---51. Suami Bodoh (1)---


Malam pertama tinggal di indekos, Ina tak dapat tidur. Ia kembali sendiri seperti sebelum menikah. Bedanya hanya kondisi kamar. Dulu ia tinggal di ruang berukuran 2,75 x 3 m, hanya ditemani kipas angin. Sekarang kamarnya mirip rumah, lengkap dengan televisi, kamar mandi, dapur mini, kulkas, dan pendingin ruangan.

Ia harus merasakan apa saat ini? Senang karena kehidupan jomlo dan mahasiswanya kembali? Haruskah ia lega karena kini dibebaskan berhubungan dengan Dika?

Sendirian di kasur yang dingin malah mengingatkan Ina pada Irham. Andai waktu bisa diputar balik, ia akan memilih menelan kepahitan karena ketidakpuasan di ranjang. Ia akan menjauh dari Dika dan jujur mengatakan dirinya sudah menikah. Mungkin Dika pun tidak akan berani menyentuhnya.

Ah, Ina merutuki diri, mengapa mempunyai rasa ingin tahu sedemikian besar. Ternyata tidak semua buah pengetahuan itu nikmat. Dua kali pengalaman bersama Dika sudah cukup untuk memahami seperti apa rasanya. Ternyata hanya begitu. Sesaat setelah merasakan puncak orgasme, ia seperti dijatuhkan kembali ke tanah dari bintang-bintang. Mau melambung setinggi apa pun, akhirnya akan kembali ke bumi juga, ke alam nyata. Pantas Irham menganggapnya sebagai masalah sepele.

Sang Pencipta benar-benar iseng. Cobaan-Nya tidak tanggung-tanggung. Manusia dibiarkan mencicipi kenikmatan, lalu diempaskan kembali ke tandusnya kehidupan.

Untuk apa semua itu, ya Pemilik Semesta?

Sudah tahu manusia itu lemah, mengapa Kaucobai juga?

Apakah Engkau sengaja memperbanyak populasi penghuni neraka?

☆☆☆

Pagi pertama di indekos, Ina bangun dan merasakan seluruh tubuhnya pegal-pegal. Kejadian beruntun dua hari kemarin telah menguras energinya, baik lahir maupun batin. Ia termangu di pinggir kasur, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Ada kebiasaan yang hilang, yaitu memasak sarapan untuk Irham. Ina ingin menangis lagi bila mengingat kenangan itu. Namun, air matanya menolak untuk keluar. Mungkin sumbernya telah mengering karena terlalu banyak dikuras.

Ponselnya berdering. Ternyata panggilan video dari Dika. Dengan enggan, Ina menekan tombol hijau. Wajah Dika langsung terpampang di layar. Ina kaget. Wajah yang biasanya mulus itu kini lebam di bagian pipi kiri. Bibirnya juga luka dan membengkak. Mau tak mau Ina iba.

"Mas Dika kenapa?" tanya Ina.

"Ah, cuma luka dikit. Habis latihan silat," jawab Dika sambil berusaha tersenyum.

"Belajar silat? Yang bener aja."

Dika meringis. "Hehe, papaku ngamuk."

"Hah? Mas Dika dipukuli?"

Dika tertawa sumbang. "Tenang, aku udah menyamakan skor, kok."

Ina mengerjap. "Mas Dika balas memukuli papanya?"

Dika kembali tertawa sumbang. Ia malas menceritakan aksi saling hantam dengan ayahnya tempo hari. "Udahlah. Yang penting semua udah tahu. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi."

"Maksud Mas gimana, sih?"

"Ya, kita bisa lanjut tanpa perlu sembunyi lagi. Suamimu udah tahu. Keluargaku juga. Nanti papaku akan datang buat ngomong sama Mas Ir."

Ina bisa menebak arah pembicaraan Dika. "Mau ngomong apa sama Mas Ir? Aku nggak mau!"

"Loh, kenapa enggak? Mas Ir pasti ngamuk, kan? Kamu mau dicerai, kan?"

Ada perasaan tidak senang yang menggelembung di dalam dada Ina. Ia merasa Dika terlalu jauh ikut campur urusan pernikahannya dengan Irham. "Mas, aku cerai atau enggak itu urusan aku dengan Mas Ir. Yang jelas, aku nggak mau kita berhubungan lagi. Kita udah salah. Jangan dilanjutkan lagi, Mas."

"Loh, kok jadi gini, In? Kamu bilang suka aku. Kita juga udah cocok banget di ranjang. Kenapa nggak mau lanjutin hubungan kita?"

Ina menggeleng. "Mas Dika, maaf. Aku udah kasih harapan ke kamu. Tapi beneran, aku nggak mau lanjut sama Mas Dika. Aku udah nikah."

Dika terpaku memandang perempuan yang dicintainya. "Kamu kan nikahnya terpaksa. Kamu nggak cinta dia, kan? Kamu cuma mau membalas budi dan sekarang kamu nggak berani pergi karena merasa bersalah? In, apa kamu mau tersiksa selamanya?"

Ina menggeleng. Ia tidak cinta? Ia cinta walau terlambat menyadarinya. Air mata Ina kembali menggenang. "Mas, aku udah salah sama Mas Dika. Aku udah bohong kalau aku terpaksa nikah. Maaf, Mas."

"Kamu pikir aku bisa percaya, gitu? Aku tahu kamu cinta aku, In. Kalau enggak, kamu nggak akan serahin diri kamu ke aku."

Ina kontan pusing. Rasa malu mendera kembali. "Yang di ranjang itu nggak ada hubungannya sama cinta, Mas. Aku cuma coba-coba, cuma iseng."

Dika terbelalak. "Cuma iseng? Aku sayang beneran sayang kamu! Kamu anggap aku apa?!"


////////////////////

Pilih Dika aja kali, ya? Cocok kan mereka berdua? Gimana, Gaes?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top