berhak untuk mengejar kebahagiaannya." Potong Toni.

"Katakan pada saya itu benar." Ucap Fiona penuh nada pemaksaan, ia sudah tidak peduli lagi dengan air mata yg mengalir membasahi pipinya. "Katakan pada saya itu benar agar saya tidak merasa diri saya begitu buruk."

Toni hanya diam, memandang Fiona dengan tatapan penuh kasih sayang yg tulus. "Papa tidak punya niat apapun mengatakan semua ini padamu."

"Katakan padaku itu benar jika kau benar-benar menganggapku sebagai seorang putri."

Toni menggeram dengan kekeras kepalaan putri titinya itu, dengan kesal ia bergumam, "Jangan katakan kata-kata yg tidak kamu kehendaki."

"Hanya akan lebih menyakitimu dan orang yg mendengarnya saja. Sudah cukup tembok yg kau buat untuk membatasi siapapun yg mendekatimu. Kau tidak bisa hidup hanya dengan mengacuhkan perasaan yg lainnya."

Pandangan mata Fiona mulai mengabur terhalang oleh air mata yg tidak mau berhenti mengaliri pipinya yg sudah memerah. Ia merasa sangat lemah saat ini, dan ia merasa sangat membenci dirinya sendiri di dalam kurungan tembok yg sudah sangat tinggi ia bangun.

"Papa rasa pembicaraan ini sudah selesai. Pergilah ke kamarmu." Toni berdiri dr tempat duduknya setelah mengatakan kalimat dengan nada yg lebih lembut dan hangat, "Jika kau masih menghargai Papa sedikit saja, jangan tinggalkan rumah ini tanpa sepengetahuan dan ijin dari Papa."

Fiona menangis tersedu. Tidak bisa menahan aor mata yg membanjiri pipinya.

Bagaimana mungkin orang lain bisa menyayanginya setulus itu. Sedangkan darahnya saja membenci keberadaannya setengah mati.

###

Part ini ku kasih panjang. Karna mulai hari ini 'Love you to death...' updatenya ga bisa setiap hari ya.

Tapi author usahain secepet mungkin, kok

Ok...

Saturday, 1 October 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top