---25. Jeritan Hati---
☘☘☘
Waktu berlalu dengan cepat bagi Irham. Kesibukan akibat mengurus barang satu kontainer memaksa ia dan karyawannya lembur berhari-hari untuk setting perangkat dan instalasi. Akibatnya, fokusnya banyak tercurah pada pekerjaan dan pemenuhan target. Saat berjumpa Ina di ranjang, malam telah tinggi dan istrinya itu telah terlelap.
Setelah seminggu, akhirnya kesibukan itu mereda juga. Irham kembali teringat pada kewajiban untuk menyenangkan istri. Sore itu, ia sengaja naik lebih cepat. Maksudnya ingin nguyel-uyel istri kecilnya. Setelah mandi dan keramas di lantai satu, ia naik ke lantai tiga dengan baju bersih dan badan wangi.
Lantai tiga rukonya terasa sepi. Mak Nah tengah menyeterika di kamarnya di lantai dua. Irham langsung ke kamar. Ia kembali heran karena pintunya terkunci.
"Iiiiin? Ngapain kunci pintu?" panggilnya sembari mengetuk. Ia harus menunggu beberapa saat sampai Ina membukanya. "Kenapa, sih, kamu sekarang seneng kunci pintu?"
Ina menggeleng. Mana mungkin ia jujur tengah mengeksekusi diri sendiri? "Aku tadi tidur siang. Nggak enak aja kalau nggak dikunci. Soalnya takut ada orang nyelonong naik diem-diem," kilah Ina.
Irham terdiam sejenak. Benar juga, pikirnya. Bisa saja ada pencuri masuk karena tidak ada pintu setelah tangga naik. "Apa perlu kita pasang pintu di dekat tangga?"
"Oh, iya Mas. Itu lebih aman," sahut Ina.
Irham masuk, kemudian merebahkan badan di kasur. "Kamu bener. Ntar kalau kita punya anak kecil, pasti perlu pintu tuh, biar dia nggak main-main di tangga. Bahaya."
Wajah Ina memanas. Anak kecil .... Kapan ia bisa memiliki anak kalau mereka jarang-jarang kumpul?
Irham menoleh pada istrinya yang masih termangu di dekat pintu. "Kok masih berdiri di situ? Sini!" Ditepuknya kasur untuk memberi isyarat agar Ina rebah di sisinya.
Ina menurut, lalu merayap naik ke ranjang. Tubuhnya segera diraih Irham dan dibenamkan dalam pelukan. "Kayaknya udah lama kita nggak bikin anak, ya?"
Ina mencibir. "Mas Ir kan sibuk."
"Kok kamu nggak manja-manja lagi? Biasanya minta terus."
"Mas Ir bilang aku cuma mikirin gituan!" protes Ina.
Ia tidak mempermasalahkan hal itu sekarang. Bila keinginan aneh datang mendesak dan meledak-ledak tak tertahan, toh ia tahu cara memuaskan diri. Ia bisa hidup sejahtera dengan cara itu.
Apa gunanya punya lelaki di ranjang? Alih-alih membuat nyaman, hatinya malah galau tidak karuan karena tidak tuntas.
"Loh, masih salah paham? Maksudku, masih banyak aktivitas yang lebih berguna yang bisa kamu lakukan. Masak, belajar, atau baca-baca buku misalnya."
"Oh, jadi gituannya itu nggak guna, Mas? Kok tadi ngomongin anak?" bantah Ina.
Irham menjadi gemas. Dipencetnya hidung Ina. "Hih! Bikin geregetan. Dikasih tahu membantah aja." Detik berikutnya ia mengunci bibir Ina dengan kecupan.
Ina membalas. Sudah seminggu ia merindukan kedekatan ini. Biarpun permainan solo itu asyik, bibir asli tetap lebih dahsyat dari bibir khayalan. Irham juga merasakan yang sama. Ia merangsek ke tubuh istrinya. Mereka saling membelit dan tangan Irham mulai menyusup ke balik baju Ina.
"Mmm, Mas?" Ina menarik kepala ke belakang.
"Hmm?"
"Aku baru datang bulan," bisik Ina.
Irham mendengkus sembari melepaskan rengkuhan. "Nasib!" Ia bergulir ke samping, lalu terkekeh kecil.
Ina tidak mau ditinggalkan sendiri saat mulai memanas. Ia merayap naik ke tubuh Irham. Tangannya mulai beraksi, mengelus sana-sini. Lelaki itu bukannya senang, malah menahan tangan Ina.
"Kamu mau ngapain?" tanyanya.
Ina mengerjap dan mulai was-was. Jangan-jangan ia akan ditegur lagi. "Mau elus-elus Mas Ir," jawabnya dengan suara serak.
"Kamu kan baru datang bulan. Buat apa elus-elus? Ntar penyelesaiannya gimana? Masa dibuang di kamar mandi?"
Ina cuma bisa melongo. Ia memang tahu kalau perempuan yang sedang menstruasi itu tidak boleh digauli. Tapi masa cuma mengelus saja tidak boleh? "Tapi aku cuma mau gini!" Tangan Ina merayap di tubuh Irham. Bibirnya juga mendarat di wajah sang suami.
Irham cepat-cepat menarik Ina ke samping agar turun dari tubuhnya. Ia lalu menindih Ina agar tidak naik lagi. "Udah, jangan kamu yang ngelus-elus. Biar aku aja. Tapi nanti yaaaa, kalau udah bersih."
Ina tidak tahan. Tangannya tetap bergerilya ke leher dan kepala Irham. Di satu titik, mata mereka beradu pandang. Ina menemukan sorot asing di dalamnya. Apakah itu cetusan rasa iba Irham? Mengapa ia merasa sebagai perempuan kehausan yang kalap? Apakah dirinya semenyedihkan itu hingga perlu dikasihani?
"Kalau gitu aku mau masak buat makan malam aja," tukas Ina sambil membebaskan diri dari tindihan.
Tanpa memedulikan Irham yang memanggil-manggil, ia kabur ke dapur dan menyibukkan diri di sana. Tangannya mengambil apa saja yang bisa diraih dengan cepat. Sawi putih, lombok besar, serta tomat ia keluarkan dari kulkas, lalu diletakkan di meja dapur. Padahal ia tidak tahu akan dimasak apa bahan-bahan itu. Baru mulai memilah daun sawi, tahu-tahu lengannya basah oleh titik-titik air mata.
Ina cepat-cepat menyeka mata dengan punggung tangan. Tangis kali ini pun tidak jelas karena apa. Cuma ada rasa campur aduk yang menggunduk di ulu hati. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Ia pura-pura tidak mendengar.
"Mau masak apa?" tanya Irham.
Ina menggeleng. "Mas Ir mau dimasakin apa?" tanya Ina tanpa menoleh.
"Nasi goreng pakai bawang bombai dan ayam."
Ina mengangguk, masih memunggungi suaminya. Sejenak tak ada suara keluar dari keduanya. Irham sendiri hanya termangu memandangi punggung Ina. Ia tahu istrinya kesal, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
"Aku ambilin ayamnya?" Irham menawarkan bantuan sebagai gencatan senjata.
Ina mengangguk. "Yang kotaknya warna hijau," ujar Ina.
"Oke." Irham berlalu ke kulkas di dekat meja makan.
Kali ini Ina menoleh, menyaksikan punggung suaminya menjauh. Irham tidak jahat, pun tidak kejam. Bahkan sejak mengenalnya saat kecil dulu, lelaki itu tidak pernah main tangan atau membentak. Sama sekali tidak. Tapi mengapa ia merasa tersakiti? Jangan-jangan memang dirinya yang kelainan.
"Yang ini?" Irham sudah kembali ke hadapan Ina dengan sebuah kotak makanan.
"Iya," sahut Ina sambil menerima kotak plastik tersebut.
"Dibantuin apa lagi?" tanya Irham.
"Enggak ada. Aku bisa sendiri. Kan cuma masak nasi goreng dua porsi."
"Oh, gitu?"
Ina mengangguk. "Mas Ir nunggu aja di kamar, sambil main sama Diana atau Joan."
Irham terbahak. "Aku kayak punya selingkuhan, ya. Oke, aku ke sebelah." Ia mengira Ina sudah tidak marah karena sudah bisa bercanda. Ia tidak tahu sang istri sebenarnya menyindir. Andai hati punya pengeras suara, pasti Irham bisa mendengar jeritan jiwa Ina yang minta dipeluk dan di-uyel-uyel.
Irham membalikkan badan dan meninggalkan Ina sendiri. Ina pun larut dalam pekerjaan memasak. Baru beberapa saat, Irham kembali lagi. Kali ini dengan langkah cepat dan diiringi dering telepon. Ina hafal dering itu.
Mas Dika?
"In, ada telepon dari Dini," ucap Irham sambil menyerahkan ponsel yang masih meraung-raung itu. "Kok fotonya cowok, sih?"
Ina menyambar ponsel itu dari tangan Irham, lalu menjauh ke ruang tengah.
"Halo? Ada apa?" tanyanya sambil melirik Irham diam-diam. Ia sedikit lega karena suaminya kembali ke kamar tanpa terlihat curiga.
"In, baru ngapain? Aku nggak ganggu?"
"Emm, baru masak, sih," sahut Ina.
"Oh, repot, ya? Ya udah, aku telepon lagi nanti. Tapi kamu udah nggak marah, kan?"
"Ih, aku kan udah bilang enggak marah."
"Syukurlaaaah! Kapan-kapan makan bakso beranak lagi, yuk?"
Hati Ina berdebar. "Boleh. Tapi jangan dadakan, ya."
"Oke. Mmm, In, makasih ya udah mau temenan sama aku lagi."
"Iya."
"Kalau kamu udah nggak sibuk, vidcall, yuk. Aku kepingin ngobrol banyak sama kamu."
Ina menggigit bibir. Ia harus menolak atau membiarkan saja?
Mungkin karena Ina diam saja, Dika melanjutkan, "Ya udah. Aku tutup teleponnya. Tapi sebenernya ada yang mau aku bilang sama kamu."
"Apa?"
"Aku sayang kamu, In."
☆---Bersambung---☆
Komen, yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top