---53. Masih Marah (2)---
Ina baru sadar ia sudah lama tidak video call dengan Anin. Kesibukan mencari uang membuatnya melupakan banyak hal. Saat kuliah online pun, ia tidak banyak menyapa teman-temannya. Begitu kuliah selesai, ia langsung logout.
"Hai, Zeyenk, gimana kabarmu?" tanya Anin saat vidcall pagi ini. Gadis itu mengernyit sejenak. "Kok kamarmu kayak beda, ya?"
Ina meringis. "Aku kos."
Mata Anin melebar. "Kenapa kos?"
Ina mendesah. "Kamu belum dengar dari Mas Dika atau Mas Nicko?"
Anin menggeleng. "Enggak ada, tuh. Aku juga sibuk sebulan ini, jadi nggak sempat kabar-kabari sama Mas Dika. Kamu ribut sama Mas Ir?"
Ina mengangguk. "Aku ketangkap basah, Nin. Mas Ir marah banget, lalu aku disuruh kos."
Anin terkaget. "Kalian pisah rumah? Berantemnya parah?"
Ina mengangguk beberapa kali. "Parah banget."
"Kamu ketahuan solo lagi? Ya ampun, In. Masa nggak belajar dari pengalaman, sih? Hati-hati, dong."
Ina menutup wajah dengan kedua tangan dan mulai terisak. "Lebih parah dari solo, Niiin!"
"Hah? Lalu apa?"
"Aku ketangkap basah sama Mas Dika ... di kamarnya."
Anin tercenung sejenak, lalu mengusap wajah dengan tangan. "Kamu sama Mas Dika mantap-mantap?"
Ina mengangguk sambil merintih, "Iya, Nin. Mas Ir marah banget."
"Aku ikutan lemes, tahu In. Kok bisa sih, kamu mantap-mantap sama Mas Dika? Kamu kan udah nikah." Anin menggaruk kepala, lalu menepuk dada. "Aku jadi merasa bersalah. Kali kamu nangkap apa yang aku ceritain mentah-mentah."
Ina tidak menjawab, hanya menggigit bibir.
"Aku minta maaf. Aku yang deketin kamu sama Mas Dika. Aku nggak tahu waktu itu kamu udah nikah. Aku emang sering cerita soal naena dengan Mas Nicko. Tapi aku sama dia kan sama-sama single. Kenapa kamu nggak saring informasinya, sih, In?"
"Aaah, udah deh. Udah telanjur juga," sahut Ina.
Anin mendesah beberapa kali. "Terus sekarang gimana? Mas Ir mau menggugat cerai?"
"Belum tahu. Dia nggak ngomong apa-apa."
"Kamu beneran cinta masa Mas Dika? Kamu pilih mana, cerai lalu jadian sama Mas Dika, atau balik ke Mas Ir?"
"Balik ke Mas Ir-lah! Sama Mas Dika itu aku beneran khilaf, ngawur, kepeleset! Tapi, aku nggak tahu apa Mas Ir masih mau terima aku."
Cukup lama Anin memandang sahabatnya dengan prihatin. "Jangan cerai. Mas Ir pasti masih sayang banget sama kamu. Kalian kan udah kenal dari kecil. Udah, bikin dia yakin kalau kamu bakal setia sama dia."
"Aku ... aku nggak tahu. Mas Ir kan orangnya keras. Kalau udah ada maunya nggak bisa dibelokin," jawab Ina. "Lagian, aku yakin dia jijik banget sama aku. Secara aku udah kotor."
"Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Apa pun itu, kamu harus jalani dengan tabah, ya."
Ina mengangguk. Sesuatu membuatnya merasa aneh. "Kamu di mana, Nin? Itu kayak bukan kamarmu."
Anin mendesah keras. Matanya meredup. "Aku di Jember."
"Di Jember? Di tempat siapa?"
Anin meringis. "Di tempat mertua. Kaget kan kamu?"
Ina ternganga. "Kamu udah nikah? Sama Mas Nicko? Kok dadakan? Katanya nggak mau nikah sebelum lulus kuliah."
"Heheh, kami kepergok juga sama papa dan mamaku. Trus ya udah, langsung dinikahin. Udah sebulan ini aku punya status baru, Nyonya Nicko Jayanegara."
"Lah, kenapa malah ke Jember? Kan enak kalau di Surabaya aja, deket sama kampus. Kamu masih kuliah, kan?"
"Masih, masih kuliah! Ih, najis kalo disuruh DO, aku ogah! Biar harus mati pun aku mesti lulus. Aku nggak mau kelamaan numpang di rumah orang!" Anin berkata dengan menggebu, seperti membuang sampah beban hidup. "Aku kan diusir sama mama dan papaku, udah nggak dianggap anak. Jadi ya, aku terpaksa ikut Mas Nicko."
"Yah, setidaknya kamu nggak kepergok selingkuh," gumam Ina. "Aku parah banget."
"Tapi kamu kan jauh dari mertua, nggak kayak aku. Ya ampun, Iiin, aku nggak dianggap orang di sini. Mamanya Mas Nicko bawaannya udah kayak mau nyaplok aja kalo lihat aku."
"Nggak pa-pa, ah. Nanti juga dia bosen sendiri. Tapi kelebihannya kalian udah sah kan, nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi."
"Yaaa, kalau ini sih serba dadakan. Kacau balau juga rasanya. Ah, udah deh. Udah telanjur, aku jalani aja. Namanya juga konsekuensi."
Ina dan Anin kemudian sama-sama terdiam, merenungkan nasib masing-masing. Ina bahkan terus memikirkan hal itu sepanjang hari.
Seks, nafsu, pernikahan.
Rumit sekali menjadi manusia. Bagaimana kalau semua kerumitan itu dihapus? Tidak ada nafsu, tidak ada seks, dan tentu saja, tidak perlu ada pernikahan suami istri. Untuk apa semua itu diciptakan bila hanya mendatangkan penderitaan?
//////////////////////
Buat Sobat yang nggak sabaran nunggu apdetan, skuy meluncur ke Karya Karsa, KBM, atau Bestory. Udah tamat plus extra-extranya😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top