---27. Jodoh Rahasia---
Ina terdiam sejenak. Mulutnya terasa kering saat akan mengucapkan kata pernikahan. Mungkin napas setan sudah memenuhi paru-paru sehingga yang terlontar adalah, "Aku udah dijodohin keluargaku sama seseorang, Mas."
Ina menggigit bibir. Ia tidak berbohong, bukan? Dirinya memang dijodohkan oleh keluarga dengan Irham. Tidak mengungkap semua fakta itu bukan berdusta.
"Kamu dijodohin? Sama siapa? Zaman gini masih ada perjodohan?" Dika terdengar kecewa.
"Ya, gara-gara situasi dan kondisi, Mas. Mereka pikir karena aku udah yatim piatu, sebaiknya ada kepastian siapa yang akan menjaga aku nantinya."
"Gitu?" Untuk sejenak, tak ada kata-kata keluar dari mulut Dika. Ia tahu benar Ina memiliki perasaan padanya. "Kamu mau aja, In?"
Ina juga terdiam sejenak. "Ah, aku masih pikir-pikir, kok. Aku mau lulus kuliah dulu."
"Bener. Jangan mau nikah cepet-cepet, nanti hilang kesenangan masa mudamu."
Ina menggigit bibir. Dika benar. Ia kehilangan banyak hal setelah menikah. Bukan itu saja, ia dipaksa mengalami banyak kerumitan padahal secara mental belum siap.
"Enggak, kok. Aku masih seneng main-main." Ina berusaha tertawa untuk menutupi hati yang galau.
"Siapa cowok itu, In?"
"Ada, deh. Buat apa Mas Dika mau tahu?"
Tanpa menghiraukan jawaban Ina, Dika melanjutkan cecaran, "Kamu suka sama dia? Orang mana? Udah kerja apa masih kuliah?"
Ina terbayang Irham. Apakah ia suka pada lelaki itu? Jujur, bila tidak ada rasa suka, ia lebih baik melarikan diri dan hidup terlunta-lunta daripada dipaksa menikah. Akan tetapi, rasa suka saja tidak cukup untuk menghasilkan pernikahan yang membahagiakan. "Enggak tahu, belum kenal," jawab Ina. Kali ini ia sadar benar telah berdusta. "Kenapa Mas Dika kepo banget?"
Dika terkekeh sumbang. Perasaannya sangat tidak enak. Belum-belum ia merasa kehilangan Ina. "Jangan-jangan Mas Ir, ya?" tebaknya.
Ina bagai tersengat lebah saking kagetnya. "Ah, bu-bukaaaan! Kenapa mikir kalau orang itu Mas Ir?"
"Ya, siapa tahu aja, kan? Dia duda dan udah dekat banget sama kamu. Terus sekarang kalian serumah."
"Enggak! Mas Ir udah punya cewek, kok," kilah Ina dengan galau. "Aku tinggal di sini karena nggak enak minta kos padahal di sini ada kamar kosong. Terus karena udah dibiayain, rasanya aku harus bantu-bantu Mas Ir. Paling nggak beresin pekerjaan rumah."
"Hehehe, jangan marah. Aku cuma bercanda kok. Iya, aku tahu Mas Ir udah punya cewek. Yang gandengan di restoran itu, kan?"
Ina kembali menggigit bibir. Kali ini bukan bibir yang terasa pedih akibat gigitan, melainkan jantungnya. "Iya. Namanya Mbak Adel."
"Masmu pinter cari pacar. Mbak Adel emang cantik banget. Tinggi, pinggul kayak gitar, bibir sensual, hidung mancung, mata belok. Wuih, cewek itu mewah banget!"
Ina kontan meraba hidung, bibir, dan matanya. Semua miliknya hanya remah roti dibandingkan Adel. Ia ingin menangis di tempat, namun takut Dika curiga. "Kok segitunya sih muji cewek? Jangan-jangan kamu juga demen. Baru lihat sekali aja udah hafal banget fisiknya."
"Yah, gimana nggak hafal? Orangnya ada di depan mata."
"Hah? Mbak Adel di sekitar sini?"
"Iya. Tuh, barusan turun dari mobil." Dika memberi tanda dengan telunjuk.
Ina mengikuti arah jari Dika dengan sedikit melongok ke bawah. Benar, di seberang ruko terparkir mobil kecil berwarna abu-abu tua. Ia hafal mobil itu milik Adel. Sayang, ia tidak melihat wanita itu. Jangan-jangan Adel sudah masuk ke ruko.
"Mas Dika bisa lihat nggak, Mbak Adelnya ke mana?" tanya Ina.
"Udah masuk ke toko. Masmu ada, kan? Aku lihat mobilnya di luar."
Ina kembali melongok ke bawah. Benar, Pajero Sport hitam milik Irham terparkir di depan ruko. Ia yakin, mereka bertemu lagi. Rasanya dalam dua minggu terakhir, Adel bolak-balik datang. Ina tahu karena Mak Nah kerap diminta membuatkan minuman. Namun, Irham tidak bicara apa-apa soal kedatangan Adel. Tiba-tiba ia ingin mengecek sesuatu.
"Mas Dika, aku tutup dulu teleponnya, tapi jangan ke mana-mana, ya?" pinta Ina. Ia segera menghambur masuk, lalu menuruni tangga dengan langkah perlahan. Di ujung anak tangga lantai dua, ia mendengar percakapan lelaki dan perempuan. Ia telah mengenal Adel selama setahun, sehingga hafal benar suara siapa itu. Dengan hati-hati, Ina mengendap ke pintu dan mencuri pandang ke dalam.
Lantai dua ruko telah disekat sedemikian rupa sehingga ada ruang kecil yang biasa digunakan sebagai tempat bekerja Irham dan pegawainya, terpisah dari gudang barang. Ina mengintip melalui pintu yang tidak tertutup. Di dalam ruang itu, tampak Irham tengah duduk menghadap laptop. Benda itu belum pernah dilihat Ina karena ia mengenal dengan baik Elektra, Mulan, dan Joan. Kemungkinan besar komputer jinjing itu kepunyaan Adel.
Bukan masalah laptop yang membuat Ina kaget, melainkan posisi kedua orang itu. Adel tengah berdiri di samping Irham, membungkuk dengan wajah menatap layar. Posisinya bersebelahan dan sangat dekat dengan suaminya.
Ina kesal. Ternyata begini kelakuan Adel bila datang? Pantas wanita itu rajin menyambangi suaminya. Pantas pula Irham tidak selera padanya. Ternyata ada yang lebih hot, wanita mewah berbibir seksi dan berpinggul gitar. Kaki Ina bergerak sendiri, segera menderap turun ke lantai satu, lalu langsung menyeberang jalan dan memasuki Taman Mundu. Dika menyambutnya dengan senyum merah merekah.
"Loh, kenapa mukamu ketekuk-tekuk gitu?" Dika keheranan menemukan bibir manyun Ina.
"Kesel!" lapor Ina. Bicara dengan Dika ternyata bisa membuat emosi turun dengan cepat. Tadi ia nyaris menangis. Sekarang saat menemukan binar mata yang cerah itu, rasa pilunya menguap begitu saja.
"Kesel sama siapa?"
"Tuh, orang yang lagi pacaran!"
Dika terkekeh. "Kenapa kesel? Kesel itu tanda tak mampu, loh. Makanya terima aku, dong?" pinta Dika, langsung tancap gas karena mendapat angin.
"Mas Dika!" protes Ina, namun ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. "Aku udah punya jodoh!"
"Yang adalah ...?" Sorot mata Dika menancap lurus-lurus ke Ina, membuat perempuan itu kelimpungan.
Ina melengos. Ia menjadi serba salah. Maksud hati ingin berlama-lama dengan Dika, tapi otaknya terus memikirkan Irham dan Adel. "Tauk, ah! Udah, deh. Aku balik lagi!" Ina berlari kembali ke ruko, meninggalkan Dika yang memanggil-manggil dengan frustrasi.
☆☆☆
"Kenapa lagi laptopnya, Del?" tanya Irham saat wanita itu menyambanginya di kantor lantai dua. Biasanya selalu ada pegawai yang berada di ruang itu. Malang sekali, sore ini Bimo sedang mengirim proposal. Alfan dan Roy tengah di ruang sebelah, merakit hardware. Wulan, bagian keuangan yang sehari-hari mendekam di ruang itu, tengah pergi membayar pajak. Adel pun tahu-tahu muncul di ambang pintu tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Terpaksa ia hanya berdua saja dengan wanita itu.
"Nggak tahu barang ini diapain sama anaknya Pak Bos. Pas dinyalain muncul layar biru sama tulisan 'Hard disk not detected, please install one.' Apa tuh maksudnya?"
Irham memeriksa bodi laptop itu. Ia menemukan penyok kecil di salah satu sudut. "Pernah jatuh atau kepentok?" tanyanya. Dicobanya menyalakan dan memang hanya layar biru yang terpampang. Ia mengetik beberapa perintah untuk mendeteksi keberadaan hard disk.
Adel cuma mengedikkan bahu. "Tadinya udah dibawa ke servis di dekat kampusnya anak Pak Bos, tapi katanya harus ganti hard disk. Karena nggak yakin, dia minta aku bawa ke kamu."
Irham sekilas menangkap bayangan Ina berjalan di depan pintu. Alarm tanda bahayanya langsung berdering. Gawat kalau Ina cemburu. Bisa-bisa ia makan sayur lengkap dengan sebakul lombok. Cepat-cepat ditutupnya laptop tersebut, lalu ia bawa keluar ruang. "Kita ke bawah aja. Alatnya di sana semua," kilahnya.
Adel kecewa. Kalau ke bawah, artinya mereka akan berada di ruang umum. Ia tidak bisa lagi mepet-mepet seperti tadi. Mau tak mau ia membuntuti Irham menuruni tangga.
Bila mengingat perjalanan hubungan mereka, Adel merasa konyol sekali. Mengapa ia keburu emosi dan mengancam putus? Ia belum pernah gagal menggunakan mode merajuk itu untuk mengendalikan lelaki. Ternyata Irham berbeda dari yang lain. Ia tidak memperhitungkan bahwa lelaki itu tidak mempan diancam.
"Aku sayang kamu, Del. Tapi kamu jaga sikap, dong. Udah berapa kali kamu pergi berduaan sama orang lain. Aku jadi mikir yang enggak-enggak," protes Irham sebelum mereka putus dulu.
"Kamu cemburu? Enak nggak digantung gitu? Aku cuma butuh ketegasan. Kamu sebenarnya serius sama aku apa enggak?"
Ia masih ingat, Irham hanya memandang dengan ekspresi datar. Ia semakin yakin, Irham tidak serius. Memang benar, dulu ia yang mengajak lelaki itu berkencan. Tapi setelah setahun, masa belum ada kepastian ke mana hubungan mereka akan dilanjutkan?
"Aku belum bisa jawab. Jangan maksa," jawab Irham santai.
"Ya udah. Kalau kamu emang ragu, buat apa kita buang-buang waktu? Kita selesai sampai di sini aja," tantang Adel. Ia berharap Irham menyadari perasaannya dan betapa berharganya hubungan mereka. Ternyata ia keliru besar.
Irham hanya menatap dalam diam beberapa saat, lalu menjawab dengan enteng. "Oke. Kita selesai."
Ternyata dua bulan kemudian, ia menemukan Irham menggandeng tangan Ina dan menyebut anak kecil itu istrinya.
☆---Bersambung---☆
Dukung Ina dan Irham yuk dengan pencet tanda bintang di bawah ini 👇
Makasih sebelumnya.
😊😊😊
Cerita ini akan up di WP sampai tamat. Tapi buat yang nggak sabar tunggu apdetan, langsng cuuus aja ke KBM atau Karya Karsa. Di sana udah tamat.
Buat pengguna Karya Karsa, ada paket murah meriah.
Cukup dengan Rp25.900,- Sobat dapat membaca Love You Still sampai tamat.
Tunggu apa lagi, yuk cuuuus ke sana!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top