---46. Adakah Cinta? (1)---
Ina seperti dibangunkan paksa dari tidur lelap dengan disiram seember air es. Gelagapan, sesak napas, kacau balau. Ia dibanting dari awan-awan kenikmatan ke tanah kering, tandus, dan berdebu. Mata nanar Irham dan ekspresi terluka lelaki itu seperti tiupan peluit tepat di telinga, semakin membuat kesadarannya pulih. Lelaki ini suaminya. Dan ia adalah istrinya. Kesadaran ini menyentak Ina.
Saat menikah dengan Irham, ia masih merasa menjadi dirinya yang dulu. Ina yang seorang mahasiswi. Anak yang baru menapaki masa dewasa. Ia ingin melakukan banyak hal, penasaran dengan hal-hal baru yang menantang. Sampai saat berjumpa kembali dengan Dika setelah statusnya berubah menjadi istri pun, ia masih merasa sebagai Ina, si gadis muda yang tengah pendekatan dengan Dika.
Ah, ia bukan gadis lagi. Ina terbangun dari mimpi dan menemukan dirinya telah menjadi pezina. Bagaimana ia akan menghadapi Irham setelah ini?
Mobil mereka berhenti di depan ruko. Kembali ke kediaman tiga lantai itu sekarang terasa lain. Beberapa bulan tinggal di sini, Ina bahkan masih merasa menumpang di rumah kakak angkat. Sekarang ia baru sadar bahwa inilah rumahnya. Tempat ia pulang dan hidup bersama Irham, suaminya.
Ina mencuri pandang ke Irham yang menyuruhnya turun. Lelaki itu mendahului masuk ke ruko. Ia dibiarkan membuntuti. Padahal beberapa saat lalu, tangannya masih digenggam kuat-kuat oleh Irham.
"Kamu mandi duluan," perintah Irham saat mereka sampai di lantai dua.
Ina bisa merasakan betapa dingin suara itu. Ya, ia bisa berharap apa? Irham tidak memukulnya saja sudah sangat bagus. Ia memang berdosa besar pada lelaki ini.
Dalam sejarah keluarganya dan keluarga Irham, tidak ada yang berselingkuh apalagi sampai melakukan hubungan terlarang. Ayahnya seorang guru yang teguh menjaga prinsip kesetiaan. Kakek Irham pun setia pada satu istri walau secara materi sanggup membiayai empat orang. Ayah dan ibu Irham selalu bersama sampai maut memisahkan. Kartini memilih tetap sendiri sampai saat ini. Begitu pula Irham. Menurut penuturan sanak saudara, lelaki itu dulu kerap berganti pacar, tapi tidak pernah mendobel kekasih dalam satu waktu. Ketika menjalani pernikahan yang berat bersama Dwita pun, Irham tidak berpaling ke perempuan lain. Ina merasa menjadi noda dalam keluarga.
Selesai mandi, Irham menyuruh Ina menunggu di kamar. Ina pun naik dan terduduk di kursi dengan lemas. Ia menunggu Irham mengadili dan menentukan nasibnya.
Tempat tidur besar dengan bed cover katun halus bermotif kotak-kotak mengingatkan Ina pada pernikahannya. Ia datang ke sini sebagai gadis suci yang polos. Belum empat bulan berlalu, ia sudah menghancurkan semuanya dengan melanggar rambu-rambu dan menjebol batas.
Ina mengembuskan napas saat teringat bagaimana ia dan Irham tinggal berdua di kasur itu. Hasrat, gairah, hormon, feromon. Ina merutuki tubuh yang telah menyeret dirinya ke dalam kenistaan. Ia masih tidak mengerti mengapa diberi seperangkat alat yang membuat dosa. Yang Mahakuasa benar-benar bermain dengan cobaan. Sialnya, ia terpeleset dan gagal dalam ujian.
Lamunan Ina terhenti saat Irham membuka pintu. Lelaki itu tertegun sejenak. Mata mereka beradu. Pandangan Ina langsung mengabur. Tatapan Irham itu seperti orang yang terluka parah. Ina tidak perlu bertanya bagaimana kondisinya. Ia yang telah menancapkan belati di jantung lelaki itu.
Irham berjalan masuk, lalu duduk di tepi ranjang, tepat di hadapan istrinya. Ina segera menunduk, tak sanggup memandang wajah Irham. Air mata berguguran, membasahi jemari yang bergulat di pangkuan.
"Mas Ir, a-aku u-udah salah," bisik Ina, terbata di sela tangis.
Ada sejuta kata yang ingin menyembur dari mulut Irham. Jangan ditanya apakah ia marah. Ia tidak cuma marah, namun meledak hingga tak berbentuk. Hidupnya kini tinggal puing-puing. Tak ada arti lagi semua keberhasilan perusahaan yang ia capai selama ini. Tak ada guna ekspansi ke luar pulau bila ternyata gagal mengurus istri. Apa yang salah pada dirinya sehingga ia harus menerima aib seperti ini, diselingkuhi hingga dua kali?
"Aku nggak tahu harus ngomong apa," ujar Irham setelah beberapa waktu membisu. Suaranya serak dan berat, seberat beban hidup yang ditimpakan di pundaknya. "Ina yang aku kenal dari kecil itu bukan seperti ini."
Ina merintih. Benar sekali. Beberapa bulan terakhir ini,ia sudah tidak mengenali diri sendiri. Mengapa ia begitu gila menurutiperkataan Anin dan Dika?
////////////////////
Kepinginnya, Irham nggaplok Ina gitu, ya? Tapi setelah Fura pikir-pikir, kok nggak sesuai sama latar belakang Irham yang selama ini dididik dengan baik untuk menjadi pemimpin yang baik.
Jadi, Fura lebih milih Irhan yang tegas, galak, tapi enggak main tangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top