1. Fiona Mikaela


Love you to death...

###

Part 1

Fiona Mikaela

###

Kriingg... kriingg... kriingg...

Bunyi jam beker yang ada di nakas membuat Fiona tertarik dan tersadar dari kegelapan yang menemani selama terpejam. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum ia mengangkat kepala masih dengan sisa kantuk yang tersisa. Duduk di pinggir ranjang dan mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar tidur. Bertumpuk-tumpuk berkas berserakan di meja kerja, dan di lantai sebelah tempat tidur tergeletak sebuah buku tebal yang terbuka.

Fiona membacanya sebelum tertidur tadi malam. Pekerjaan sebagai sekretaris menuntutnya untuk melatih kemampuan berbahasa inggris agar lebih lancar dan fasih dalam melafalkan. Pendidikan yang hanya sebatas SMA membuat kemampuannya tidaklah seberapa dan harus selalu terus belajar secara otodidak untuk hasil pekerjaan yang memuaskan. Juga karena Fiona bekerja setelah lulus SMA, sehingga tidak sempat jika harus mengikuti kursus-kursus apa pun itu.

Fiona turun dari tempat tidur, membungkuk sejenak untuk memungut buku yang terjatuh dan meletakkan di nakas sebelum mematikan alarm yang masih berbunyi menunjukkan pukul lima pagi. Kemudian ia melangkah menuju jendela kamar untuk membuka gorden yang masih tertutup. Sejenak berdiri di samping jendela untuk melihat keadaan di luar sana. Menjelang fajar di hari Jumat. Sejauh yang bisa ia lihat menembus kegelapan, tak tampak siapa pun penghuni rumah yang sudah bangun. Bahkan para pembantu di rumah ini pun masih belum terlihat. Namun, itu bukanlah pemandangan yang mengherankan. Hampir setiap hari seperti ini. Selalu dia yang bangun terlebih dahulu.

Fiona pun duduk di meja kerja dan mulai membuka buku agenda untuk melihat kegiatan hari ini. Hanya ada satu rapat siang nanti pukul sebelas dan pertemuan dengan MS Contruction yang akan ia datangi untuk menemani bosnya sore nanti. Bibirnya tersenyum kecil, hatinya mulai bersemangat hari ini akan bertemu dengan Brian, kakak kelas sewaktu ia masih SMA. Mereka berteman dekat sejak Fiona jadi anggota OSIS dan Brian sebagai wakil ketua OSIS. Hingga sekarang, mereka masih mempertahankan hubungan pertemanan sebagai teman dekat. Setidaknya, itulah hubungan yang telah mereka sepakati.

Dua jam kemudian, saat Fiona turun untuk sarapan. Kelima penghuni rumah sudah duduk mengitari meja makan dan sibuk melahap sarapan masing-masing. Tak seorang pun menoleh kepadanya ketika ia duduk. Kecuali papa tiri yang tersenyum ramah seperti biasa, dan seperti biasa Fiona juga tak repot-repot menghiraukan sedikit perhatian itu. Sejenak Fiona melirik mamanya yang masih tak pernah menghiraukan kehadirannya dan menyibukkan diri dengan sarapan daripada harus repot-repot untuk sekedar menyapa.

Tidak ada seorang pun di dalam rumah ini yang Fiona anggap sebagai keluarga, begitu juga sebaliknya, karena kecuali papa tiri yang selalu bersikap ramah, semua anggota keluarga ini menganggap Fiona adalah duri dalam daging. Fiona percaya, perlakuan Toni Wardhana yang menampakkan sikap kasih sayang sebagai seorang ayah hanyalah karena didorong oleh rasa kasihan kepada anak yang sudah menjadi tanggung jawab sebagai seorang suami dari Laura, ibu kandung Fiona, dan seorang Fiona Mikaela sangat benci dikasihani.

Seno dan Rena, anak Toni Wardhana dari keluarga sebelumnya tidak terlalu menyukai dirinya karena ia selalu bersikap dingin dan seenaknya sendiri. Fiona sendiri anak dari Laura Wardhana dari pernikahan sebelumya. Mama dan papanya bercerai saat Fiona masih dalam kandungan. Enam bulan menikah, Laura sudah menggugat cerai papanya karena tidak tahan dengan kemiskinan keluarga kecil mereka. Yah, dari awal papanya memang bukan terlahir dari keluarga kaya. Entah apa yang membuat mama dan papanya menikah di waktu lampau.

Selama ini, yang Fiona tahu, hanya itu alasan mamanya meninggalkan dirinya pada papanya. Fiona sendiri tak terlalu mau tahu masa lalu kedua orang tuanya. Setelah melahirkan dirinya, mamanya langsung menyerahkan tanggung jawab sebagai seorang ibu pada papanya. Kemudian, kecelakaan yang menimpa papanya sewaktu ia berusia empat belas tahun, memaksanya harus tinggal dengan keluarga baru mamanya. Kalau saja bukan karena pendidikan dan karena dirinya yang masih di bawah umur untuk tinggal sendiri, ia tidak akan sudi tinggal di rumah yang sudah seperti neraka dunia ini. Belum lagi dengan persyaratan papa tirinya ketika Fiona memaksa untuk memilih bekerja daripada melanjutkan kuliah, yaitu mengijinkan Fiona keluar dari rumah ini hanya setelah dia menikah. -Huh, Fiona bahkan tak sempat memikirkan tentang seorang pria di antara kesibukannya yan padat.-

Lalu, satu lagi saudara tiri Fiona, Alra. Anak mama dengan papa tirinya yang usianya tidak terlalu jauh darinya. Putri yang sangat disayangi Laura jauh melebihi Fiona. Bahkan mamanya lebih menyayangi Seno dan Rena dibandingkan dirinya. Dan dengan sikap Alra yang selalu memandang rendah Fiona walaupun usia wanita itu lebih muda dari Fiona, tidak ada hal apa pun di rumah ini yang membuat Fiona merasa lebih baik daripada berada diluar rumah. Itulah sebabnya Fiona selalu menyibukkan diri untuk bekerja dan menghabiskan waktu luang dengan Brian atau di dalam kamar bergelut dengan buku-buku.

Lekas-lekas Fiona melahap roti bakar dan meneguk segelas susu dengan segera sebelum bergegas beranjak dari duduknya untuk meninggalkan yang lain tanpa sepatah kata pun. Seperti biasanya. Akan tetapi, ia tak sempat mengambil langkah pertamanya ketika Toni, sang kepala keluarga sekaligus papa tirinya berdehem. Membuat Fiona mematung menghentikan langkahnya. Ia tahu papa tirinya itu tidak akan tinggal diam mengingat ia sama sekali belum mengucapkan sepatah kata pun ucapan selamat pagi pada keluarganya. Tindakan sia-sia yang berusaha papa tirinya pertahankan selama ini.

"Aku duluan," pamit Fiona dengan nada datar setelah menghela napas sejenak tanpa kembali menoleh pada semua penghuni yang masih mengelilingi meja makan dan melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Sambil melangkah menjauh, dia bisa mendengar dengkusan sinis Rena dan Alra yang tampak kesal dengan sikapnya di pagi ini. Dan bukan hanya pagi ini.

"Dasar anak tidak tahu sopan santun. Tidak pernah berubah. Semakin hari semakin menjadi. Apa ....."

"Diam!" hardik Toni memotong makian Rena sambil melemparkan tatapan tak terbantahkannya pada Rena. Kemudian memandang sejenak istrinya yang hanya terdiam menampakkan ekspresi tak terbaca.

Fiona berjalan menuju mobil yang terparkir di carport kediaman Wardhana. Tiba-tiba Alra muncul dan sudah berada di belakangnya, menutup pintu mobil bagian depan yang sudah ia buka setengah.

"Kau tak perlu berangkat kerja lagi!" kata-kata Alra sinis dan matanya menyipit merendahkan pada Fiona, seperti biasa.

Fiona menyeringai dan mendengkus sinis membalas sikap dingin Alra dengan lebih dingin. "Setahuku, kau tidak punya urusan apa pun dengan pekerjaanku."

"Kau berani menatapku seperti itu!" gertak Alra merasa tersinggung dengan balasan sikap Fiona.

"Apa ada masalah? Bukankah aku memang selalu menatapmu seperti ini?" jawab Fiona ringan dan melemparkan tatapan datar penuh ketenangan yang terkendali miliknya pada Alra. Menghadapi wanita semacam adik tirinya ini memang harus dengan kepala dingin. Atau kau akan lebih terbakar oleh emosimu sendiri.

"Begitu juga sebaliknya!" tambah Fiona lagi. Diikuti seringai yang muncul di salah satu sudut bibirnya.

Alra terdiam sejenak, membenarkan ucapan Fiona. Namun, ia lebih memilih mengabaikan kalimat Fiona dan mulai mengatakan niatnya. "Apa kau belum tahu, kemarin mama sudah bertemu dengan orang tua Frian untuk membahas masalah pertunangan kami. Itu berarti, aku adalah calon istri Frian. Bossmu!" Alra menekan kata terakhirnya. Ia terlihat bangga dengan semua kata-kata tersebut. Dan tersenyum penuh kemenangan sinis.

"Lalu?" Fiona menyilangkan kedua tangan di depan dada, tampak tak peduli dengan kalimat Alra. Karena ia memang sama sekali tidak peduli.

Tak percaya, kening Alra berkerut dengan reaksi yang ditunjukkan Fiona terhadap berita yang baru ia kabarkan. Sangat tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. "Kau berpura-pura bodoh atau kau memang tidak mengerti dengan apa yang kuucapkan? Apa aku perlu menjelaskannya dengan lebih mendetail?"

"Tidak." Fiona menggeleng, " Aku mengerti. Aku hanya tak ingin peduli."

Alra menghela napas, berpura-pura sabar menghadapi sikap Fiona. "Aku melarangmu untuk bekerja lagi. Apa kau tidak tahu dipecat? kau tidak perlu lagi pergi ke kantor untuk bekerja. KAU DI PECAT!!!!" Alra mengucapkannya dengan lantang dan penuh kepercayaan diri yang tinggi sekaligus kesombongan. Tentunya juga masih dengan senyum penuh kemenangan sinis yang masih setia menghiasi bibirnya.

"Apa kau sudah selesai?" Fiona malah bertanya balik dengan nada bosan. "Kau tidak ingin membuatku memuntahkan semua sarapanku karena bualanmu itu, bukan? Lagi pula, aku juga tidak punya banyak waktu untuk menanggapi semua omong kosong yang kauucapkan. Aku masih punya pekerjaan di kantor yang harus kuselesaikan. Dan tentunya lebih penting dibandingkan bualanmu." Fiona membuka kembali pintu mobilnya dengan kasar dan sengaja, membuat Alra terhuyung ke belakang karena Alra berada tepat di depan pintu mobil. Namun, Alra masih bisa menjaga keseimbangan tubuh sehingga tidak jatuh tersungkur ke tanah. Sekaligus membuat Fiona menyesal tidak menghentakkan pintu itu sedikit lebih keras dan cukup membuat Alra terjengkang ke belakang. Meskipun ia harus cukup puas melihat jelas wajah Alra yang memerah karena menahan amarah pada sikap dan ucapannya.

"Apa kau bilang? Omong kosong?" Suara Alra sedikit meninggi, menatap Fiona penuh ketidakpercayaan. "Kita lihat nanti. Kau akan menyesali semua ucapan yang pernah kau ucapkan padaku."

"Aku tidak punya alasan untuk menyesali sesuatu seperti itu, Alra" cibir Fiona. Sungguh kekanak-kanakkan, batinnya.

Dengan kedua tangan yang secara respon mengepal karena marah, Alra melemparkan tatapan membunuhnya pada Fiona. Mulutnya membuka nutu tak percaya terhadap reaksi Fiona yang membuatnya mulai kehabisan kata-kata untuk membalas.

"Apa kau terlalu percaya diri hanya karena Frian memperkenalkanmu sebagai kekasihnya pada teman-temannya dua hari yang lalu? Bukankah kau cukup tahu diri dengan alasan Frian melakukan itu? Karena semua teman-teman Frian membawa pasangan masing-masing di pesta itu."

"Benarkah?" Fiona menyeringai. "Saat itu kau ada di sana, bukan? Aku bisa membantumu mengingatnya. Dia bisa saja datang ke sana sendirian tanpa memaksaku ikut, lalu memperkenalkanmu sebagai kekasihnya. Tapi ..." Fiona menggantung kalimatnya, "... dia sendiri yang memaksaku datang dan memperkenalkanmu sebagai adik tiri kekasihnya."

"KAU!!!" bentak Alra dengan bola mata yang hampir keluar. "Apa kau sadar posisimu?! Kau hanyalah sekretaris papanya. Sama sekali tidak pantas jadi kekasihnya. Kau juga hanyalah anak tiri pemilik NOSCA Contruction. Aku anak kandung papa."

Fiona membuang muka sebagai jawaban ucapan Alra baru saja. Tentu saja ia sangat sadar akan posisinya. Hanya sebagai sekretaris papanya Frian dan anak tiri pemilik NOSCA Contruction. Membuatnya dengan santai mengangkat tangan untuk menengok jam tangannya sekilas. "Aku akan terlambat. Bisakah kau segera enyah saja dari hadapanku dan tidak menyia-nyiakan waktuku?"

"Hentikan mimpimu itu, Fiona!" gertak Alra. "Bahkan bermimpi Frian akan jatuh ke pelukanmupun kau tidak boleh. Se-di-kit-pun. Dan aku akan memastikan dia tidak akan pernah jatuh di pelukan wanita murahan sepertimu."

Kali ini, kata-kata Alra mengena di dada Fiona. Wajah Fiona menegang bersamaan dengan kilatan kemarahan yang muncul di kedua bola matanya yang hitam. Mata dingin itu semakin mendingin, "Siapa yang kau bilang murahan?" desis Fiona tajam. Membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil.

"Kau...!!" tegas Alra tanpa ragu-ragu, "Kau hanyalah wanita murahan yang menggo..."

"Hentikan, Alra." Fiona memotong kalimat Alra, sambil menunjuk wajah Alra dengan jari telunjuk. Mata hitamnya yang semakin menggelap, menusuk tepat ke manik mata Alra.

"Kenapa? Apa kata-kataku ada yang salah?" Alra tersenyum puas dengan kemarahan yang ditunjukkan oleh Fiona. Cukup puas kata-katanya mampu mengusik dan mempengaruhi kakak tirinya itu.

Fiona mengangkat tangannya bersiap untuk mendarat di pipi Alra. Namun, keinginannya tertahan saat matanya menangkap sosok toni Wardhana yang baru saja keluar dari dalam rumah, menuju mobil yang sudah siap di teras depan pintu utama. Sambil mengertakkan giginya, Fiona menurunkan tangan dan menghela napas berat dengan mata terpejam. Berusaha menenangkan emosi yang bergejolak dan masuk ke dalam mobil.

"Lusa keluarga kita akan mengadakan pertemuan untuk membahas tentang pertunanganku dan Frian. Kau jangan coba-coba untuk mengha..."

Hanya itu kalimat yang sempat Fiona dengar sebelum pintu mobilnya tertutup dan melaju menuju gerbang kediaman Toni Wardhana. Ia bahkan sedikitpun tak pernah peduli akan hubungan adik tirinya itu dengan anak bosnya.

***

###

Cerita baru. Moga moga kalian suka. Ini cerita salah satu sahabat dan orang kepercayaan Darius, Alan.

Frian Alandra Sagara

Saturday, 24 September 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top