---3. Dihalalin, Dong!---
Ina nyaris pingsan saat mengetahui kepergian sang ayah. Ia ingin berlari ke Malang untuk melihat sosok yang sangat disayang itu, lalu mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Pandemi ternyata sangat kejam memisahkan keluarga-keluarga. Tak terhitung orang tua yang terpaksa kehilangan anak dan sebaliknya.
Ina tidak hanya kehilangan ayah, melainkan juga harapan akan masa depan. Selama ini, biaya sekolah dan biaya hidupnya ditanggung oleh sang ayah. Sekarang, bagaimana ia akan melanjutkan kuliah? Menjual rumah di Malang? Berapa lama itu? Lagi pula bila rumah itu dijual, ia pulang ke mana?
Hatinya semakin kacau saat tengah malam, teman sekamarnya bergerak dan merintih aneh. Ina memberanikan diri mendekat. Saat berada di sisi anak itu, ternyata matanya melirik ke atas hingga terlihat bagian putih saja. Bibirnya memucat. Tangan dan kakinya bergetar keras. Ina menjerit kaget. Ia segera memencet tombol nurse call, pun berteriak di pintu, memanggil pertolongan.
Petugas berbondong datang sambil membawa peralatan. Ina tidak berani melihat apa yang mereka lakukan. Tak lama kemudian, pasien baru itu didorong keluar, sepertinya dipindahkan ke ICU.
Ina gemetar. Kejadian tadi sangat menakutkan. Tanpa bahu untuk bersandar, tanpa dada untuk meratap, berkabung seorang diri di kamar rumah sakit itu menyeramkan.
"Mas Iiiiir!" panggilnya melalui telepon, tidak peduli saat ini tengah malam. Ia sudah berada di batas akhir ketabahan.
"In, kamu kenapa?" sahut Irham dengan suara serak.
Dengan terbata Ina menceritakan kejadian tadi. "Aku takut di sini, Mas," rintihnya.
"Tenang, aku ke tempatmu."
"Emang boleh besuk?"
"Enggak. Aku nungguin kamu di luar gedung. Tunggu, ya."
Beberapa waktu kemudian, Irham menelepon lagi. "Lihat ke jendela, aku di pagar dekat kamarmu."
Dengan masih sesenggukan, Ina berjalan ke jendela. Dari kamar di lantai tiga itu, ia bisa melihat jalan di samping rumah sakit.
"Ini aku. Kelihatan nggak?" tanya Irham.
Ina melihat lelaki itu berdiri di dekat pagar besi rumah sakit, tengah melambai. Cahaya lampu jalan membiaskan senyumnya. Hati Ina menghangat. "Mas Ir ...." Tangis Ina pecah lagi, tapi kali ini senyum tipis terulas di bibirnya.
"Udah nangisnya. Cepet tidur. Ntar kambuh sakitmu kalau kurang tidur," ucap Irham.
Seperti anak kecil, Ina menurut dan kembali ke kasur, lalu berusaha tidur. Mungkin karena tahu ditunggui Irham di luar, ia akhirnya terlelap.
☆☆☆
Keesokan hari, makanan kiriman Irham datang seperti biasa. Lelaki itu pun menyempatkan diri menghubungi Ina melalui video call. "Rujak cingurnya udah dimakan?" tanya Irham siang itu.
Sejak ayahnya meninggal, lelaki itu berkali-kali menghubungi Ina. Entah berapa kali sehari. Rasanya setiap Ina mulai menangis, panggilan itu datang. Irham seperti bisa merasakan kepedihan hatinya.
Ina menggenggam ponsel sambil meringkuk di kasur. Benda kecil itu dipegang dengan kedua tangan, seolah ia tengah mencari pegangan pada Irham sendiri.
"In?" desak Irham. "Udahan nangisnya. Ayo cepetan makan."
"Bentar lagi, Mas. Lidahku masih pahit," bisiknya dengan suara parau.
"Pahit itu karena kamu kurang makan dan kurang minum. Ayo, kamu harus bertahan demi Bapak."
Hati Ina seperti dicabuti secuil demi secuil. "Mas Ir, aku nggak kuat sendirian begini. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada Bapak."
"Hus! Jangan ngomong begitu. Kamu masih punya aku dan Mama. Kamu anggap kami orang lain? Kamu itu adikku!"
Ada rasa sungkan dalam hati Ina. Sejak lama, ayahnya mengajarkan jangan memanfaatkan kebaikan orang terus. Ia harus bisa mandiri mengurus diri sendiri. Keluarga Irham sudah sangat baik menyekolahkan sang ayah. Jangan lagi disusahkan dengan kehidupan mereka yang kurang beruntung. Ya, ayahnya terpaksa terseok-seok melunasi hutang untuk pengobatan almarhum ibunya. Bertahun-tahun setelah wanita itu tiada, bebannya masih terasa. Barangkali karena tidak memiliki harta itulah, sang ayah tidak menikah lagi.
"Jangan bingung soal sekolah dan biaya hidup setelah ini. Aku akan membiayai kamu sampai lulus," hibur Irham. "Sekarang tugasmu adalah memenuhi keinginan Bapak. Cepat sembuh, lalu selesaikan kuliah."
Sambil masih sesenggukan, Ina mengangguk. "Makasih, Mas."
☆☆☆
Selain Irham, ada beberapa teman Ina yang setia menghibur. Salah satunya adalah Anindita. Gadis itu yang pertama kali dihubungi Ina setelah mendengar kabar duka.
"Kamu pasti kuat, In. Aku doain dari sini."
"Makasih."
"Udah jangan sedih. Ada yang nanyain kamu terus, loh."
"Siapa?" Biarpun memasang wajah sok bego, Ina tahu siapa yang dimaksud.
Anin kontan mencibir. "Iiiih! Nggak tahu apa sok cuek awakmu, In?" (kamu - bahasa Jawa dialek Jawa Timur)
Walau habis menangis, mulut Ina masih bisa meringis. Sudah lama mereka memperhatikan kakak kelas yang jago badminton, Dika Mahendra. Selama sakit, pemuda itu beberapa kali menghubungi lewat video call, telepon, atau sekadar mengirim pesan teks.
"Mas Dika titip salam. Katanya mau titip kue juga, khusus buat kamu."
"Emang dia bilang gitu?"
Anin mengangguk keras. "Kenapa mukamu, In? Kalau cungar-cungir gitu jangan-jangan Mas Dika udah nembak kamu."
"Gaaaak! Ngarang ae kon!" [Mengarang aja kamu]
"Cieeeee! Ada yang bakal jadian bentar lagi!"
Mau tak mau wajah Ina memanas. Dika adalah sasaran pandang paling indah di klub badminton kampus. Mahasiswa semester delapan itu tinggi dan atletis. Jangan lewatkan kulitnya yang putih, hidung mancung, dan bibir merah yang seksi. Oh, cewek-cewek kampus meneteskan liur tanpa sadar saat menonton Dika bertanding.
Tak lama kemudian, orang yang baru saja dibicarakan menghubungi. Wajah rupawan bermata bulat dan berbulu mata lentik terpampang di layar ponsel Ina. Gayanya yang energik membuat Ina rindu lapangan badminton.
"In, aku turut berduka cita, ya," ujar Dika.
"Makasih, Mas."
"Kapan boleh pulang?"
"Belum tahu."
"Kasih tahu kalau udah boleh keluar. Nanti aku jemput."
Hati Ina melambung. Ternyata Dika perhatian. Sayang, ia takut Irham marah karena Irhamlah yang paling berhak menjemput.
"Jangan, Mas. Aku dijemput kakakku."
"Kamu pulang ke kos?"
"Iya. Penginnya, sih, ke Malang. Tapi kayaknya nggak bisa."
"In, aku nanti boleh main ke kosmu?"
Rasa sedih Ina terobati seketika. "Boleh, tapi pakai masker dan jaga jarak. Aku nggak mau ketularan lagi."
"Asyiap Bosku!"
☆☆☆
Beberapa hari terakhir, Irham mondar-mandir Surabaya-Malang untuk mengurus pemakaman Arifin, ayah Ina. Sejak kecil, lelaki itu seperti menjadi pengganti sosok kakak. Usia mereka hanya terpaut dua belas tahun sehingga Arifin menjadi panutan bagi Irham.
"Ir, Mama barusan vidcall sama Ina," ujar Kartini, ibunda Irham, melalui video call. "Dia udah nggak demam, tapi nangis terus. Kamu udah kontak dia?"
"Udah."
"Sering-sering ditelepon. Mama khawatir banget. Kata orang, penyakit bisa parah kalau stres."
"Kita doain aja, Ma. Mau gimana lagi?"
Terdengar decak dan dengkusan dari seberang. "Ir, tolong kamu lebih perhatian sama Ina. Nasibnya begitu amat. Udah nggak punya ibu dari kecil, nggak punya saudara, sekarang malah bapaknya dipundhut Gusti." [dipanggil Tuhan]
Suara Kartini terasa sendu. Mungkin ia tidak hanya mengomentari kehidupan Ina, namun juga kehidupannya sendiri. Begitu banyak kehilangan dalam keluarganya. Kakak sulung Irham meninggal beberapa hari setelah merayakan ulang tahun kedua akibat penyakit jantung bawaan. Adik Irham, anak perempuan satu-satunya, meninggal karena kecelakaan di pabrik kompor saat masih SD. Irham bahkan kehilangan ayah ketika ia baru saja mengenyam bangku kuliah.
Irham mengangguk. "Udah, kok, Ma. Aku sering telepon."
"Kamu nggak bisa jenguk sebentar, nemenin dia?"
Irham menggeleng. "Nggak boleh, Ma."
Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat. Kemudian, Kartini menatap putranya lekat-lekat. "Ir, kapan kamu melamar Adel?"
Irham kontan melengos. "Males."
Mata Kartini melebar. "Loooh, kok males? Umurmu berapa coba? Sampai kapan begini, Iiiiir? Cepetan dihalalin!"
"Udah putus, Ma."
Kartini ternganga. "Kurang apa, sih, Adel? Cantik, tinggi, bodi kayak gitar, pintar bergaul. Udah punya anak pula, jadi kamu nggak perlu kuatir dia mandul kayak Dwit—"
"Ma!" potong Irham, kesal karena masa lalu diungkit-ungkit. "Aku sama Dwita pisah bukan karena itu!"
"Halaaaah! Mau karena apa pun, nyatanya kalian cerai. Kamu itu harus introspeksi diri, Ir, kenapa hubungan kalian hancur. Kamu udah salah milih perempuan."
Irham mengatupkan rahang erat. Kalau dilawan, ibunya bisa menjadi-jadi. Diam lebih baik, karena perempuan itu akan bosan bicara, lalu mereda sendiri.
"Mama cariin jodoh, mau nggak?"
"Terserah Mama," sahut Irham datar. Bila dilawan, kembali lagi, omelan Kartini akan sepanjang gerbong kereta Argo Bromo.
"Nanti kalau udah keluar karantina, Ina tinggal di mana?" tanya sang ibu, membuat Irham heran karena tiba-tiba berganti topik.
"Balik ke kos-kosannya. Kenapa?"
Kartini tersenyum penuh arti. "Jangan dibiarkan kos, Ir. Dia udah sebatang kara, loh."
"Terus usul Mama?"
"Ajak tinggal di rumahmu aja. Lantai tiga rukomu kan ada kamar lebih."
"Yah, nggak enak dong, Ma. Aku single, dia single, masa serumah? Nggak pantas dilihat orang. Dulu waktu Ina mulai kuliah, aku udah nawarin gitu. Tapi Om Arifin nggak mau. Katanya kurang pantas. Masa seka—"
"Ya dihalalin, Irham!" Kartini memotong dengan cepat.
"Ap-apa?" Irham tergagap.
★---Bersambung---★
Ina mau nggak, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top