---35. Rindu (1)---

Pagi hari, pasangan yang masih seumur jagung itu sarapan berdua. Masih dalam mode irit kata-kata. Ina tetap memasak sarapan seperti biasa, namun wajahnya datar. Keceriaan seorang perempuan muda lenyap. Padahal wajah cerah penuh gairah hidup itulah yang dikangeni Irham selama ini.

Ina meletakkan sepiring nasi goreng di depan Irham, lalu duduk di seberangnya. Ia menyuap nasi tanpa bicara. Sekilas diliriknya sang suami. Ternyata Irham tengah mengaduk isi piring, seperti mencari sesuatu.

"Nggak pake lombok!" tukas Ina.

Irham tersenyum tipis. "Oh," ujarnya lirih, lalu menyantap nasinya tanpa bicara.

Ina mengeluh diam-diam. Masa Irham cuma begini setelah ia semprot semalam? Ia masih belum puas melampiaskan kekesalan. Tapi kalau Irham malah diam dan tenang-tenang saja, masa ia mau melempar bom? Nanti dibilang bertingkah seperti anak kecil lagi.

Setelah mengunyah sejenak, Irham mengernyit, lalu buru-buru meneguk air putih. "Kamu kasih apa sih, kok panas rasanya?"

"Merica," sahut Ina ringan tanpa mengalihkan pandangan dari piring. "Mau nggak? Kalau nggak suka, nggak usah dimakan."

Irham menatap istri kecilnya dengan otak buntu. Kalau tidak dimakan alamat bakal diamuk lagi. Akhirnya, sambil menahan rasa panas di lidah, nasi di piring dihabiskan dengan cepat. Setelah itu, ia meneguk kopi untuk menetralkan rasa merica.

Sambil menyeruput kopi, Irham melirik istrinya yang masih mengunyah nasi goreng. Ia ingat masalah kemarin dan merasa harus memastikan sesuatu. "In, sini, aku mau lihat hapemu," ujarnya.

Ina mendongak dengan kedua alis tertaut. "Buat apa lagi?"

"Udah kamu hapus video dan gambar-gambar bokepnya?" tanya Irham santai.

"Udah!" tukas Ina kesal.

"Mana? Aku mau lihat."

Mata Ina melebar sejenak, lalu menyala penuh kekesalan. Biarpun begitu, ia pergi juga ke kamar untuk mengambil ponsel. "Ini!" ujarnya dengan ketus saat menyerahkan benda itu kepada Irham.

Irham membuka pengunci layar. Ternyata Ina tidak mengubah password. Ia agak lega. Itu berarti ada niat baik Ina untuk terbuka padanya. Ia mengembalikan gawai itu setelah merasa tidak menemukan hal-hal aneh. Ina menerimanya dengan merengut.

"Mana punya Mas Ir?" tukas Ina seraya menadahkan tangan, meminta.

Irham agak kaget, namun bisa mengerti. Ia meraih ponsel yang diletakkan di ujung meja, lalu didorongnya ke arah Ina. "Dua dua tiga lima enam delapan." Irham menyebutkan password.

Sejurus kemudian, Ina sibuk menggeser-geser layar. Ia mencari-cari sesuatu yang aneh antara Irham dan Adel. Sayang, ia tidak menemukan apa-apa. Percakapan dengan Adel pun terlihat biasa saja, hanya soal kerjaan. Namun, Ina tidak percaya. Siapa tahu Irham seperti dirinya, menghapus semua jejak digital yang membahayakan?

"Aku nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Adel selain kerjaan," ujar Irham. "Kamu percaya aja."

Ina tidak menjawab. Ia mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya sambil tetap merengut. "Kalau ada juga paling udah Mas hapus," tuduhnya.

"Itu kamu kali," balas Irham. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Dika itu cowoknya Anin?"

Ina kaget. Menyesal juga ia membahas isi ponsel Irham. Kalau begini, malah menjadi bumerang. "Iya. Kenapa emang?"

"Hmm, kalau nggak salah, bukannya dulu dia suka sama kamu?" tanya Irham. Kekagetan Ina tertangkap mata. Ada yang retak perlahan di dalam dada Irham. Mungkinkah dugaannya benar, ada sesuatu yang disembunyikan Ina?

"Kok Mas bisa mikir gitu?" tanya Ina dengan gugup.

"Waktu kamu masih di rumah sakit dulu, kamu pernah bilang kalau ada yang suka sama kamu. Namanya Dika. Aku nggak salah dengar, kan?"

Ina berkeringat dingin. "Itu Mas Dika yang atlet badminton, Mas, bukan Mas Dikanya Anin," sahutnya asal.

"Oh," sahut Irham datar. Sesudah itu, ia mengalihkan perhatian dengan menyeruput kopi. Ia tidak ingin ribut lagi. Lebih baik membiarkan Ina tenang seiring dengan berjalannya waktu. Ia kenal Ina. Sifatnya tidak pernah memendam kemarahan berlama-lama.

Biarpun logika Irham berkata begitu, hatinya mempunyai pendapat sendiri. Instingnya menjadi lebih peka akibat pengalaman dikhianati Dwita. Ia jago dalam software komputer. Sistem operasi Android termasuk varian Linux yang sangat ia kuasai. Apa susahnya menembus isi ponsel Ina diam-diam?

Tak ada lagi pembicaraan setelah itu. Irham segera turun ke toko dan bekerja dengan laptop. Beberapa waktu kemudian, ia tercenung mengamati apa yang terpampang di layar. Seluruh isi ponsel Ina telah berhasil ia kloning. Apa pun yang terjadi di gawai itu, dapat ia pantau dari jarak jauh.

Irham berdebar. Apakah ia sudah keterlaluan meng-hack ponsel istri sendiri? Namun, rasa penasaran lebih merajai logika. Ia berhak tahu apa yang dilakukan istrinya, bukan?

In, please ... jangan kecewakan aku.


//////////////

Nah, nah gimana nih? Komen please ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top