---9. Pengalaman Pertama---
Sudah siap apa belum?
Mulut Ina yang biasanya luwes dan ceriwis, kali ini tidak sedang dalam mode bersuara. Ia mengerjap sejenak, lalu entah dapat bisikan dari mana, mulutnya maju begitu saja, menyambar bibir Irham yang telah sangat dekat. Mula-mula Irham kaget. Berpuluh purnama tidak merasakan bibir wanita, ada yang meletup-letup dalam dirinya. Bibir mungil Ina dinikmati dengan semangat delapan enam.
Ina memejamkan mata. Ia pikir berciuman itu indah, seperti film-film Disney yang selama ini ditonton. Apalagi film kartun, ciuman itu romantiiiisss. Ternyata yang ia rasakan saat ini adalah liur, basah, dan deru napas Irham yang bercampur aroma tembakau. Di mana letak keindahannya?
Belum hilang kaget Ina, ada yang menyusup masuk ke balik kaus dan merambah bagian dalam tubuh. Kontan Ina kegelian. Ia menggelinjang dan secara refleks menghindar dengan berguling ke samping.
"Mmmmh!" erang Ina. "Geliiiii!" serunya, lalu terkikik.
Irham hanya bisa melongo saat bibirnya ditinggalkan Ina. Sekarang istrinya itu malah menggulung badan di tepi ranjang.
Apa-apaan? Duh! Anak kecil!
Embusan napas Irham masih memburu, tapi ia terpaksa surut. Detak jantungnya masih tidak karuan saat ia membalikkan badan untuk telentang.
Jantungku udah mau copot, In, In! rutuknya dalam hati sembari mengelus dada.
Ina membalikkan badan, lalu duduk mengamati suaminya. Wajah Irham terlihat memelas. Kasihan juga Ina padanya. Ia merayap mendekat dan menempel kembali ke badan Irham.
"Mas?" panggilnya dengan suara takut-takut. "Marah, ya?"
Irham merengkuh Ina ke dalam pelukan. "Enggak. Masa gitu aja marah?"
Ina meringkuk di dalam pelukan Irham, sembari merebahkan kepala di lengan lelaki itu. Diam-diam ada perasaan hangat yang melingkupinya.
Irham mempererat pelukan, lalu mengecup puncak kepala Ina dengan sayang. Agaknya ia memang tidak bisa terburu-buru. "Kalau gini nggak geli?" tanya Irham.
Ina menggeleng.
"Masih mau lanjut?" tanya Irham.
Ina mendongak untuk memandang wajah Irham. "Tapi pelan-pelan, biar nggak geli."
Irham mengangguk. Sebagai lelaki yang sudah pernah menikah, ia malu bila tidak bisa menuntaskan tantangan ini.
"Yuk, lepas baju," ajak Irham sembari bangkit berdiri. Tangannya gesit melepas kaus, kemudian celana pendek dan pakaian dalam. Tubuhnya yang polos segera membuat mata Ina melebar. Ia juga ikut turun dari ranjang dan melepas baju satu demi satu.
Irham mematikan beberapa lampu. Kamar itu menjadi temaram. Kilasan-kilasan cahaya dari layar televisi menerpa tubuh istrinya, membentuk siluet indah. Mau tak mau jantung Irham terpacu.
Dengan gerakan tiba-tiba, Irham menangkap tubuh Ina. Gadis itu memekik kaget saat tubuhnya melayang di udara lalu direbahkan. Ia menurut saja saat Irham menarik selimut menutupi tubuh, lalu merapat padanya. Ia juga pasrah saat Irham memeluk dari belakang. Ada sensasi kuat yang menggetarkan kisi-kisi hati saat kulit Irham menyentuh kulitnya.
Di balik selimut, Irham merasakan tubuh Ina dari belakang. Tangan Irham meraba tubuh sang istri. Terasa sekali perbedaan sensasinya. Dwita dulu padat dan lebih tinggi. Adel—walaupun mereka tidak pernah naik ke ranjang—sudah jelas tampak sintal dan jangkung. Bahkan bila wanita itu mengenakan high heels, ia kalah tinggi.
Ina adalah kebalikan semuanya. Kecil dan rapuh, dengan mudah tenggelam dalam pelukan. Benar-benar serasa memeluk adik kecil.
Namun, berdua di dalam selimut tanpa dibatasi selembar benang pun, ada yang bertumbuh dengan cepat. Hidung Irham tanpa perintah merayap sendiri di tengkuk dan bahu Ina, menyesap aroma manis yang membuat jantung memompa darah ke bawah. Bibirnya mengecup daun telinga Ina dengan lembut, lalu menyapa tengkuk dan bahu. Saat tangannya ikut bergerak, ia sudah lupa tentang adik kecil. Yang ada hanya perempuan ranum yang sudah sah menjadi miliknya.
Lengan Ina yang kecil itu ternyata enak sekali diusap. Tangan Irham memuaskan diri di situ sampai akhirnya bergerak ke depan dengan hati-hati. Ia takut membuat geli lagi.
Ina memejamkan mata. Berada dalam rengkuhan kehangatan asing ini ternyata membuat otaknya melayang. Yang tersisa hanyalah daging yang meronta meminta sesuatu yang ia sendiri tidak paham. Jamahan Irham seperti menariknya masuk ke dalam dunia asing yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Seluruh kulitnya merasakan kehadiran Irham. Bukan hanya merasakan, bahkan menuntut.
Tangan Irham menjamah dadanya. Rasa hangat yang mengelus, meremas, dan memilin itu memicu sengatan aneh. Ada yang bangkit di dalam tubuh Ina karena sengat itu. Sel-selnya tiba-tiba sangat haus dan lapar hingga berteriak nyaring minta dipuaskan. Ada kesadaran lain yang meronta, ingin lepas dari kekangan. Sebuah kerinduan purba yang semula tertidur lelap, kini bangun dan menjadi raksasa. Ina tidak mengerti mengapa badannya menjadi begini.
Tahu Ina tidak melawan, Irham semakin percaya diri. Tangannya bergerilya ke bawah, ke area di antara kedua pangkal paha. Ia senang mendapati Ina menggeliat setelah benda-benda mungil yang tersembunyi itu dijamah jemarinya. Namun, lingganya sendiri telah bereaksi, mengeras dan siap diluncurkan. Irham tidak bisa menahan diri. Ia membuat Ina telentang, lalu bergulir ke atasnya. Wajah mungil itu ia habisi dengan ciuman.
Napas Irham semakin memburu. Tak lama kemudian, desakan di lingganya semakin menuntut, menandakan ia harus melepas calon anak-anak tak lama lagi. Irham membuka kedua paha Ina lebar-lebar, tak peduli istrinya masih terkaget-kaget dengan serbuan itu. Tangannya meraba sebentar, kemudian memasukkan lingganya dengan cepat.
"Aaah!" Tanpa sadar Ina memekik. Daerah kemaluannya tiba-tiba seperti disayat. Nyeri!
Irham kaget. Wajah mengernyit Ina membuatnya sadar bahwa ia tengah menggauli perempuan muda, kecil, belum berpengalaman, dan baru keluar dari rumah sakit. Tiba-tiba saja ia merasa bagai tiran yang menjajah rakyat kecil yang lemah. Atau beruang yang dengan kejam menancapkan taring pada kelinci tak berdaya. Segera dicabutnya lingga. Gesekan mendadak itu ternyata menyebabkan nyeri yang lebih parah. Ina meringis dan mendesis, menahan perih sambil meringkuk.
Irham segera memeluk dan mencium istrinya dengan perasaan galau tidak karuan.
"Maaf, maaf ...."
Sesudah itu, ia kabur ke kamar mandi. Calon anak-anak disemburkan di bawah guyuran shower air hangat. Pelepasan itu menghilangkan tegangan, namun membuat Irham terengah bertumpu dinding sembari menahan impitan rasa sesal di dada. Dulu dengan Dwita tidak begini. Wanita itu memang meringis kesakitan, tapi ia tidak merasa bersalah untuk melanjutkan. Ada apa dengan dirinya dan Ina?
Tahu begini, ia tidak akan menuruti tuntutan ibunya untuk cepat-cepat menikah. Barangkali menunggu Ina setahun atau dua tahun lagi akan lebih baik bagi mereka. Apa daya, semua sudah telanjur.
Dengan langkah gontai, Irham kembali ke kamar. Ia kaget saat tahu Ina terisak-isak di balik selimut. Rasa cemas membuatnya menghambur ke kasur.
"In?" tanyanya sembari membuka selimut. Tubuh kecil itu meringkuk mengenaskan. Di sisi lain, ada bercak darah menodai seprai.
Hati Irham seakan ditusuk. Segera dipeluknya Ina erat-erat. "Aku minta maaf, In. Aku minta maaf ...."
Ina melingkarkan lengan di pinggang Irham dan membenamkan wajah di dada telanjang suaminya. Ia sendiri bingung mengapa menjadi begini.
"Sakit banget?" bisik Irham.
Ina diam saja. Ia tidak tahu menangis karena sakit atau yang lain. Yang jelas, waktu ditinggalkan Irham tadi, ia kehilangan. Entah kehilangan apa. Pokoknya ada yang lenyap. Dan sesuatu yang lenyap dan tidak tuntas itu terasa meruntuhkan dunia, membuat perasaannya carut marut. Ia kesal, marah karena sebab yang tidak jelas. Apa ia sudah gila?
Irham melepas pelukan untuk memasang baju kembali. Tangis Ina yang semula reda kembali keras. Irham semakin merasa bersalah saja. Diambilnya baju yang terlipat di atas nakas, lalu dimintanya Ina berpakaian. Sesudah itu, ia memeluk istrinya sepanjang malam.
☆---Bersambung---☆
Semoga cukup jelas deskripsinya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top