---52. Menata Hidup---
Irham terus memantau istrinya lewat klon ponsel. Benar dugaan Irham. Dika tidak menepati janji untuk menjauh. Pemuda itu masih mengirim pesan pada Ina melalui nomor yang berbeda. Ina selalu memblokir semua nomor itu.
Melalui pemantauan itu, Irham tahu jadwal Ina keluar rumah. Pergerakannya random. Kadang ke Pasar Atom, kadang ke beberapa kompleks perumahan. Suatu saat ia menemukan penanda ponsel Ina bergerak. Karena penasaran, Irham membuntuti kendaraan Ina dari jauh. Ternyata perempuan kecil itu mengambil barang dari sebuah rumah. Entah barang apa, karena terbungkus plastik hitam. Dari situ ia kembali lagi ke indekos. Sore hari, Ina keluar lagi. Kali dengan keranjang dagangan terikat di sadel sepeda motornya. Perempuan itu lantas menyambangi toko-toko dan meletakkan barangnya di sana. Sepertinya Ina berjualan makanan yang telah dikemas.
Suatu hari, Irham menemukan Ina berdiri di dekat pintu masuk sebuah swalayan kecil, ikut berjajar bersama pedagang kaki lima yang lain. Di atas sadel sepeda motornya, seperti biasa terpasang keranjang dagangan. Namun kali ini, keranjang itu ditempeli tulisan besar-besar.
Makanan sehat, dikemas higienis, bebas Corona.
Makanan yang dijual bermacam jenis. Ada olahan daging, jamur, hingga tahu. Semua dikemas dalam kotak plastik yang mudah dilap. Ina mengenakan masker dan sarung tangan. Setiap kotak yang terjual ia lap dengan alkohol sebelum diserahkan ke pembeli. Orang yang semula takut pada makanan jadi, menjadi percaya diri untuk membeli.
Irham tercenung di balik kemudi. Istrinya berjuang keras untuk menata hidup hingga rela berjualan di trotoar. Ia harus bagaimana?
Mungkin karena khawatir akan kesehatan dan keselamatan Ina, mungkin pula karena rindu, Irham setia mengamati istri kecilnya dari jauh hampir setiap hari. Pekerjaannya juga tetap padat seperti semula, lembur tiada henti. Tambahan kegiatan dan stres karena perpisahan membuat tubuhnya menyusut dengan cepat.
☆☆☆
Sudah sebulan Ina menata hidup. Ia membuka kembali toko online-nya dan mulai kedatangan pesanan. Kamarnya menjadi penuh barang dagangan.
Siang ini, usai kuliah online, ia menyiapkan sepeda motor di teras. Kotak-kotak makanan ia tata di keranjang, di sadel sepeda motor. Barang-barang itu ia bawa ke tempat mangkal di dekat swalayan. Begitu sampai, Ina segera menawarkan dagangan kepada orang yang lewat. Produk andalannya adalah serundeng daging sapi. Resep rahasia keluarga Irham itu dulu sering ia masak saat di Malang.
Tanpa tahu dari mana arah datangnya, Dika tiba-tiba berdiri di depan Ina. "In! Akhirnya aku ketemu kamu juga!" seru lelaki itu.
Ina kaget. "Mas, ngapain ke cari aku? Kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi." Rasa kesalnya semakin besar karena Dika tidak mengenakan masker. Benar-benar tidak bertanggung jawab.
Dika tidak menjawab, malah tersenyum-senyum sambil menjulurkan kepala ke keranjang. "Hm, banyak juga jualan kamu. Aku beli serundeng ini, dong."
Ina tentu saja tidak menolak. Ia segera mengelap dan membungkus serundeng itu, lalu memberikannya kepada Dika. "Lain kali pakai masker kalau pergi-pergi, Mas," tegurnya.
Ina teringat seseorang. Hatinya semakin merana saja. Ada rasa rindu yang tak tersampaikan setiap melihat masker dan menjalankan prokes.
"Iyaaa!" Dika mengeluarkan sejumlah uang. "Nggak usah kembaliannya. Buat kamu aja."
Ina tidak peduli. Ia tetap memberikan uang kembalian. Dika merengut. "Kok kamu dingin, sih?"
"Mas, tolong. Kalau udah nggak ada yang dibeli, silakan pergi," ucap Ina dengan tegas.
"Pulang tu gampang, In. Tapi, kapan kita jalan bareng lagi?"
"Mas! Aku nggak mau ketemu kamu lagi, titik!"
Dika malah mengalihkan topik pembicaraan. "Kenapa kamu jualan lagi? Udah dicerai sama Mas Ir?"
"Bukan urusanmu!"
"Hmm, kalau gitu udah bebas, dong?"
Ina mengangkat tangan. Di balik sarung tangan plastik yang transparan, cincin Irham terlihat melingkar kokoh. "Nih, lihat! Lihat!"
"Oh, kirain. Tapi cerai itu gampang diurus, kok. Gimana, kapan kita jalan?"
"Enggak, Mas Dika! Pergi sana!"
Dika mencengkeram tangan Ina. "Kok kamu jual mahal gini sih sekarang?"
Ina tidak terima. Ia memang pernah jual murah, tapi sekarang ia tidak mau lagi. "Mas Dika, lepasin tanganmu!"
Dika menyunggingkan senyum bibir merahnya. Dulu, Ina mabuk dan berdebar. Sekarang hanya ada rasa bersalah setiap teringat ia pernah mendaratkan ciuman di bibir itu.
"In, kamu makin gemesin kalau marah. Aku cium, ya!" Dika mendekatkan wajah sambil memonyongkan bibir.
Ina emosi maksimal. "Mas! Lepasin atau kupukul!" pekiknya.
Ina mengambil sebuah kotak serundeng dan mengangkatnya ke udara, siap ditimpukkan ke muka Dika. Alih-alih menjauh, pemuda jangkung itu malah berhasil menangkap tangan Ina yang satu lagi.
"Maaas! Lepasiiin!" pekik Ina.
Melihat itu pergulatan kecil itu, Irham segera menjalankan mobil mendekat, lalu berlari menghampiri Ina untuk menolong. Ternyata kejadian itu menarik perhatian orang-orang sekitar. Beberapa lelaki mendekat dan bertanya. Nyali Dika langsung menciut. Saat Irham sampai di tempat istrinya, Dika telah melepaskan Ina dan pergi dari situ.
"Mas Ir?" Mata Ina melebar saat tahu siapa lelaki bermasker dan berjaket denim hitam yang datang mendekat. Mata mereka beradu. Sebulan tanpa komunikasi apa pun, ada pijar rindu yang meletup dan bertukar sejenak. Namun, Irham segera mengalihkan pandangan.
"Aku mau ke sana," ucap Irham datar sembari menunjuk swalayan. Dengan kedua tangan dimasukkan ke saku jaket, ia pergi begitu saja meninggalkan Ina.
Ina kehilangan. Otaknya segera mencari akal untuk memperpanjang pertemuan itu. "Mas Ir!" teriaknya.
Irham berbalik dan berdiri menunggu di kejauhan. Ina mengambil satu kotak serundeng, menyemprotnya dengan alkohol, lalu berlari menjumpai Irham.
"Mas, bawa ini. Ini serundeng daging sapi." Ina menyodorkan kotak makanan kepada Irham. Saat itulah ia baru tahu wajah di balik masker itu lebih tirus dari yang terakhir ia lihat. Matanya pun menjadi cekung. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Irham sempat sakit.
Irham menerima kotak itu, lalu tangannya bergerak merogoh saku celana. Ina segera membuat isyarat untuk menolak.
"Jangan, jangan! Ini free, Mas," ujar Ina, berharap pemberiannya tidak ditolak. Ia lega saat Irham mengangguk.
"Makasih," ucap Irham. "Kamu nggak pulang? Udah mulai gelap."
Ina meringis. "Justru kalau mulai gelap pembeli berdatangan, Mas. Sekarang kan pas jam pulang kantor."
Irham cuma mengangguk kecil, lalu membalikkan badan dan berjalan cepat memasuki halaman swalayan. Ina tetap berdiri di situ, belum rela kehilangan pemandangan punggung suaminya. Andai tidak dipanggil oleh sesama penjual karena ada pembeli yang datang, ia pasti tetap berdiri di situ untuk menunggu Irham keluar dari swalayan.
Beberapa saat kemudian, Ina sibuk melayani pembeli. Saat dagangannya habis, tidak terlihat sosok Irham lagi. Ada rasa kecewa mengapa pertemuan itu begitu singkat. Sambil membereskan keranjang dagangan, benaknya dipenuhi wajah Irham.
Ina melamunkan suaminya sepanjang jalan menuju indekos hingga tanpa terasa perjalanan itu berakhir. Ia membelokkan sepeda motor memasuki halaman dengan perlahan. Matanya segera menangkap sesuatu yang aneh di tempat itu. Jantungnya kram seketika. Ada Pajero hitam bertengger di depan rumah. Ia hafal betul nomor polisinya.
"Mbak Ina!" Rosanti, ibu kos Ina, bergegas turun dari teras untuk menghampiri anak kosnya.
Ina menghentikan sepeda motor.
"Ada suaminya nunggu di belakang."
"Oh, iya Bu?"
Rosanti tersenyum lembut, sambil mengelus lengan Ina. "Bicara yang lembut, ya. Emosi itu jangan dibalas dengan emosi juga."
Seketika air mata Ina menggenang. "I-iya, Bu." Ia menjalankan sepeda motor ke kamar kosnya.
Lampu kamar Ina telah menyala. Hatinya berdebar kencang. Orang yang ia rindukan tengah merokok di teras, mengenakan t-shirt, dan celana pendek. Pasti Irham telah mandi sebelum duduk di situ.
Ina turun dari motor. Ada perasaan haru karena Irham masih mau datang berkunjung. Ada juga seberkas kegelisahan, berita apa yang dibawa Irham kali ini. Mungkinkah keputusan bercerai? Ina merasa tak berdaya. Ia memang tidak layak lagi untuk mendampingi lelaki itu.
Tahu Ina datang, Irham cepat-cepat mematikan rokok. Mata bulat dan wajah mungil yang dibingkai rambut lurus melebihi bahu itu menyentak hati, menimbulkan sengat-sengat rindu. Tapi lagi-lagi, rasa kesal membuatnya membuang pandangan.
Ina segera menghampiri. "Mas Ir udah lama datang?"
"Dari sore tadi."
Ina melirik ember berisi air sabun yang ia tinggalkan di teras. Ember itu disiapkan untuk merendam baju yang ia kenakan pergi. Kata Irham, baju kotor tidak boleh dibawa masuk ke rumah. Ember itu telah terisi baju. Pasti milik Irham.
"Bentar, aku mandi dulu. Mas Ir nunggu aja di dalam," ucap Ina, lalu berjalan cepat ke kamar mandi umum. Ia berdoa semoga Irham belum pergi setelah ia selesai mandi.
Ina tidak perlu khawatir. Saat masuk ke kamar, ia menemukan Irham tengah mengamati barang-barang dagangan.
"Barang apa sebanyak ini?" tanya Irham.
Ina meringis. "Hehe, jualanku, Mas."
Irham yang biasanya menghindari tatapan mata, kini memandang Ina lekat-lekat. "In, apa kamu harus jualan sebanyak ini? Aku udah bilang akan nanggung hidup kamu."
Ina tergetar oleh sorot mata yang dalam itu. Ia menunduk. "Mas Ir bilang aku harus belajar mandiri. Aku pikir aku harus mulai nabung dari sekarang, buat jaga-jaga kalau nanti ...."
Irham mengerutkan kening. "Kalau nanti apa?"
Hati Ina berguguran. Matanya segera mengabur. "Kalau nanti ... misalnya Mas Ir udah mengurus ...."
"Aku mau mengurus apa?"
Ina menggigit bibir. "Mas Ir bukannya mau ... mau mengurus perceraian?" Setelah mengatakan itu, tangis Ina pecah.
☆---Bersambung---☆
Komen please ....
Jangan lupa pencet tombol bintang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top