---5. Nikah, Yuk!---




Mendengar dilarang pacaran, Ina manyun. "Masa nunggu sampai lulus, Mas? Apa nggak lebih baik mulai lihat-lihat cowok dari sekarang, mumpung banyak pilihan di kampus?"

Mata Irham semakin melebar. "Nggak boleh!"

"Diiiih! Jangan galak-galak, dong?"

Irham terpaku sejenak. Keheningan itu membuat Ina menunggu dengan galau tingkat dewa. Tidak biasanya Irham bertingkah aneh seperti ini.

"In, aku mau ngomong, tolong kamu pertimbangkan, ya."

Kalimat itu diucapkan dengan nada rendah dan perlahan sehingga jantung Ina tiba-tiba menggelepar gelisah.

"Kamu nanti jangan pulang ke kos," ujar Irham lagi. Setelah memutar otak, tetap saja tidak menemukan kalimat yang tepat untuk diucapkan. Ia bahkan tidak yakin perbendaharaan kata-kata romantisnya sesuai untuk generasi Ina.

"Oh?"

"Nanti pulang dari karantina, kamu langsung ke rumahku, ya."

Tinggal bersama Irham di Jalan Nanas? Memang benar ruko Irham hanya berjarak sekitar 3 km dari Kampus B UNAIR, tempat fakultasnya berada. Namun, bolehkah?

"Nggak pa-pa, Mas? Kita bukan mahram. Nanti nggak enak dilihat orang. Almarhum Bapak dulu juga melarang."

Irham memantapkan hati. "Kamu udah sendiri sekarang. Siapa lagi yang bertanggung jawab sama kamu kalau bukan aku? Kita sekota pula. Ngapain tinggal terpisah?"

Ina masih termangu. Irham segera memanfaatkan kesempatan itu.

"Aku mikir gini, kita sama-sama sendiri. Gimana kalau kita resmikan aja hubungan ini?"

Sekarang Ina merasa dihantam banjir bandang. Syok. "M–maksud Mas?"

"Kita nikah aja habis ini, In. Mau nggak?"

Lidah Ina kaku mendadak. Ia dipinang Irham? Lantas Dika bagaimana?

Ina tetap membisu sehingga membuat Irham kalang kabut sendiri. "Kamu nggak usah jawab sekarang. Kalau nggak mau pun, aku nggak pa-pa."

Ina masih melongo sehingga membuat Irham merana.

"Kamu bebas memilih. Jangan merasa terpaksa kalau kamu memang nggak suka. Dan jangan khawatir soal masa depan. Selamanya kamu itu adikku. Aku tetap akan tanggung jawab sama kamu."

☆☆☆

Kartini benar-benar mengomel sepanjang gerbong kereta Argo Bromo. Bagaimana cara Irham bicara pada Ina hingga gadis itu tidak mau memberi jawaban? Kesabarannya habis. Kalau tidak segera bertindak, bisa-bisa Irham akan tenggelam dalam kesibukan pekerjaan, lalu menduda selamanya. Atau lebih parah, mendapat pasangan aneh yang menyebabkan sakit hati berkepanjangan.

"In, kamu sudah punya pacar?" tanya Kartini pagi itu melalui video call.

Mata Ina membulat. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Kartini. "Belum."

"Sungguh?"

"Iya, Budhe. Ina belum punya pacar. Mas Ir nggak bolehin Ina pacaran. Katanya nunggu setelah selesai kuliah."

Kartini termangu. Jadi itu yang dibicarakan Irham? Melarang pacaran, bukan meminta Ina menjadi istri? Mau tak mau Kartini mengembuskan napas kesal.

"Masmu benar. Pacaran itu latihan untuk berumah tangga. Belajar mengenal calon suami dan latar belakangnya. Belajar menurunkan ego, supaya bisa memahami kepribadian dia. Tapi, jangan lebih dari itu. Jangan kebablasan kayak orang-orang, kumpul kebo, melanggar norma agama." Kartini memulai wejangan moralnya.

"Iya, Budhe. Ina paham."

"Nah, milih pacar jangan sembarangan. Cari yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya. Karena dia nanti akan jadi kepala rumah tangga."

Entah mengapa, angan Ina menampilkan wajah Irham dan Dika. Keduanya sama-sama menarik. Tentang Irham, Ina sudah tahu bagaimana sifatnya. Lelaki itu pekerja keras dan bertanggung jawab. Sedangkan Dika, sepertinya juga bisa dipercaya dan diandalkan.

Kartini rupanya belum selesai bicara. Wejangannya makin panjang. "Laki-laki itu harus bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Pilih yang pintar dan ulet."

Pintar? Setahu Ina, IP Dika pas-pasan. Malah ada beberapa mata kuliah mengulang bersamanya. Mencukupi kebutuhan keluarga? Entahlah. Dika masih menyelesaikan skripsi. Belum jelas kapan selesai karena proposal pun belum disetujui.

"Kalau bisa, cari yang sudah pasti-pasti saja," lanjut Kartini, "yang sudah jelas mata pencahariannya, sudah pasti bisa mencukupi kamu dan anak-anakmu nanti."

Naaah, sekarang wajah Irham tergambar jelas dalam benak Ina. Sangaaaat jelas. Dalam hal wajah, Irham hanya kalah sedikit dari Dika karena faktor usia. Pintar, ulet, dan soal mata pencaharian? Jangan ditanya. Paten. Irham sarjana informatika lulusan ITB. Untuk masuk ke sana saja susah. Kekayaan tujuh turunan tidak perlu diragukan. Saat ini, Irham bisa hidup makmur berkat usaha penjualan komputer.

"Menikah itu bukan cuma buat kalian berdua. Kamu harus kenal dia dan keluarganya." lanjut Kartini.

Mata Ina meredup. Jujur, ia hanya tahu lelaki itu bernama lengkap Dika Mahendra, tinggal di Jalan Teratai dekat GOR Tambaksari, ke mana-mana menggunakan Honda Brio merah, dan usianya dua tahun lebih tua. Selain hobi olah raga badminton, main musik, dan mendaki gunung, Ina tidak tahu apa-apa. Ia bahkan pernah mendengar selentingan kalau Dika itu pacarnya banyak.

"Laki-laki ganteng itu banyak, In, tapi yang baik dan benar-benar sayang sama kita nggak banyak."

"Iya, Budhe," jawab Ina dengan tertunduk lesu. Wajah Dika mengabur perlahan dari angan. Sebaliknya, wajah Irham tergambar jelas. Namun, ia ragu. Irham dan dirinya seperti bumi dan planet di ujung Galaksi Bimasakti jauhnya.

"Masmu udah minta kamu buat nikah apa belum?" tanya Kartini dengan hati-hati.

Wajah Ina memanas. Entah mengapa, ia panas dingin karena pertanyaan itu. "Sudah, Budhe," jawabnya lirih.

"In, Budhe mau tanya, kenapa kamu ragu sama masmu?"

Ina menggigit bibir. "Ina juga nggak tahu, Budhe."

"Kamu sering pulang bareng masmu. Dua jam lebih di jalan, kalian ngobrol apa aja?" Kartini senang saat mendapati Ina tersenyum malu-malu.

"Mmm, macam-macam. Tapi banyakan Ina yang ngoceh, Budhe. Mas Ir, sih, diem aja senyum-senyum. Malah kadang ngomel, katanya Ina ribut melebihi sekandang burung parkit."

"Kalian sama-sama suka, tapi nggak sadar."

Jantung Ina tiba-tiba berlompatan dalam rongga dada saat teringat kebersamaannya dengan Irham. Mau tahu apa yang menyenangkan saat berkendara berdua? Memandangi Irham dari sisi kiri. Irham punya tahi lalat mungil di leher bagian kiri. Tahi lalat itu sering tersingkap saat kerah bajunya melorot. Menggemaskan sekali!

Bukan hanya itu. Tangan kekar Irham yang berpembuluh besar acap kali menyentuh paha atau lengannya secara tak sengaja saat memindahkan persneling. Wangi parfum mahalnya yang khas memenuhi kabin dan menimbulkan sensasi maskulin yang mendebarkan. Ina merasakan tubuhnya bereaksi. Ada yang berdenyut di bawah sana, memeras keluar cairan di daerah intim.

"Tebakan Budhe nggak salah, kan?" telisik Kartini lagi.

Ina tertunduk malu, tak sanggup menatap wajah ibunda Irham. Bukan hanya sekali rasa aneh itu membuncah. Kadang saat malam tiba dan teringat sosok sang kakak, tubuhnya membuat ulah. Otaknya bahkan langsung membayangkan kehadiran lelaki itu.

Masalahnya, bukan hanya dengan Irham Ina berdebar. Mengingat Dika pun tubuhnya bereaksi serupa. Oh, tidak! Ia cabul atau apa?

Sebaliknya, Kartini bersorak-sorai dalam hati melihat wajah polos yang merona merah. "In, kamu tahu, masmu sudah lama sendiri. Sudah lima tahun menduda. Masmu dulu menikah nggak ada bahagia-bahagianya sama sekali. Kasihan. Bercerai itu lebih sakit dari ditinggal mati, In. Masmu sudah lama banget menderita. Dia butuh orang yang bisa mengerti dan mengobati luka hatinya." Kartini mengiba. "Kamu mau nggak jadi teman hidup masmu?"

"Tapi, Budhe, Mas Ir sudah punya Mbak Adel."

Kartini menggeleng. "Mereka sudah putus. Budhe nggak akan minta kamu seperti ini kalau masmu masih punya pacar."

"Ina ... nggak tahu mau bilang apa."

"Kamu sendiri sudah nggak punya orang tua. Pacar belum ada. Masmu juga sendiri. Kalau kalian menikah, Irham bisa melindungi kamu, jadi keluarga baru buat kamu."

"Mas Ir hanya menganggap saya sebagai adik kecil," keluh Ina.

"Kata siapa? Dulu waktu kamu masih kecil mungkin iya. Tapi, setelah kamu kuliah, lalu sering pulang bareng, kayaknya bukan sayang sebagai adik lagi. Masa kamu nggak merasa, In?"

Ina merasa, sangat merasa. Acap kali mata Irham menyiratkan sesuatu yang lain yang membuatnya berdebar. Ia hanya tidak berani memikirkan lebih, takut menyeberangi dunia mereka yang sangat berbeda.

"Ya sudah. Budhe cuma mau bilang itu saja. Budhe nggak memaksa kamu. Kalau kamu nggak mau menerima masmu sebagai suami, Budhe tetep sayang sama kamu. Kamu juga anak Budhe."

"Iya, Budhe."

"Jangan juga merasa sungkan sama Irham. Biarpun kamu milih lelaki lain, Irham tetap akan membiayai kamu sampai selesai kuliah. Itu semua karena Eyang Kakung sudah lama menganggap kamu dan keluargamu sebagai saudara."

Kata-kata terakhir itu menyeruduk dada Ina. Sesak, seperti ditimpa gajah. Riwayat mereka terpampang nyata. Tak terhitung kucuran kebaikan Irham dan keluarganya. Hutang budi yang sudah berumur puluhan tahun itu agaknya harus dibayar saat ini.

☆~Bersambung~☆

Part ini udah mulai nyerempet-nyerempet, ya Genks. Kalau ada yang heran kenapa begini, yuk dicermati lagi bagian prolog.
Yes! Tema cerita ini adalah seksualitas. Ya pasti akan nyerempet ke situ, bahkan nubruk dan nabrak heheh
Dan jangan salah, nggak cuma kaum adam yang punya nafsu. Para perempuan pun nggak kalah menggelora dan gegap gempita loh! Halah lebaaaay 🤣

Yang blom follow akunku, follow dulu, yuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top