---24. Terbawa Mimpi---

Ina gelagapan saat membuka pintu dan ditatap Irham lurus-lurus. Rasanya seperti maling yang tertangkap basah, antara malu dan takut. Alhasil ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah berdiri sambil memegang daun pintu, mengawasi Irham yang melangkah memasuki kamar.

"Kamu marah soal tadi?" tanya Irham sembari mengamati istri kecilnya. "Kok keringetan? Kamu habis ngapain?"

Ina menggeleng. "Habis senam," jawabnya asal sebut.

Irham tersenyum tipis, lalu berjalan ke arah meja. Ina yang masih setengah melayang akibat permainan online tadi, tetap terpaku memegangi daun pintu. Melihat sosok Irham, dadanya masih berdebaran tidak karuan. Ingin rasanya memeluk dari belakang, merebahkan wajah di punggung, lalu mengelus perut lelaki itu. Tahi lalat imut yang terlihat saat Irham melintas semakin membuat Ina galau. Namun, perkataan Irham tadi menahan tangan dan kakinya tetap di tempat. Ia takut dituduh cabul lagi.

Irham mendekati meja, berniat mengambil Mulan dan Elektra. Dari sudut mata, ia melihat Ina masih berdiri di dekat pintu. Kedua laptop kesayangan itu terpaksa diletakkan kembali.

"Loh, ngapain berdiri di situ?" tanya Irham.

Ina bingung. Mengapa pula ia mematung di sini? Jangan-jangan darahnya mengalir semua ke selangkangan sehingga otaknya tidak punya daya untuk bekerja.

Kebingungan juga menjalar ke Irham. Mengapa istrinya bertingkah aneh? Jangan-jangan perkataannya tadi terlalu keras. Ina yang biasanya langsung melengket, sekarang seperti menjaga jarak. "Kamu kenapa, sih?"

Ina kembali menggeleng, lalu pergi ke kamar mandi. Irham termangu sendiri di kamar. Niat hati hendak melanjutkan pemrograman pun batal. Nalurinya menangkap ada yang tidak beres. Akhirnya, ia duduk menunggu Ina di tepi kasur sambil mengingat-ingat kejadian tadi.

Sebuah benda yang tergeletak di lantai tertangkap mata Irham. Seketika ia mengernyit. Benda itu adalah celana dalam Ina yang jatuh. Ia mengambil benda itu, lalu memasukkannya ke keranjang baju kotor di dekat pintu kamar mandi. "In, kamu senam nggak pakai celana dalam?" serunya.

"Apa?" Ina yang tengah mencuci selangkangan kaget bagai disengat lebah. Ia baru ingat tadi terburu-buru memasang celana piyama sampai celana dalamnya tidak sempat dipakai.

"CD kamu jatuh di lantai!" seru Irham lagi.

Di kamar mandi, Ina menggigit bibir sembari memejamkan mata. "Oh, itu udah kotor!" jawabnya kemudian. Ia menggigil sendiri, panik tidak karuan. Agaknya, ia harus segera memblokir Anin. Jangan sampai ada lagi ilmu-ilmu neraka yang dibawanya.

Beberapa waktu kemudian, Ina keluar. Melihat Irham menunggu di kasur, ia semakin resah. Apakah ini hanya perasaannya saja? Tatapan Irham seperti menusuk. Dengan hati kacau, ia mendekat. "Mas ngapain duduk di situ?" tanyanya dengan suara serak.

"Nggak ngapa-ngapain. Kamu kenapa jadi pendiam?"

Ina tidak menjawab. Ia berjalan melintasi Irham, lalu naik ke ranjang dan menutupi badan dengan selimut. Irham mengikuti arah gerakan istrinya dengan keheranan. Ina yang seperti ini malah mengkhawatirkan. Ia lebih senang diberi bibir manyun daripada menduga-duga arti di balik tingkah tidak jelas ini.

"Kamu kenapa, sih?"

"Nggak kenapa-napa. Emang aku kenapa, sih?" balas Ina.

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kunci pintu?" cecar Irham.

Otak Ina sudah buntu untuk mencari-cari alasan. Ia diam saja sambil memiringkan badan dan memeluk guling. Irham menjadi yakin Ina tengah merajuk. Ia merayap ke samping istrinya, lalu mengelus punggung yang meringkuk itu.

"Maaf kalau aku tadi bikin kamu kecewa. Aku cuma pengin kamu ngerti kalau seorang suami itu punya tanggung jawab banyak. Yang harus aku kerjakan itu bukan cuma mantap-mantap aja." Irham berusaha menjelaskan dengan mengelus lembut bahu Ina. Maksudnya supaya sang istri memahami sikapnya tadi. Ia tidak tahu bahwa kata-kata nasehat itu malah membuat Ina semakin remuk redam. Bukannya menjadi paham, Ina malah sesenggukan.

Ina sendiri tidak memahami mengapa dirinya dilanda badai emosi. Kalau ditanya mengapa sekarang ia menangis pun ia tidak bisa menjawab. Ia cuma merasa hancur dan jungkir balik. Belum lama tadi, dirinya melayang dan diayun ke tengah awan-awan. Beberapa detik kemudian, ia jatuh ke kerak bumi paling nista setelah ditusuk dengan tatapan penuh tanya Irham.

Hidupnya kok menjadi begini amat? Padahal dulu, ia gadis biasa yang tengah menikmati masa-masa kuliah dan getol-getolnya mencari uang. Sekarang, di mana letaknya di muka bumi ini? Selain bisa makan enak setiap hari, tinggal di ruangan ber-AC, dan rekening tabungan yang gendut, apa yang bisa dinikmati dalam perkawinan?

Irham semakin kebingungan melihat istrinya sesenggukan. Dipeluknya Ina dari belakang. Istri kecil itu tidak bereaksi. Padahal biasanya Ina akan segera meringkuk dalam dekapan.

"In, aku minta maaf, ya?" bujuk Irham. Ia baru tahu menikah dengan adik angkat ternyata sesulit ini. Telah saling mengenal lama tidak lantas membuat mereka langsung sejalan seirama dalam pernikahan. Rasanya Ina lebih banyak menangis setelah menjadi istrinya.

"In, aku harus gimana biar kamu nggak nangis lagi?" tanya Irham. "Kamu nangis kenapa, sih?" Irham memutar paksa badan Ina sehingga wajah mereka berhadapan. "Bilang, dong? Kalau nggak ngomong, aku nggak paham, In."

Ina membuka mata, menatap raut Irham. Ia ingin mencium habis-habisan wajah rupawan itu. Ingin ndusel-ndusel di dadanya. Namun sekarang ada benteng rasa malu yang membatasi. Lebih baik ia pasif menunggu saja.

"Mas Ir katanya mau nemenin aku Sabtu dan Minggu ini, tapi aku tetep ditinggal sendiri di sini," protes Ina.

Irham terdiam sesaat. "Oh, aku lupa kalau tadi pagi jadwalnya barang datang. Maaf, ya. Besok kan Minggu. Kamu ikutan ke toko, gimana? Biar nggak bosen di atas sini. Tapi pakai masker, ya."

Ina protes. "Itu sama aja kerja lagi, Mas Ir."

"Loh, kamu mau aku mengeram di atas sini?"

Ina lemas karena tidak mungkin sanggup melawan argumentasi Irham. Lagipula, mengulang debat yang itu-itu saja membuat mulutnya kebas, malas memproduksi kata-kata. Dengan mendengkus keras, ia membalikkan badan memunggungi Irham sambil berharap dalam hati agar Irham membujuk-bujuk lagi. Ternyata ia harus gigit jari. Irham memang mengecup pipinya cukup lama dan sempat membuatnya senang. Sayang, setelah itu Irham bangkit.

"Ya udah, kamu istirahat aja. Tenangkan diri. Aku ke sebelah bentar, ya. Mau nerusin bikin program." Setelah berkata begitu, Irham mengambil Mulan dan Elektra, lalu menghilang di balik pintu. Ia juga sempat mengambil kunci cadangan. Siapa tahu sewaktu-waktu Ina ngambek lagi, ia bisa membukanya dengan kunci tersebut.

Tinggallah Ina termangu seorang diri di kasur. Ia benar-benar dimadu dengan Diana, Joan, Mulan, dan Elektra! Keyakinan itu semakin kuat saat tengah malam Ina bangun untuk panggilan alam. Kamar telah gelap dan Irham mendengkur halus di sisinya. Ia terpaksa menyingkirkan lengan Irham yang menindih dada agar bisa turun dari kasur. Gerakan itu membuat Irham terjaga.

"Mmmm, In?" panggil Irham dengan bergumam.

"Kenapa Mas?" tanya Ina.

"Itu ... artificial ...."

Ina mengeritkan kening. "Artificial apa?"

"Artificial intelligence ... mmmh," gumam Irham.

Ina bingung. Dinyalakannya lampu di atas nakas agar bisa melihat wajah suaminya dengan jelas. Saat wajah itu diterangi cahaya, Ina baru tahu mata Irham terpejam.

"Mas, kamu ngigau?"

"Mmm ... iya, pakai phyton," sahut Irham sambil menggeliat, namun tetap terpejam.

Biarpun kurang memahami dunia Irham, Ina dapat menduga bahwa yang digumamkan itu adalah program komputer. Hebat benar, pekerjaan sampai dibawa mimpi. Apakah ada dirinya dalam mimpi Irham? Jangan-jangan di alam itu Irham bermesraan dengan Diana, Mulan, Elektra, dan Joan. Bikin hati makin menggondok saja!

"Mas! Bangun!" Ina mengguncang-guncang bahu Irham dengan keras.

"Mmmh? Ap-apa?" Irham tergagap. Matanya terbuka dan terlihat merah. Kali ini ia benar-benar terjaga. "Kenapa, In?"

"Mas ngingau!"

Irham menggeliat lagi, lalu memunggungi Ina sambil bergumam, "Ah, enggak. Kamu aja salah dengar." Tak lama kemudian, dengkuran halus kembali memenuhi kamar itu.

---Bersambung---

Ah, Ina kurang pengertian sama suami, ya ....

Komen, please

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top