---43. Bubble Tea(1)---
Lama duduk di tangga, Ina bosan. Apa yang dibicarakan para lelaki itu di bawah? Hampir satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda selesai. Mau istirahat di kamar, ia malas harus mandi keramas. Akhirnya ia meminta Mak Nah yang tengah memasak untuk mengambil ponselnya di kamar. Irham sudah ingkar. Ia tidak terikat janji lagi, bukan?
Setelah perangkat canggih itu berada di tangan, Ina segera mengetik pesan buat Dika.
--------------------
Ina: Tawaran kemarin masih berlaku?
Dini: Masih donk!
Ina: Ya udah. Tunggu di rumah, aku ke situ.
Dini: Jangan. Biar aku aja jemput kamu.
Ina: Jangan, ntar Mas Ir curiga. Kemarin aja dia udah nanya-nanya.
Dini: Yawdah. Aq tunggu.
Ina: Tapi kita cuma ngobrol ya
Dini: Apa pun itu, Madam! Bisa ketemu kamu aja aq udah seneng.
---------------------
Ina pun turun. Saat berada di lantai satu, ia mengendap sejenak mengamati keberadaan sang suami. Irham, Alfan, dan kedua tamu mereka tengah menatap sebuah layar komputer. Sepertinya mereka mendemokan sesuatu. Kebetulan sekali, Ina dapat pergi tanpa kendala. Begitu lolos dari pandangan Irham, Ina melesat cepat ke depan GOR. Dari situ, ia mengambil angkot, lalu berhenti di muara Jalan Teratai. Ia lanjut dengan berjalan kaki menuju kediaman Dika.
"Pagi, In. Kepanasan, ya? Yuk cepet masuk. Mukamu jadi merah-merah," sapa pemuda itu dengan suara basnya yang khas.
Ina membuntuti Dika menuju garasi, lalu ruang tengah. Di meja pendek di depan sofa, telah tersedia dua gelas es bubble tea. Dika mengajak Ina duduk, lalu menyodorkan satu gelas es bubble. "Minum, In. Ntar keburu mencair."
Ina menyedot minuman itu tanpa prasangka. Setelah berlari keluar rumah tadi, ia memang kepanasan.
"Kamu kabur? Kok sampai keringetan gitu?" tanya Dika.
Ina meringis. "Hehe, Mas Ir baru terima tamu. Aku keluar diem-diem."
"Diem-diem? Emang nggak ketahuan pegawai toko?"
"Kalau mereka, mah, biarin aja. Yang penting aku udah bisa keluar tanpa disetop Mas Ir."
Dika terkekeh. "Oooo, penjagamu galak banget, ya."
Ina merengut. Ia tidak rela juga Irham disebut penjaga. "Penjaga? Mas Dika kayak ngomongin anjing aja."
"Ya nggak gitu juga, kali. Kamu aja yang sensi. Gimana, aman kan kita hari ini? Masmu nggak nyariin?" Dika mengangkat-angkat alis dengan jenaka.
"Amaaan! Aku matiin nih, hapeku, biar nggak diganggu telepon Mas Ir." Ina mematikan ponsel, lalu menyeruput es bubble-nya hingga tandas.
"Mau nambah esnya?" tanya Dika.
Ina menggeleng. "Makasih. Udah cukup. Takut pipis terus."
Mereka saling beradu pandang. Dika mengenakan t-shirt berwarna toska dan celana pendek selutut berwarna krem muda. Ia duduk dengan satu kaki ditekuk ke atas sofa. Betis putih berbulu halus yang berotot kencang itu tertangkap mata Ina dengan sangat nyata. Tiba-tiba saja hati Ina berdebar tidak karuan. Bayangan pergumulan mereka beberapa waktu lalu memenuhi benak. Ah, denyutan itu mulai terasa!
"Katanya mau ngobrol, kok malah bengong?" tanya Dika.
Ina menggeleng dan berusaha menepis gambaran-gambaran tak senonoh yang menjajah pikiran. "Enggak. Aku ... aku cuma seneng bisa main ke sini."
"Jujur, aku kangen banget sama kamu, In."
"Oh, sama," jawab Ina tanpa berpikir.
Ina mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang tempat mereka duduk menghadap ke taman mungil di samping rumah. Taman itu biasa saja, hanya dihiasi rumput pendek, palem botol, dan beberapa anggrek yang belum berbunga. Namun di mata Ina saat ini, pemandangan itu terasa indah. Ah, bukan taman saja. Semua yang tertangkap mata terlihat luar biasa. Bahkan gelas bekas bubble pun tampak artistik.
Aneh.
///////////////
Part (2) tayang besok, jam 01.00 WIB.
Fura pakai fitur penjadwalan update, jadinya nggak kasih pengumuman lagi. Pastikan sobat udah masukkan cerita ini ke library biar dapat notif dari WP klo udah ada apdetan baru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top