---20. Selingkuhan Irham---
Kata-kata Irham terus terngiang di telinga Ina, membuahkan tanda tanya. Apakah ia sudah berlebihan? Setiap dekat dengan suaminya ia memang ingin menempel terus. Melihat tahi lalat imut di leher kiri yang melambai-lambai minta dibelai, gemasnya menjadi-jadi. Belum lagi bagian tubuh yang lain. Ujung-ujung rambut yang terjuntai di dahi dan tengkuk, hidung yang mancung, dan yah, bibir indah itu. Oh, masih ada banyak lagi! Tangan berotot, dada bidang, gundukan kejantanan, dan aroma khas dari ....
Astaga!
Ina segera menutup wajah dengan tangan. Benar kata Irham, otaknya mulai berpasir! Cepat-cepat ia pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah itu ia mencari pengalihan dengan memasak makan siang. Sayur asam, tempe goreng, ikan asin, dan empal. Tak lupa kerupuk udang kesukaan lelaki itu.
Saat menata piring di meja makan, ponselnya berdering. Ina membiarkan Mak Nah menyelesaikan pekerjaan. Sambil menerima panggilan itu, ia menghambur ke kamar. Soalnya si penelepon adalah "Dini" dan wajah gantengnya terpampang besar-besar di layar.
"Ya, Mas?"
Senyum di bibir kemerahan Dika entah mengapa membuat Ina panas dingin. Kejadian di mobil tergambar ulang dengan jelas, termasuk segala sensasi kehangatan cowok itu.
"Kamu baru apa?" tanya Dika.
"Habis masak. Ada apa?"
Dika tersenyum lebih lebar. Meringis tepatnya. "Aku juga nggak tahu mau apa, cuma kepingin lihat wajah kamu aja."
Mati akuuuuu! Ina merutuk dalam hati. "Sekarang udah lihat. Terus mau apa?"
Dika berdeham. "Aku udah mulai penelitian, In."
"Oh, udah kelar revisi proposalnya?"
"Udah. Doain bisa ikut wisuda semester ini."
"Pasti aku doain, Mas!" sahut Ina dengan tulus.
"Tapi aku bakal kangen suasana kampus. Kapan lagi ya kita kumpul buat latihan vocal group?"
Ingatan Ina langsung melayang ke saat pertama ia mengenal pemuda itu. Saat itu, ia mendaftar untuk menjadi anggota vocal group di mana Dika menjadi organis. Dari beberapa kali bertemu untuk latihan bersama, mereka semakin akrab dan akhirnya sama-sama mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa.
"Kasus Covid naik. Gelora Remaja ditutup sementara," lapor Dika. "Aku juga males keluar-keluar sekarang."
"Sama. Mas Dika badminton di mana?"
"Nggak ada. Kangen banget sama suasana dulu, ya. Aku masih suka mimpi naik gunung bareng kamu."
Ina kepingin menangis. Satu lagi kenangan indah terkuak. Beberapa saat kemudian, Dika mengirimkan beberapa foto pendakian mereka bersama tim pecinta alam kampus. Memori-memori itu mengingatkan Ina betapa banyak hal telah hilang dari hidupnya.
"Oh, ya. Aku bikin aransemen baru lagunya Noah. Mau denger?" tanya Dika.
"Mau banget!"
Tak lama kemudian, Ina tersenyum-senyum sendiri melihat Dika memetik gitar sembari melantunkan "Mencari Cinta" karya Noah.
"Aku mencari cinta ... di tempat yang tak biasa. Tepat di antara luka ... dan kesunyian tak mereda ...."
Ina mengikuti Dika dengan nada alto. "Tlah kutemukan dia ... memelukku dalam sepinya. Dan ku mencintainya ... dalam ruang yang tlah terbatas."
Mereka lanjut menyanyi sambil saling memandang. Suara keduanya berpadu apik walau baru pertama kali duet. Lirik lagu dan nada mendayu itu menyeret Ina dalam suasana aneh.
Ina kini bukan hanya teringat kejadian hangat di mobil bersama Dika, namun juga adegan-adegan panas di ranjang bersama Irham. Tubuhnya bereaksi. Serat-serat daging meronta gaduh, mendamba sentuhan. Hormon-hormon memerah cairan di liang tubuh. Kalau sudah begini, rasanya Ina ingin lari memeluk seseorang.
Setelah panggilan Dika berakhir, Ina masih menyenandungkan lirik-lirik lagu itu sembari termangu di kasur.
Hanya senandung jiwa ... hanya rasa yang seluruhnya.
Aku mencintainya ... menjaganya dalam rahasia.
Lirik itu pun habis. Kesadaran Ina seolah ditarik kembali ke masa sekarang. Ia dilanda kegalauan. Otaknya tanpa diminta menampilkan gambaran tahi lalat di leher Irham. Ina tak tahan lagi. Diteleponnya sang suami.
"Maaas!" rengeknya. "Udahan kerjanya. Naik, dooong!"
☆☆☆
Setelah makan siang yang aman, tenteram, dan bahagia, Ina segera menyeret suaminya ke kamar. Tanpa aba-aba, Ina menggelayut ke badan Irham sehingga lelaki itu kehilangan keseimbangan. Mereka berdua ambruk ke kasur dengan Ina berada di atas badan Irham. Tanpa menunggu, perempuan mungil itu menghujani suaminya dengan ciuman.
Sebenarnya Irham kesal. Puluhan komputer di bawah menunggu untuk diinstal. Lusa, mereka harus mengirim semua pesanan itu keluar kota. "In, kita mau lagi?"
Ina tidak menjawab. Mulutnya sudah lengket di tahi lalat Irham. Serangan yang terjadi saat Irham belum memanas itu malah menjadi gelitikan.
"Ya, ampun! Geli, In!" Irham berguling ke samping untuk menghindar.
Ina jelas terbengong dengan dada naik turun karena bara yang tersulut. "Kok geli, sih?"
Irham menoleh. "Kok heran? Kamu juga geli waktu pertama dulu."
"Itu karena Mas nyerang mendadak pas aku nggak siap."
"Lah, sama!"
"Mas ... Mas nggak mau?" wajah Ina seketika mendung.
Wah, gawat, batin Irham. Nasi goreng dengan lombok sebakul dan paprika setumpuk tergambar dalam benak. Demi keamanan dunia dan akhirat, Irham membuka baju dengan cepat, lalu membelit istrinya. Eksekusi kilat itu berhasil membuat Ina terengah dan melenguh lirih. Namun hanya itu. Saat ditinggalkan Irham untuk bekerja, ia seperti adonan yang tidak jadi. Mengkal!
Sepanjang sore hingga malam turun, Ina masih menunggu Irham. Rasanya kejadian siang tadi belum selesai. Jiwanya menjerit menuntut penuntasan. Ia memasak steik dan menyiapkan makan malam istimewa. Irham, seperti biasa, makan dengan lahap tanpa bicara. Ina sudah tidak mengharap kata-kata pujian lagi. Yang penting tidak dikritik dan dimakan dengan lahap, cukuplah sebagai tanda masakannya enak.
Setelah makan malam, Irham masuk ke kamar sebelah. Kamar itu digunakan sebagai ruang kerja. Ada sebuah komputer desktop dengan tiga monitor layar besar berjejer. Ina tidak tahu buat apa monitor sebanyak itu. Tapi gambar yang ada di dalamnya bersambung dari satu layar ke layar yang lain.
Ina membereskan meja dan perkakas bekas makan dengan cepat, lalu menyusul ke ruang kerja. Dengan perlahan, ia mendekat dari belakang. "Maaas?" rayu Ina sembari mengalungkan lengan melampaui bahu Irham. Aroma khas lelaki terhisap penghidu. Tahi lalat di leher kiri terlihat jelas karena Irham mengenakan t-shirt. Benda kecil itu segera menjadi sasaran kegemasan.
"In! Ah!" Irham kegelian sekaligus terganggu konsentrasinya. "Aduuuh, jadi salah ketik!"
Ina tidak mau mengendur. Ia malah melabuhkan dagu di bahu suaminya. "Kalau salah kan bisa dihapus dan diketik lagi."
"In! Ish!" Irham berkelit dan menggeser posisi duduk hingga rengkuhan Ina terlepas. "Yang susah itu bukan yang hilang di layar, tapi yang di otak ini, loh. Blank langsung!"
"Ih, kok gitu?" Ina merengut protes, namun sebenarnya hanya pura-pura saja.
Irham tidak menanggapi, ia sudah kembali menatap layar komputer. "Hmm, tolong ambilkan Joan di atas meja di kamar sebelah," perintahnya.
"Joan?"
"Itu, laptop yang warna hitam, yang ada logonya sulur hijau tiga buah."
Ina terbengong-bengong. "Joan itu nama laptop?" Ia baru ingat Irham memiliki tiga komputer jinjing. "Terus yang Apple dan satunya lagi apa namanya?"
"Oh, itu Electra dan Mulan."
"Kalau yang Mas pakai sekarang?"
"Ini Diana."
"Joan, Electra, Mulan, Diana? Itu bukannya tokoh-tokoh superhero?"
Irham menoleh. "Hmm, ya. Kecuali Joan. Dia tokoh sejarah. Ingat film Joan of Arch?"
Ina menggaruk tengkuk, tapi kemudian menuruti perintah Irham. Si Joan datang tak lama kemudian. Laptop itu dinyalakan dan tampaklah keyboard menyala warna-warni dan logo tiga sulur hijau di layar. "Ini laptop apaan, sih?"
"Ini laptop gaming. Kamu nggak pernah lihat?" Wajah bengong Ina membuat Irham gemas. Dicoleknya hidung mungil itu. "Kamu istirahat duluan, ya. Aku mau bikin modul baru, nih."
"Maleeeesss," rajuk Ina, lalu memberi kode dengan tangan.
"Hm? Apa?" Irham tidak paham.
"Mundur dikit, Mas."
Walau tidak mengerti, Irham mendorong kursinya menjauh dari meja. Begitu ruang itu terbuka, Ina menjatuhkan diri di pangkuan Irham, lalu mengalungkan lengan di leher dan merebahkan kepala di bahu.
"Aku sayang Mas Ir," bisiknya.
Irham menepuk-nepuk punggung mungil itu. "Aku juga sayang kamu. Tapi aku mau bikin program, In, mumpung idenya masih seger. Tolong kamu berdiri dulu."
"Enggak mau!"
"Aduuuh! Kamu udah dewasa, jangan kayak anak kecil gini!"
"Mas Ir kok gitu, sih?" Ina semakin melengket, tidak peduli Irham berusaha merenggang.
"Tadi malam udah. Hari ini dua kali. Besok lagi, dong? Aku beneran mau kerja, nih."
Ina bergeming dan malah mengecupi leher bertahi lalat. Irham yang jengah segera berusaha mendorong tubuh istrinya menjauh.
"Terus aku ngapain, dong? Mas Ir enak, selingkuh sama Joan dan Diana. Aku sama siapa di sebelah?"
Irham menghela napas panjang sembari menjaga tubuh Ina tidak menempel di dada. "In, otak itu diisi ilmu yang baik-baik, jangan syahwat aja. Kamu ke sebelah, deh. Berdoa dan baca ayat-ayat suci, biar nggak ngeres kayak gini otakmu."
Mata Ina melebar dan membulat. Otaknya berisi syahwat? Ia harus banyak berdoa? Ia sudah secabul itu di mata Irham?
Ina tidak sanggup menjawab. Ia segera berdiri dan berlari ke kamar. Sudah pasti bukan untuk menjalankan perintah Irham. Ia meringkuk terluka dengan air mata berderai.
🌻---Bersambung---🌻
Mau tambahan up lagi besok?
Spam komen dulu, boleh? Ketik next, next, atau A - Z please ... 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top