---42. Ingkar(2)---


Ina masih belum puas dengan jawaban Irham. "Habis, kenapa mama bilang aku sering nangis?"

"Emang bener, kan?"

"Iiiiih! Mas Ir! Kenapa sih, Mas Ir bawaannnya ill feel aja?"

Irham tidak menjawab. Digenggamnya tangan Ina. "Ayo, sini!"

Irham menarik Ina ke depan cermin di kamar. "Tuh, lihat mukamu. Siapa yang ngamuk aja, ill feel terus, aku atau kamu?"

Ina berbalik, hendak memukuli dada Irham. Tangannya terhenti karena ditangkap oleh lelaki itu. Ina kontan mematung di depan suaminya. Ia masih mendambakan bibir hangat itu. Masih mengagumi hidung mancung dan garis rahangnya yang tegas. Masih gemas pada tahi lalat yang saat ini seperti melambai minta dijilat. Namun, ia tahu tak akan mendapat apa-apa dari sang suami. Ia sudah kapok berharap dan kecewa.

Mata Ina yang bulat dan bening membuat dada Irham berdebar. Ada keraguan yang sejenak mengganggu. Istri kecil ini telah berbohong, namun sudah berjanji untuk dapat dipercaya. Mungkin Ina cuma iseng bertemu Dika dan mengobrol karena bosan di rumah. Ia baru ingat, semenjak menikah, ia memang jarang mengobrol lama dengan istrinya. Pekerjaanlah yang menuntutnya selalu fokus dengan komputer.

"In, aku nggak bisa selamanya jagain kamu. Kamu harus bisa jaga diri, ya," pesan Irham. Kali ini ia mengucapkannya dengan nada rendah dan perlahan.

Ina yang semula menyangka akan ada momen romantis, kembali menarik napas dalam. Ternyata Irham mau memberi wejangan. Benar bukan, ia kecewa lagi? Mau menyosor duluan, nanti dibilang berotak syahwat. Mau ditunggu saja, hasratnya tidak dihiraukan. "Maksud Mas Ir?"

"Godaan di luar tuh banyak banget. Video, gambar, website, buku-buku nggak senonoh, semua itu bertebaran di internet. Kamu harus bisa memilah. Jangan semua diambil mentah-mentah," ujar Irham tanpa melepaskan tangan Ina.

"Udah aku hapus," jawab Ina datar. Walau hatinya berdebar keras karena Irham mengelus tangannya dengan lembut, ia memilih mematung saja.

"Hmm, bagus. Lalu soal teman. Kamu harus milih-milih juga. Kita memang nggak boleh sombong, tapi buat berteman, jangan sembarangan. Ka—"

"Emang ada yang salah sama temanku?" tukas Ina.

"Kalau aku ngomong jangan diserobot, dong, In!" Irham berusaha sabar.

"Iya, maaf!"

"Kamu bisa menilai sendiri mereka. Kalau temanmu mulai ngajak kamu berbuat melawan aturan, bikin kamu nggak konsentrasi kuliah, atau bikin kamu berbuat tidak senonoh, mereka bukan teman, tapi musuh dalam selimut. Karena sebenernya mereka udah menjerumuskan kamu ke jalan yang salah."

Ina seperti ditampar. Bila seperti itu, maka Anin, Dika, dan Nicko harus dijauhi karena sudah membuatnya jatuh dalam percabulan.

"Kenapa? Anin sama Dika nggak ngajari kamu aneh-aneh, kan?" pancing Irham.

Ina menarik tangan dengan kasar. "Mas Ir jangan asal nuduh. Mereka orang baik, kok."

Orang baik, tapi udah kasih kamu buku cabul.

"Ya, itu kamu sendiri yang menilai. Pokoknya aku udah kasih nasihat. Jangan sampai kamu langgar kalau nggak mau menyesal di belakang," ucap Irham sambil menatap lekat-lekat.

Ina tidak terima. Ia tahu ia salah, tapi tidak mau dikuliahi seperti anak kecil. "Mas Ir ambil cuti cuma mau jadi dosen dadakan, kuliahi aku? Katanya mau refreshing?" sanggah Ina, dengan mata memutar ke atas.

Irham mengembuskan napas, membuang emosi. Ia harus ekstra sabar buat mendidik Ina. "Ya udah. Kita mau ke mana?"

"Puter-puter naik mobil aja, yuk. Lihat pemandangan," usul Ina.

Irham setuju. Mereka kemudian mengganti baju. Saat akan berangkat, di ujung tangga lantai dua, mereka dicegat oleh Alfan.

"Mas, ada bapak-bapak dari Kutai, Kaltim. Mereka nunggu di bawah."

Irham mengerutkan kening. "Loh, perasaan kita janjian hari Rabu."

"Rabu mereka harus ke Jakarta. Jadi mereka datang sekarang."

Mendengar itu, Ina langsung balik kanan, naik ke lantai tiga. Benar, bukan, dugaannya? Irham pasti ingkar janji.

"In! Tunggu!" panggil Irham. "Kamu mau balik ke atas?"

"Iya. Mas Ir kan ada tamu," jawab Ina dengan wajah dingin.

Alarm Irham berdering. Jangan-jangan Ina bakal mengambek lagi. "In, mereka ini pejabat tinggi dari Kalimantan. Nggak sopan kalau aku tinggal pergi. Aku harus ketemu mereka."

"Iya, Mbak. Yang satu adik bupati. Yang satu suami wakil bupati. Mereka pas lewat di daerah sini, jadi langsung aja mampir." Alfan yang merasakan akan datangnya awan badai, ikut memberi penjelasan.

"Iyaaaa, Maaaas! Emang aku bilang nggak boleh?" gerutu Ina. Ia berbalik kembali.

"Eh! Mandi dulu, ganti baju kalau mau balik ke atas," perintah Irham.

"Loh, aku cuma berapa detik di bawah sini!" protes Ina.

"Nggak ada tawar menawar. Kamu harus mandi," titah Irham.

Ina merengut. "Aku nggak jadi naik. Aku mau nunggu di tangga aja!"

Irham tak ada waktu berdebat dengan Ina. Ia segera turun diikuti Alfan.


/////////////////////////

Ina ngeselin ya
Irham kasihan nggak sih?

Mampir yuk ke Bestory. Di sana udah bab 51. Judulnya: My Little Wife

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top