---49. Gagal---


Sobat, maafken Fura yang kelupaan klo update terjadwalnya udah habis minggu lalu. Buat yang nungguin Ina-Irham, Fura susulin bab 49 hari ini ya.
Selamat membaca!

🌱🌱🌱

Hanya karena kasih sayang Sang Pemberi Hidup, di detik-detik terakhir Irham dapat menyusupkan mobil di celah sempit itu tepat waktu. Jantungnya berdetak tidak karuan dan napasnya tersengal. Saat mendapati bahu jalan yang cukup lebar, ia segera menepi.

Irham menyandarkan kepala ke belakang untuk mengumpulkan kesadaran. Ia nyaris menjadi perkedel, tergencet dua mobil yang melaju kencang berlawanan arah. Untung ia berhasil lolos. Apakah ia mendapat kesempatan untuk hidup yang lebih baik? Irham ragu. Baginya saat ini, menghadapi kematian lebih mudah daripada menjalani kehidupan.

Menjelang sore, Irham sampai di Malang dengan selamat. Ia tidak menuju rumah Kartini, melainkan langsung menyambangi makam ayahnya di daerah Samaan. Kompleks pekuburan—yang tertata rapi dan tidak terlihat menyeramkan itu—lengang karena saat ini hari kerja. Hanya terlihat satu dua pekerja yang membersihkan rumput liar dan menyapu jalan.

Irham mendatangi sebuah area. Di tempat itu, beberapa anggota keluarganya disemayamkan. Makam kakek dan nenek, adik, kakak, serta ayahnya berada dalam satu lokasi. Di hadapan nisan sang ayah, ia terduduk lemas sambil tercenung. Matanya mengabur. Tak lama kemudian, bulir-bulir bening menerobos pelupuk, berguguran membasahi pipi, dan akhirnya terjun ke tanah.

Irham limbung. Sepanjang hidup ia selalu menuruti apa yang disebut sebagai batasan-batasan antara yang baik dan yang buruk, yang suci dan yang batil. Ia disiplin memilih hal yang benar-benar penting dan membuang semua tetek bengek yang menurutnya sia-sia. Dengan cara hidup seperti itu ia menjaga diri, mengukir prestasi, dan menyenangkan ibunya yang telah lama menjanda.

Keyakinan itu sekarang goyah. Masa depan yang semula tergambar jelas, dalam satu hari diporak-porandakan oleh Ina. Untuk apa hidupnya sekarang? Dengan harga diri berada di kerak bumi, ia terpaksa mengakui bahwa telah gagal menjadi manusia.

Lamunan Irham terpecah saat ponselnya berdering. Hatinya semakin pedih saat tahu sang penelepon. "Iya, Ma?"

"Ir, kamu sakit? Suaramu serak," tanya Kartini.

Irham mengeluh diam-diam. Ia kagum pada ketajaman insting ibunya. "Enggak, cuma kurang tidur."

"Lembur lagi?"

"Iya," jawab Irham datar, berusaha tidak memancing kecurigaan Kartini.

"Jaga kesehatan. Jangan lupa istirahat. Kamu di mana?"

"Di jalan, mau pulang."

"Ina mau ke mana, Ir? Kok nyiapin koper?"

Irham mendengkus. Siapa lagi si tukang mengadu ini? "Dari siapa Mama tahu?"

"Ya tahu. Radar Mama kan tajam. Ina mau ke mana?"

"Mau magang," jawab Irham. Entah mengapa, hati kecilnya tidak rela bila Kartini mengetahui perselingkuhan Ina. Mungkin ia tidak tega akan apa yang bisa sang ibu lakukan pada istri kecil itu. Mungkin pula ia malu, telah gagal dua kali menjaga rumah tangga.

"Magang? Magang apa di zaman Covid gini?"

"Kurang paham. Katanya dia ikut program dari kampus." Lancar sekali Irham mengarang cerita.

"Oh, gitu. Berapa lama? Di mana?"

Irham menggaruk tengkuk. "Tiga bulan. Di Blitar, dekat laut," sahut Irham sembarang saja, pokoknya asal jauh. Gara-gara belum lama ini bepergian ke Blitar, hanya nama kota itu yang tercetus di otak.

"Blitar? Dekat laut? Daerah hutan jati kan itu?"

"Iya, Ma."

"Laaah, katanya di sana susah air. Mau ngapain anak akuntansi di hutan jati?"

"Kurang paham. Mungkin meningkatkan nilai ekonomis hutan jati."

"Ooo, gitu. Sering-sering kamu jenguk, lho. Kasihan dia di pelosok gitu."

"Iya, Ma."

"Siapa yang ngantar ke sana?"

"Ya aku, Ma."

"Mampir Malang dulu dong, Ir. Mama kangen kalian."

"Emmm ...."

"Iya! Mama paham. Covid lagi, kan?" sahut Kartini dengan setengah emosi.

Irham tidak menjawab. Akhirnya Kartini semakin geregetan.

"Nggak jenguk Mama nggak pa-pa. Yang penting kasih Mama kabar baik."

"Ini kabar baik. Aku sama Ina sehat."

"Bukan itu! Mana hasil nikahnya?"

"Maksud Mama anak?"

"Iya, Ir. Kapan kamu kasih Mama cucu?"

"Kok tanya aku, Ma? Tanya Tuhan, dong. Anak kan pemberian Tuhan."

Mulut Irham kebas saat menyebut nama Tuhan. Di mana Tuhan saat ini? Sejak kecil, ia mendengar bahwa menikah adalah ibadah. Ia tidak melihat di mana sisi ibadahnya. Ibadah apa yang isinya perselingkuhan? Jujur, saat ini ia tidak percaya lagi dengan lembaga perkawinan. Daripada menderita, lebih baik tidak menikah saja selamanya.

☆☆☆

Alfan menghubungi. Kedua anak buah Irham itu ternyata bergerak cepat. Mereka mengirimkan foto-foto indekos di sekitar Kampus B Unair yang sesuai dengan kriteria yang diminta. Irham melihat satu demi satu. Ada sebuah yang membuatnya tertarik. Rumah kos itu tidak begitu besar, tapi menyediakan kamar mandi umum di belakang rumah utama. Penghuni yang baru datang dari luar, bisa mandi sebelum masuk ke kamar kos.

"Aku ambil yang mirip rumah kopel, yang cuma ada empat pintu," katanya pada Alfan.

"Tapi yang itu ibu kosnya nggak mau bulanan. Dia minta dibayar setahun sekaligus. Gimana, Mas?"

"Iya, nggak pa-pa. Di tempat Wulan ada uang cash, kan? Tolong dilunasi sekalian."

"Siap! Kalau udah, kuncinya saya kasih ke siapa?"

Irham sempat akan menyebutkan nama Mak Nah. Namun, ia teringat bahwa sang asisten bisa bermulut panjang ke ibunya. "Kasih ke Ina," kata Irham akhirnya. "Oh ya. Jangan ngomong apa-apa soal ini ke orang lain!"

"Siap!"

Pembicaraan itu berakhir. Irham teringat Ina. Bagaimana kondisi istri kecil itu di rumah? Entah mengapa, Irham penasaran. Dibukanya klon ponsel Ina. Ia sedikit lega, ternyata Ina menuruti perintahnya untuk tidak ke mana-mana. Jari Irham bergerak sendiri, memencet kontak istri kecil itu, padahal hatinya tengah muak. Ia sedang kesal, harus ada tempat untuk pelampiasan. Dan saat ini, Ina adalah sasaran empuk yang tidak akan melawan.

"Ya, Mas?" terdengar suara serak Ina.

"Di mana kamu?"

"Di rumah."

"Awas, jangan ke mana-mana!"

"Iya."

"Nanti Alfan mau kasih kunci. Kamu terima aja, nggak usah banyak tanya."

"Iya, Mas."

"Terus, kalau mama tanya, bilang kamu mau magang di Blitar tiga bulan. Ngerti?"

"Iya, ngerti."

Di seberang, Ina tercenung. Ia akan dibuang ke Blitar tiga bulan? Ke tempat siapa? Beginilah nasib pesakitan. Ia harus mau menerima apa pun yang ditimpakan kepadanya tanpa mengeluh.

☆☆☆

Selepas isya, Irham telah memasuki Surabaya lagi. Setelah mampir mengisi perut, ia malas pulang, tapi tidak tahu harus ke mana. Ia berputar-putar di jalanan Surabaya dan malah senang saat terjebak kemacetan. Karena lelah dan mengantuk, menjelang tengah malam Irham pulang. Seperti biasa, setelah mandi dan berganti baju, ia naik ke lantai tiga. Penerangan ruang tengah sudah diganti lampu kecil, namun televisi masih menyala walau suaranya lirih. Di sofa, terlihat Ina tertidur dengan mengenakan blus dan celana panjang, seperti hendak bepergian. Sebuah koper besar teronggok di samping bufet. Di sisinya terdapat dua kardus besar.

Irham termangu. Pemandangan itu terasa menyesakkan dada. Sungguh sebuah pernikahan yang singkat. Mereka bahkan belum sempat berbulan madu.

Ina terbangun saat tahu Irham datang. Dengan mengerjap-ngerjap, ia membereskan rambut yang terserak.

"Ngapain tidur di sini?" tanya Irham, masih dengan nada dingin.

"Aku nunggu Mas Ir."

"Ngapain nunggu aku?"

"Mas Ir tadi suruh aku kemas-kemas. Aku mau disuruh ke mana?" Ina balas bertanya.

Irham mendengkus. "Bukan sekarang, besok! Sana tidur di dalam!" perintah Irham.

Ina ragu untuk beranjak, tapi takut untuk bertanya.

"Loh, kok malah diem? Sana ke kamar!" Irham menunjuk kamar utama dengan gerakan dagu.

Ina bingung. "Aku masih boleh ke situ?" Ina menggigit bibir. Betapa aneh situasi mereka sekarang.

Irham mendesis kesal. "Masuk!" sentaknya.

Irham mendahului Ina membuka pintu kamar. Walau remang-remang, Ina dapat melihat jari manis Irham dengan jelas. Cincin kawinnya sudah tidak melingkar di sana. Hati Ina yang tinggal separuh kini berguguran. Ia tahu inilah akhir perjalanan hidupnya sebagai istri Irham.

☆---Bersambung---☆

Kasih komen buat yang suka dengan cerita ini. Makasih ya 😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top