---26. Jarak Jauh---
Sudah seminggu Ina mengalami siklus bulanan. Selama itu pula ia tidak berani minta dipeluk-peluk oleh Irham. Lelaki itu juga tidak terlihat punya keinginan untuk nguyel-uyel Ina. Saat jam buka toko, Irham sibuk dengan proyek-proyeknya. Memang tidak salah juga. Barang satu kontainer itu sangat banyak. Bila harus di-setting satu per satu, pasti membutuhkan waktu lama.
Ina berharap setelah selesai di bawah, Irham tidak lagi mengurus pekerjaan. Ternyata setelah naik ke lantai tiga pun, Irham tetap bergumul dengan 'istri-istrinya' di kamar sebelah. Ina sampai sakit hati pada Diana, Elektra, Mulan, dan Joan. Semalaman mereka dimanjakan oleh sentuhan jemari Irham. Ia kebagian apa? Dengkuran dan liur di bantal?
Ternyata kesibukan Irham terus berlanjut. Setelah barang satu kontainer diantar ke pembeli, Ina mengira kesibukan akan mereda dan Irham menjadi lebih santai. Harapan itu langsung hangus seperti kertas terbakar saat kontainer berikutnya datang. Seminggu lagi berlalu tanpa terjadi apa-apa di kamar mereka.
Untung ada internet berbayar mahal yang cepat. Irham memasangnya untuk kepentingan pekerjaan. Ina bisa streaming bermacam-macam konten. Dari tutorial memasak, kerajinan tangan rajutan, hingga ... yah hal-hal yang tidak boleh dibicarakan.
Salah satu yang membuat hatinya terhibur adalah video call dengan Anin, Nicko, dan Dika. Dika belakangan semakin intens menghubungi. Baik lewat chatting, panggilan suara, maupun video call.
Sore ini sebenarnya cerah sekali. Ina baru selesai mengetik tugas. Ia termangu sejenak di kursi sambil memandangi ranjang yang masih rapi. Gara-gara ilmu neraka Anin, ia sekarang sering mengeksekusi diri sendiri. Sebenarnya ada penyesalan setiap selesai melakukannya. Namun, bagaimana lagi? Otaknya suwak kalau denyutan itu tidak dipuaskan. Yang membuat kesal, Anin kerap memamerkan berbagai gaya bercinta. Bagaimana otak Ina tidak semakin korsleting?
"Kamu nggak malu apa Nin, cerita nyablak gitu?" tanya Ina sore ini.
Teman yang ditegur hanya menyeringai setan. "Eeeeh, ini tuh banyak di buku-buku. Kamu coba browsing, deh. Ilmiah, kok. Ada gambar-gambarnya juga."
"Setaaaan! Ngomong liyane ae, po-o?" [Ngomong yang lain aja, napa?]
Anin hanya cengar-cengir tidak jelas. "Kamu gimana sama Mas Dika? Udah sampai apa? Ciuman udah. Yang lain udah belum?"
Ina kontan teringat telepon-telepon mesra mereka selama dua minggu ini. Walau ia belum mau menjawab permintaan Dika soal menjadi pacar, tapi sudah jelas kalau percakapan mereka menjurus ke arah sana.
"Kenapa sih kamu kelamaan amat jawabnya? Kasihan tuh anak orang digantung terus," protes Anin. Senyum syaitonnya kembali merebak. "Ntar kalau udah jadian, kita tandem, yuk."
"Maksudnya apa, ya?"
"Double date, In! Seru, loh!"
Ina mencibir. "Kalau nge-date ngapain ngajakin kamu? Berisik pasti!"
Anin meringis semakin lebar. "Hiiiiih! Anak haram neraka yang mau taubat, gini ya. Kamu tuh nggak kepingin naik kelas apa? Masa mau solo ajaaaa terus?"
Mata Ina terbelalak. Dalam bayangannya kini, wajah Anin benar-benar mengeluarkan taring dan tanduk neraka. Lama-lama temannya itu semakin mengerikan. Kalau diteruskan, ia takut terseret-seret dalam bujukannya. "Udah ah, Nin! Aku dipanggil Mas Ir tuh, disuruh bantuin di kamar sebelah!" ujarnya, berbohong untuk menghindari ajaran sesat Anin.
Ina menyudahi video call dengan Anin, lalu termangu di kasur. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk.
Dini is calling ....
"Halo, In," suara Dika menyapa dari seberang. Ia sangat menyukai nadanya yang ramah dan penuh gairah. Dika pintar melucu dan bisa mengoceh berjam-jam. Ia tidak pernah bosan teleponan dengan cowok itu.
"Mas Dika baru ngapain?" balas Ina. Ia sedang berpikir bagaimana membujuk Dika agar mengubah foto profilnya. Masa Dini berwajah cowok ganteng? Terus terang, saat ponselnya berdering dan diambil oleh Irham dulu, jantungnya nyaris copot.
"Tebak, aku baru ngapain?" tanya Dika dengan genit.
"Ih, kok main teka-teki, sih? Baru telepon sama aku yang jelas, kan?"
"Pinter! Tebak, aku di mana sekarang?"
Wajah Ina memerah. "Jangan bilang di hatiku lagi, Mas!"
Dika terbahak. "Kamu masih ingat, ya. Tapi sekarang aku tanya beneran, kok. Coba tebak aku di mana?"
"Mmmm, di mana, yaaaaa?" Gaya manja Ina keluar. Kalau sudah begini, ia lupa statusnya sebagai istri.
"Coba kamu keluar ke balkon, deh," pinta Dika.
"Ngapain?"
"Kasih tahu nggak, ya?"
"Maaa-aaas!" rajuk Ina. "Ngomong yang jelas aja kenapa, sih?"
"Iiiii-iiiin!" balas Dika menirukan pekikan Ina. "Aku emang suka yang serba nggak jelas, In. Yang kacau-kacau gitu tuh asyik, tahu."
"Apa asyiknya?" balas Ina.
"Mmm, aku suka denger suara jeritan kacaumu itu." Sesudah itu, terdengar suara terbahak yang cukup lama. "Udah, deh. Daripada penasaran, mending cepetan keluar."
Ina segera turun dari ranjang, lalu berlari kecil ke balkon. Ia berdiri di dekat pagar sambil masih memegang telepon di telinga. "Aku udah di balkon, nih. Terus ngapain?"
"Hmm, kamu pakai baby doll kuning yang ada gambar chibi-chibi gede di bagian depan. Bener nggak?"
"Mas kok tahu, sih?" Ina langsung celingukan, memindai seantero Taman Mundu yang tepat berada di depan ruko. Sosok Dika akhirnya ditemukan. Cowok itu meloncat-loncat sambil melambaikan tangan di dekat sebuah mainan ayunan.
Jantung Ina kontan berloncatan dan memantul-mantul di dalam rongga dada. Sudah lama ia hanya memandangi wajah Dika di layar ponsel. Saat melihatnya secara nyata, rasanya sungguh mendebarkan. Dika terlihat ganteng. Ia memakai sepatu olah raga dan celana pendek. Kaus tanpa lengan berwarna hitam yang ia kenakan membuat kulit kuning terangnya semakin kontras. Biarpun dari kejauhan, bibir merah cowok itu tetap kelihatan. Ina segera membalas lambaian.
"In, ke sini, dong?" pinta Dika. Sekarang mata mereka bisa saling pandang secara langsung, sedangkan suara diantarkan melalui telepon.
Sebenarnya Ina ingin segera turun dan menghampiri Dika. Tapi ia takut ketahuan Irham. Suaminya itu tengah berada di bawah. Pasti kepergiannya akan terlihat oleh lelaki itu atau salah satu pegawai toko. "Aku nggak dibolehin keluar-keluar sama Mas Ir."
"Ah, masmu itu galak banget, sih?"
"Habis, aku kan udah pernah kena Covid. Kalau sampai kena kedua kali, aku bisa digiling sama keluarga besarnya Mas Ir!"
"Ah, iya. Almarhum papamu juga korban. Aku paham, sih. Pasti keluargamu trauma banget, makanya kamu dijagain ketat."
"Aku juga masih trauma, Mas," jawab Ina.
"Ya udah, kita ngobrol begini aja. Kamu di balkon, aku di taman. Kan bisa lihat muka tapi nggak deketan."
Senyum Ina merebak. Ia yakin, Dika bisa melihat senyumnya. Nyaman juga memiliki seseorang seperti ini. Biarpun jarak memisahkan, namun getaran itu tetap datang bagai gelombang tsunami.
"In, kamu belum jawab pertanyaanku dulu." Suara Dika terdengar rendah. Dari jauh terlihat ia duduk di bawah pohon sambil menatap ke balkon.
"Pertanyaan yang mana?" Ina pura-pura tidak ingat, padahal siang malam ia memikirkannya.
"Soal jadi ... cewekku," balas Dika pelan. "Gimana, In?"
Ina menelan liur diam-diam. Sudah dua minggu ia mengulur waktu. Suatu saat ia pasti harus menjawab. Namun mengapa hatinya tidak rela statusnya sebagai istri Irham terungkap? Ia juga belum rela bila wajah tampan dan suara simpati Dika menghilang dari hidupnya.
"Mas, aku mau bilang jujur, tapi Mas Dika jangan marah, ya?"
"Mau bilang apa? Terus terang aja. Aku nggak pa-pa, kok."
"Gini, sebenarnya aku udah ...." Ina tak jadi melanjutkan kalimat. Ia benar-benar tidak rela mengakui pernikahannya. Di kejauhan sana, terlihat Dika menegakkan tubuh sembari menatap dirinya lurus-lurus.
"Kamu sudah apa, In?"
☆---Bersambung---☆
Dika seger banget, ya, mukanya. Ina bakalan jujur nggak, ya?
Sesuai jadwal, up berikutnya hari Kamis. Tapi kalau banyak yang kasih spam di kolom komen, aku up tambahan besok.
Mau?
Yuk, spam 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top