---60. Positif (2)---
Ina menjalani sisa konsultasi, lalu cepat-cepat pulang setelah menebus obat. Sampai di indekos, dibukanya amplop berisi foto USG. Lingkaran hitam di bagian tengah foto ia raba, seolah tengah menyentuh sang anak. Tangan itu kemudian meraba perut. Ia tidak sendiri lagi, tidak sebatang kara lagi! Ada seorang anak, yang adalah darah dagingnya, telah hadir ke dunia ini!
"Hai, Sayang. Ini Ibu. Apa kabarmu di dalam situ?" Air mata bercucuran saat ia mengucapkan sapaan itu.
Rasanya sungguh luar biasa. Yoninya yang kotor diizinkan menjadi tempat bersemayamnya kehidupan baru. Siapakah dirinya hingga diberi kepercayaan sebesar ini?
Kehadiran makhluk mungil itu menjawab seluruh pertanyaan dan gugatannya selama ini. Mengapa ia diberi alat yang berdenyut luar biasa? Mengapa ia harus merasakan dorongan yang menuntut dipuaskan? Untuk apa diberi hasrat seksual?
Ternyata demi hadirnya makhluk mungil inilah semua itu ada. Sang Pemberi Hidup menitipkan kuasa-Nya pada organ yang fana ini untuk menghadirkan kehidupan baru di bumi. Tubuh yang hina telah menjadi alat penciptaan-Nya. Apa lagi yang lebih ajaib dari itu?
Rasa sesal dan malu memenuhi hati Ina. Apa yang sudah ia lakukan pada tubuhnya? Ia bermain-main dan bahkan nyaris merusaknya. Ia menggunakan titipan itu untuk mencari kesenangan semata, bahkan dengan menyakiti suami dan orang tua.
Ia bahkan ikut-ikutan percaya bahwa seks hanyalah proses biologis keseharian seperti makan, minum, dan buang air. Betapa gegabahnya! Buang air tidak menghasilkan manusia baru!
Ina terduduk di lantai, tersungkur memohon ampun. Ia merasa menjadi makhluk durhaka, tidak tahu bersyukur dan malah memprotes karunia-Nya. Mulai saat ini, ia bertekad untuk menjaga diri dan hatinya.
Rasa mual membuat Ina bangkit untuk mengeluarkan isi perut di kamar kecil. Setelah tenang, ia kembali ke ruang tengah dan memakan biskuit untuk mengganti isi perut yang terbuang. Mulai sekarang, ia harus memperhatikan apa saja yang masuk ke mulutnya karena ia makan untuk dua orang.
Ada yang mengganjal dalam benak Ina. Belum sempat berpikir, teleponnya berdering. Anin kembali menghubungi. Perempuan itu meringis lebar sambil menunjukkan stik yang bergaris dua.
"Aku telat seminggu. Terus jadi iniiiiiii!" ucapnya dengan gegap gempita. Sejenak kemudian, senyumnya menguncup. "Eh, itu mata kenapa lagi?"
Ina tidak menjawab, tapi mengambil hasil USG dan menunjukkannya di depan kamera. Anin kontan terpekik-pekik.
"Kamu jugaaaa? Udah berapa minggu?"
"Tujuh."
"Ow, ow, ow, bisa hampir barengan entar lahirannya."
"Iya," jawab Ina dengan wajah datar.
Sahabatnya segera merasakan adanya masalah. "Itu ... anak siapa, In?"
"Sejujurnya, aku nggak tahu."
"Kok enggak tahu? Kamu pas mantap-mantap sama Mas Dika nggak pakai pengaman?"
Ina menggeleng. Melihat itu, Anin kontan memegangi kepala dan mendesah panjang.
"Aku merasa berdosa banget sama kamu, In. Aku yang udah bawa kamu tersesat. Tapi kok ya kamu polos banget sih, Iiiiiinn? Kalau mau apa-apa itu paling enggak cari tahu dulu untung dan ruginya."
"Aku keburu ...," ujar Ina tertahan, "nafsu."
"Aku dan Mas Nicko tahu udah melanggar segala macem aturan, tapi seenggaknya kami masih mikir soal kesehatan. Jadi pengaman itu wajib hukumnya." Anin memukul-mukul dada. "Aku udah salah banget sama kamu, salah banget!"
"Udah, nggak pa-pa. Udah telanjur. Aku yang salah, nggak kritis dan nggak menyaring informasi."
Anin meringis. "Sebenernya aku juga sekacau kamu. Tapi Mas Dika ini juga kenapa, sih? Kayak yang baru pertama kali ngelakuin aja. Harusnya dia tahu jaga diri," gerutu Ani lagi.
"Ma-Mas Dika sering begituan sebelum sama aku?"
"Maaf, In. Mungkin ini bikin kamu kecewa. Aku dan Mas Nicko juga baru tahu setelah ada kasus kamu. Nggak nyangka ya, kirain dia lurus-lurus aja."
"Tahu tuh. Nafsu banget mau dapat anak kali."
"Hilih, pasti bukan itu alasannya!"
"Lalu apa?"
Anin mengangkat bahu. "Kali aja dia nggak suka pakai pengaman, mengurangi kenikmatan hayati. Heheh. Ya udah. Minta dia tanggung jawab, dong?"
Ina menggeleng. "Enggak! Aku nggak mau lagi sama dia. Udah aku usir."
"Laaah? Gimana, sih? Kalau nanti lahiran terus ternyata anak dia gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Ini anak aku. Itu udah jelas."
Anin mengacak rambut, frustrasi. "Terus gimana Mas Ir? Apa dia mau terima anak itu? Kamu apa nggak mikir kalau anak itu perempuan, gimana perasaan dia pas nikah dan nggak punya wali ayah kandung?"
Ina terdiam.
"Udah, gini aja. Kalau Mas Ir tanya, bilang kalau kamu pakai pengaman pas sama Mas Dika."
///////////////////
Berhubung sejak awal tulisan ini menceritakan tentang konflik seksual, tidak akan lengkap rasanya kalau konsekuensi hubungan seksualnya tidak diangkat. Anak adalah hasil nyata aktivitas seksual.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top