---45. Gundhulmu! (2)---
"DIKAAA!"
Lulu memekik, kaget bercampur marah. Bukan sang ayah yang melakukan perbuatan nista, melainkan adiknya! Pemandangan di ranjang saudara kandung satu-satunya itu membuat dunia Lulu seakan runtuh. Dua orang tengah bergumul tanpa selembar kain pun menutupi tubuh. Wanita ayu berusia 28 tahun itu ingin merajam adiknya, kemudian menyembunyikan malu dengan tenggelam ke perut bumi.
Lulu menghambur ke ranjang. Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, ia menarik lengan sang adik hingga pemuda itu terpisah dari Ina. Dika terbanting di lantai dengan lingga masih mencuat dan berlumuran cairan maskulin. Pipinya langsung dihajar tamparan bertubi oleh Lulu.
"Kenapa kamu ikut-ikutan papa, haaaa?"
Air mata Lulu berhamburan. Ia sudah jengah dengan kelakuan para lelaki di rumahnya. Entah mengapa, hari ini ia terpaksa kembali sebentar ke rumah padahal biasanya tidak pernah. Ada flashdisk berisi dokumen perusahaan yang tertinggal sehingga ia pulang untuk mengambilnya. Tak disangka, justru perbuatan tak senonoh Dika yang ia dapatkan di tempat ini.
"Aku pikir kamu bisa dipercaya. Ternyata begini kelakuanmu kalau sendiri di rumah. Kamu nggak kasihan sama mama, ha? Dika! Jawab aku!"
Dika pasrah. Bibir dan pipi yang telah memerah akibat tamparan tak lagi merasakan nyeri. Rasa kagetnya telah mengalahkan rasa sakit.
Di belakang Lulu, Irham seperti tersengat ribuan lebah. Ia sempat lemas dan tak bisa berpikir menyaksikan istrinya mengerang nyaring dengan Dika memompa di atasnya. Ia sempat melihat wajah mengerut yang sedang menikmati gereget maksimal itu. Sungguh tak masuk akal. Perempuan itu Ina! Ina istri kecil itu!
Irham mendekat ke ranjang. Ina telah menarik selimut menutupi tubuh polosnya dan meringkuk bersandar kepala ranjang. Wajahnya tertunduk dan tidak berani membalas tatapan sang suami. Perempuan mungil itu menggigil dan terisak saat Irham menarik tangannya, mengajak turun dari pembaringan.
Dengan sebelah tangan menggenggam pergelangan tangan Ina, Irham membungkuk untuk mengambil baju-baju istrinya yang berserakan di lantai. Satu demi satu penutup kehormatan sang istri itu dikumpulkan.
Irham seperti tengah memunguti kepingan harga diri yang telanjur pecah, hancur, dan terserak. Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa menyatukannya kembali. Ia bukan suami yang berbangga hati lagi, melainkan lelaki gagal yang mengenaskan.
Gumpalan kain itu lantas diberikan kepada Ina tanpa mengucap sepatah kata pun. Irham terduduk di lemas di kursi tanpa sudi memandang Ina yang berdiri di sampingnya. Ina memakai kembali bajunya sambil sesenggukan keras. Setelah selesai, ia hanya berdiri di samping suaminya sambil menggigil.
Di sisi lain, Lulu menelepon ayah dan ibunya sambil menangis. Sementara itu, Dika juga tengah mengenakan kembali bajunya. Begitu selesai, ia ingin menghampiri Ina, tapi Lulu lebih cepat meneriakinya.
"Duduk kamu di situ!" pekik Lulu sambil menunjuk ranjang.
Dika terpaksa menurut. Padahal ia ingin menarik Ina ke sisinya. Kondisi perempuan itu mengenaskan. Wajahnya pucat dan air mata berleleran di pipi. Dika melayangkan pandangan ke Irham. Lelaki itu duduk dengan wajah mengarah ke sisi lain kamar. Matanya terlihat menerawang karena terlalu syok.
"Mas, aku pasti tanggung jawab," ucap Dika.
Irham menoleh. Tatapan elangnya menghunjam Dika tanpa ampun.
"Tanggung jawab gundhulmu! Mau tanggung jawab gimana?!" sentak Irham.
"A-aku mau nikahin Ina ... kalau Mas Ir udah nggak mau sama dia," jawab Dika lirih. Tatapan Irham membuat nyalinya menciut.
Seribu sumpah serapah nyaris terlontar dari mulut Irham. Entah mengapa yang keluar hanya dengkusan kasar. "Ina bojoku! Nikah opo-o, geblek!" (Ina istriku! Nikah apaan, bodoh!)
Lulu selesai menelepon. Setelah menghapus air mata, wanita yang memiliki mata bulat dan alis tebal seperti milik Dika itu menghampiri Irham.
"Mas, papa dan mamaku udah otw ke sini dari Lumajang. Terus gimana selanjutnya?" tanya Lulu dengan tangan terkepal dan meremas-remas.
Irham tidak segera menjawab. Matanya menangkap plastik klip kecil berisi satu butir pil berwarna putih yang tergeletak di meja Dika. Diambilnya benda itu, diamati sejenak, lalu menoleh ke Dika dengan pandangan menuntut jawaban.
Lulu mendekat. Diambilnya plastik klip itu dari tangan Irham. "Obat apa ini, Dik?" tanyanya dengan nada sengit kepada sang adik.
"I-itu obat perangsang ...."
"Kamuuuuuuu!" pekik Lulu lagi. Sebuah pukulan kembali mendarat di bahu Dika. "Dari mana kamu dapat ekstasi, Dikaaaaa!"
Dika hanya mengangkat bahu. Pukulan Lulu sudah tidak terasa sakit lagi. "Ya, papa kan ahli dalam hal begituan."
Mata Lulu mendelik maksimal. "Papa yang ngajari kamu beginiaaaaaan?"
"Nggak secara langsung, sih. Tapi sesama cowok kan saling memahami," sahut Dika.
Dada Lulu naik turun dengan cepat karena emosi. "Awas kalau kambing bandot tua itu pulang! Aku bejek-bejek beneran!"
"Kamu kasih obat itu ke istriku?" tanya Irham.
Dika mengangguk kecil sambil melirik Ina seperti ingin memberitahu bahwa perempuan itu tidak akan keenakan seperti tadi bila tanpa perangsang.
Irham menoleh ke istrinya. "Kamu minum begituan juga, In?"
Sambil gemetaran karena diamuk Irham, Ina menggeleng.
"Jangan bohong lagi! Kamu ikut minum pil itu? Jawab!"
"En-enggak, enggak, Mas!"
"BOHONG!" bentak Irham, membuat Ina terjingkat dan mulai menangis lagi.
"Jangan dibentak-bentak, terus. Aku yang salah, Mas. Ina nggak tahu kalau obatnya aku masukin ke bubble tea," sahut Dika.
Irham menuding muka Dika. "Kurang ajar! Kamu cekoki apa aja istriku, ha?"
Dika ikut berdiri. Kini dua lelaki itu berhadapan dengan muka tegang. "Istri apa? Kamu maksa dia nikah buat balas budi! Kamu nggak ngerti perasaan dia! Aku nggak bakal celakain Ina, Mas! Kamu yang udah bikin dia nangis terus!"
Irham kontan meradang. Ia tidak terima dituduh sebagai penjahat pernikahan. Tangannya telah terkepal untuk memukul. Namun, Lulu lebih gesit, segera berdiri di antara keduanya. Ia takut juga kalau Irham mengamuk dan melukai sang adik. Biar sebejat apa pun, Dika tetap saudara kandung satu-satunya di dunia ini.
"Sabar, sabar, Mas Irham. Dika! Diam kamu!"
Tangan Irham mengendur. Ia sadar diri, kekuatan fisiknya kalah jauh dari Dika. Kalau benar-benar berkelahi, Dika pasti sanggup membuatnya KO dengan mudah. Diraihnya tangan Ina. Istri kecil itu terjingkat karena ketakutan.
"Mbak Lulu, kami pulang. Urus aja adikmu, jangan sampai ketemu sama istriku lagi."
"Loh, Inanya gimana?" tanya Dika.
Kontan ia dilibas oleh tatapan petir Irham. "Kamu mau apa?"
"Aku dan Ina sama-sama suka. Jadi kalau m—"
"Gundhulmu peyang! Kamu minta dilaporin berzina ke polisi, ha? Kamu juga udah makai obat terlarang. Mau dibui?" (kepalamu peyot; umpatan dalam bahasa Jawa)
Dika lemas mendengar itu. Ia sadar diri juga. Kalau masalah ini berlanjut ke meja hijau, ia sama sekali bukan tandingan Irham. Ayahnya pasti tidak akan mendukung untuk meringankan kasusnya. Lelaki tua itu punya banyak tanggungan perempuan di luar sana. Ibunya? Melihat reaksi Lulu, sesama perempuan pasti bersatu untuk melawannya. Sedangkan Irham berada di pihak korban. Dompetnya juga tebal, tidak akan menderita bila hanya mengeluarkan beberapa puluh juta guna membayar kuasa hukum. Irham pasti bisa memenangkan hukuman berat baginya.
"Mana KTP-mu?!" sentak Irham lagi.
Dika meneguk liur. Dengan meminta KTP, agaknya Irham akan memperpanjang masalah ini.
"Kok diam, Dik? Berani berbuat harus berani tanggung jawab!" Lulu ikut menekan adiknya.
Tak ada pilihan lain bagi Dika selain mengambil tanda pengenal diri itu dari dompet. Irham menyambarnya. Setelah memotret kartu itu, ia melemparnya begitu saja ke badan Dika.
Tanpa berucap lagi, Irham menarik istrinya keluar kamar. Dika hanya bisa memandang punggung perempuan yang dicintai itu menghilang di balik pintu. Ina bahkan tidak menoleh padanya. Ada rasa kehilangan yang menyusup ke kalbu dan menorehkan nyeri.
☆—Bersambung—☆
Sedih nulis adegan part 43, 44, 45 ini ....
Irham harus gimana, ceraikan Ina?
Yuk hibur Irham dengan spam love2 di klom komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top