---32. Rengkuhan (1)---

"Niiiiiiinnn!" Ina langsung merangkul Anin begitu gadis itu membuka pintu rumahnya. Setelah mendapat perlakuan kasar Irham tadi, ia cuma terpikir satu orang untuk ditemui, yaitu sahabat senerakanya.

"Hah? In? Kenapa kamu?" Gadis berpostur tinggi langsing dan berkulit sawo matang itu keheranan melihat wajah sembab Ina. Mata sahabatnya itu sampai bengkak, hidungnya mengeluarkan ingus. Ina yang ia kenal adalah gadis ceria dan penuh semangat. Pasti ada masalah berat yang menimpa sehingga kondisi Ina sekacau ini.

Ina tidak menjawab. Ia agak sungkan ketika melihat Nicko muncul dari belakang Anin. Pasti ia sudah mengganggu pasangan itu.

Anin seperti bisa menebak pikiran Ina. "Nggak pa-pa. Nicko kan bukan orang lain. Kamu jangan sungkan." Gadis itu lantas mengajak Ina duduk di sofa ruang tengah. Nicko membawakan air mineral dingin dari lemari es. Ina meneguk air itu sedikit. Lumayan, untuk mendinginkan kerongkongan yang terasa kering dan panas karena letupan emosi.

"In, kamu dari mana?" tanya Anin dengan hati-hati. Ia memberi kode pada Nicko untuk menyingkir. Cowok itu segera pamit pulang, meninggalkan sepasang sahabat itu berdua saja.

"Dari rumah," jawab Ina di tengah isakan.

"Ada masalah di rumah?" tanya Anin lagi. Otaknya berputar keras, mengingat-ingat peristiwa sejak Ina sakit, kehilangan ayah, hingga pindah ke rumah kakak angkatnya. Setahunya, Ina banyak berubah.

Ina tidak segera menjawab. Ia malah menutup wajah dengan kedua tangan dan tangisnya kembali nyaring. Anin terpaksa memeluk sampai tangis Ina reda.

"Kamu kenapa, sih, In?" tanya Anin setelah beberapa waktu ruang tamu itu hanya terisi isakan dan rintihan Ina.

"Aku ... aku ketahuan ...." Ina tidak sanggup melanjutkan kalimat.

"Ketahuan apa, Say? Bilang aja, nggak pa-pa. Rahasiamu dijamin amaaaan sama aku."

Ina termangu sejenak menatap Anin. Ya, cuma cewek ini yang tahu permainan neraka mereka. "A-aku ketahuan main itu ...," ujarnya sembari menggigit bibir.

Kedua alis Anin kontan tertaut. "Itu apaan?"

Wajah Ina memerah. Masa ia harus menjelaskan lagi? "Ih, masa kamu nggak paham, sih? Ituuuuuu, yang kamu ajarin waktu vidcal."

Sekarang mata Anin melebar dan ia terlihat menahan tawa. "Haaaa? Ketahuan sama siapa?"

"Sama Mas Ir," jawab Ina lemah, sembari melengos karena tidak kuat menahan malu yang segunung.

Anin yang semula nyaris terbahak, mendadak kehilangan selera untuk tertawa. Seketika terbayang peristiwa miris yang dialami Ina. "Ka-kamu kepergok Mas Ir? Kok bisa? Kamu ngelakuin di mana?"

"Di kamarku. Mas Ir kan pergi ke Blitar. Katanya baru pulang besok malam. Tahu-tahu sore ini nongol di rumah."

Anin semakin bingung. "Mas Ir ujug-ujug masuk ke kamarmu?"

Ina mengangguk dengan polosnya. Tentu saja otak neraka Anin segera menangkap ada yang tidak beres.

"Kenapa pintu kamarnya nggak kamu kunci, In?"

Ina mengangkat bahu. Ia memang tidak biasa mengunci pintu kamar. Selama ini memang tidak ada alasan untuk mengunci pintu. "Aku cuma kunci pintu yang dekat tangga. Aku pikir udah cukup. Ternyata Mas Ir bawa kunci cadangan, terus aku nggak dengar dia datang."

"Oooo, emang ogeb kamu, tuh!" Anin gelang-gelang kepala. "Emang telinga kamu itu dipasangin apa, sih, kok sampai nggak dengar?"

Wajah Ina semakin memerah saja. Ia ingat berteriak-teriak keenakan, mengikuti suara video yang diputar di ponsel. "Aku pakai headset, sih. Jadi nggak begitu dengar."

"Kamu jejeritan juga, sampai masmu curiga?"

Ina cuma melengos dengan wajah merah padam. "Yaaa, aku kan ikutan kamu. Kamu aja sampai kayak sempritan kuda gitu."

"Tapi aku nggak pernah kepergok, tahu!"

"Kamu enak, di rumah cuma sendiri, pembantu pulang pergi," keluh Ina.

Anin tercenung. Ada hal yang menggelitik hatinya. "Kok bisa sih, Mas Ir masuk ke kamarmu nggak ketuk dulu? Dia biasa masuk sembarangan gitu?"

☘☘☘

Bila suka dengan cerita Ina dan Irham, bisa lanjut di app ijo, KBM App atau Karya Karsa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top