---50. Cincin (1)---


Ina mengira mereka akan tidur bersama. Ternyata Irham hanya masuk untuk mengambil istri-istrinya; Joan, Mulan, dan Elektra, lalu keluar lagi. Ina tahu diri. Irham pasti jijik dan tak sudi berdekatan dengan istri yang telah kotor. Ina membenamkan wajah di bantal, menangis tertahan.

Malam itu, Irham tidur di kamar untuk tamu. Mungkin efek persoalan semalam, ia bermimpi buruk dikejar-kejar sundel bolong yang wajahnya mirip Adel. Makhluk mengerikan itu lantas berhasil menangkapnya dan bergoyang di atas perut. Mulut bergigi runcing sosok itu menukik ke leher, lalu mengisap darahnya. Irham pun terbangun dengan tubuh banjir keringat. Ia tidak bisa tidur lagi sampai pagi. Baru setelah menjelang subuh, ia terlena karena kelelahan.

Irham bangun kesiangan. Ia pergi ke dapur untuk mengambil air putih. Matanya tertumbuk pada sosok Ina yang tengah memasak sesuatu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap hari ia menyantap masakan Ina.

Aroma terasi dan petai merebak. Irham kepingin sarapan. Sayang, sekarang ia sedang marah besar. Masa makan berdua dengan Ina? Apa ia tidak punya harga diri? Irham beranjak menuju kamar, berniat meninggalkan Ina makan sendiri.

"Mas, sarapan dulu. Ini lho, serundengnya sudah saya panasi. Nasi gorengnya juga pakai terasi kiriman Bu Kar. Petenya gede-gede." Suara Mak Nah menyeruak di antara gelombang pasang emosi. Hati Irham kontan melemah setelah mendengar rentetan menu menggiurkan itu. Ia menarik kursi, kemudian duduk manis.

Ina meletakkan sepiring nasi goreng di depan Irham. Suaminya terdiam sejenak memandangi isi piring.

"Kamu nggak ngeracuni aku, kan?" tanya Irham dengan muka masam.

Ina terhenyak di kursi. Ia teringat kelakuannya yang dulu. Hanya karena merasa tidak tuntas, ia menyiksa lidah Irham dengan lombok dan merica. Memalukan sekali. Pantas saja Irham menuduhnya berotak syahwat. Matanya mengabur, lalu butiran bening berguguran kembali.

"Ditanya baik-baik malah nangis," gerutu Irham. Tanpa bicara lagi, ia menyuap nasi goreng dan daging serundeng. "Habis ini kamu siap-siap. Aku mau mandi dulu."

"Yo, nangis no, Mas. Nganten anyar kok pisahan suwe. Mbak Ina berapa bulan di Blitarnya?" tanya Mak Nah. ( Ya, nangis, Mas. Pengantin baru kok pisah lama.)

Irham kontan mendelik. "Dari siapa Mak Nah tahu?"

"Bu Kar kemarin telepon, minta saya menyiapkan keperluan Mbak Ina."

"Keperluan apa?"

Mak Nah menunjuk kardus yang berisi toples serundeng, mi instan, bumbu bubuk, dan banyak lagi. "Mbak Ina mau ke pelosok banget, ta?"

Ina tidak menjawab. Ia tidak tahu akan dibuang ke mana. Ia juga tidak tahu apakah masih bisa berjumpa Irham lagi selain di pengadilan.

"Ya udah, tolong semua barang Ina dimasukkan ke mobil," ujar Irham.

☆☆☆

Rumah kos yang dipilih Wulan dan Alfan cukup bagus dan bersih. Ada empat kamar yang terletak di bagian belakang rumah utama. Ibu kosnya adalah pensiunan dosen Unair. Ia dan suaminya membuka indekos hanya untuk mencari teman di masa tua. Anak-anak mereka telah berumah tangga dan tinggal di luar kota. Dua kamar terisi dua dosen muda yang tengah mengambil studi pascasarjana, sedangkan satu lagi ditempati dua mahasiswi kakak beradik.

Kamar Ina luas. Di bagian depan, ada ruang tamu mungil dengan meja kecil dan dua kursi. Di ruang tengah terdapat tempat tidur queen size, dan televisi berlayar 32 inci. Sudah tersedia dapur kecil di bagian belakang. Terasnya dipisahkan oleh dinding dari tetangga sebelah sehingga privasi cukup terjaga.

"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini," kata Irham. "Aku tetap kasih kamu biaya hidup dan biaya kuliah. Tapi cuma sampai kamu lulus. Habis itu, kamu harus bisa cari nafkah buat hidup kamu sendiri. Ngerti?"

Ina mengangguk dan tertunduk. Irham masih mau menanggung biaya hidup dan kuliahnya walau telah dikhianati habis-habisan? Oh, rasa malu Ina menggunung. Betapa kejam ia menyakiti lelaki ini.

"Kamu nggak boleh pindah dari sini sampai lulus. Paham?"

Ina mengangguk lagi.

"Kamu harus bertanggung jawab sama semua tindakanmu mulai sekarang. Aku nggak akan kasih tahu lagi apa yang harus kamu kerjakan, apa yang boleh dan nggak boleh kamu lakukan. Aku anggap kamu udah dewasa, bisa memilih sendiri mana yang bagus. Kalau kamu masih mau kumpul sama teman-teman cabulmu, silakan. Mau gendhakan sama pacar kamu itu, silakan. Tapi kalau ada apa-apa, jangan cari aku!"

Ina tersedu. Irham sudah lepas tangan dan hanya mau memberi uang saja. Walau masih satu kota, ia telah dibuang.

"In! Kamu paham enggak?" sergah Irham.

"Pa-paham, Mas," ucap Ina terbata. "Aku minta maaf."

"Maaf, maaf aja kamu bisanya. Coba mikir dulu sebelum berbuat!"

Ina menggigit bibir, tidak berani membuka mulut lagi. Irham mengerikan kalau telanjur marah. Ia menunduk, lalu meletakkan koper di dekat tempat tidur. Setelah itu, ia kembali ke mobil untuk mengangkut kardus. Ternyata Irham sudah menurunkan kedua benda itu di teras, lalu mengangkat salah satunya ke ruang tamu. Sedang mengamuk pun, Irham masih mau turun tangan membantu. Ina benar-benar merana. Matanya kembali mengabur.

"Nangis aja kamu! Buat apa air mata itu? Semua udah terjadi!" sergah Irham lagi. Ina kontan mematung di tempat.


/////////////////

Masih kezel, ya?

Sabar, ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top