---2. Sendiri---
Sebelum lanjut, follow akunku dan masukkan cerita ini ke library.
Jadwal up yang pasti: SENIN.
Klo ada tambahan up di luar itu, berarti Fura baru khilaf.
Follow juga IG-ku : nataliafuradantin
〰️〰️〰️
Siang ini, kamar rumah sakit tempat Ina dirawat mendapat tambahan penghuni. Seorang anak SMA yang terus menangis. Anak itu baru saja kehilangan ayah dan kakaknya minggu lalu akibat Covid-19. Indah ada di sisinya beberapa saat untuk menghibur.
"Sabar ya, Dik. Sekarang kamu harus kuat, demi ibu dan adikmu," ujar Indah dari balik masker dan pelindung wajah. Walau senyumnya tak terlihat, mata yang melengkung itu terlihat lembut.
Remaja berusia lima belas tahun itu tidak menjawab, terus sesenggukan. Indah mengecek tetesan infus sejenak, lalu membujuknya kembali. "Mbak Ina yang di seberang itu waktu datang lebih parah dari Adik. Demam tinggi, sesak napas pula. Tapi karena mau makan banyak dan nggak banyak nangis, sekarang udah hampir sembuh."
Ina melambai dan melempar senyum ke pasien baru itu. "Haaai!" sapanya. Ia dapat merasakan kepedihan anak itu. Ia sendiri sering diam-diam meneteskan air mata. Apalagi sepanjang pagi tadi belum mendapat kabar dari ayahnya, Arifin. Semoga tidak terjadi apa-apa pada orang tua satu-satunya yang tersisa itu.
"Tuh, udah bisa ketawa dia. Kamu harus kuat, ya?" bujuk Indah lagi.
Anak itu mengusap air mata, lalu menjawab dengan suara serak, "Makasih, Mbak."
Indah meraih sebuah tempat alat, lalu mengeluarkan alat suntik. "Sekarang diam sebentar, saya mau ambil sampel darah kamu."
Selesai dengan pasien baru itu, Indah beralih ke Ina. Ia menarik tangan Ina yang terpasang infus. "Udah boleh dilepas infusnya," ujarnya dengan mata melengkung.
Ina langsung girang. "Berarti udah boleh pulang?"
"Belum. Nunggu hasil lab, udah negatif apa belum." Indah melepas infus dengan cekatan. Ina lega sekali. Rasanya seperti terbebas dari belenggu. Paling tidak, tanpa jarum menancap di tangan, ia bisa bergerak lebih bebas. "Makasih, Mbak!"
"Sama-sama!"
Tak lama setelah Indah keluar, telepon Ina tiba-tiba berdering. Irham menghubungi melalui video call seperti biasa. Selain beberapa sahabat dan sang ayah, telepon dari Irham adalah hiburan yang sangat berarti.
Ina anak tunggal. Ibunya telah berpulang karena penyakit gagal ginjal saat ia duduk di bangku kelas empat SD, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ayahnya, Arifin, tidak mau menikah lagi. Praktis, Irham adalah orang terdekat selain sang ayah.
Keluarga Ina dan keluarga Irham telah terkait sejak lama. Kakek Ina adalah buruh sederhana dan buta huruf di pabrik kompor di milik kakek Irham, yang dulu terletak di Merjosari, Malang, Mungkin hati kakek Irham terketuk melihat anak buruh yang tampan dan cerdas sehingga Arifin diperlakukan seperti anak dan disekolahkan sampai berhasil menjadi guru. Ina pun dianggap cucu sendiri.
Semenjak kuliah di Surabaya, salah satu hal yang menyenangkan bagi Ina adalah pulang ke Malang dengan mobil bersama Irham. Hampir setiap bulan mereka mudik. Kadang Irham mengajak Adel, kekasihnya, turut serta. Ina tidak mempermasalahkan hal itu. Ia sadar, dirinya hanyalah adik kecil bagi lelaki itu.
"Gimana kondisimu?" tanya Irham. Semenjak ia dirawat, lelaki yang biasanya tenang itu terlihat gelisah. Wajah berhidung mancung, bermata tajam, dan dagu yang tegas itu selalu membuat Ina merasa aman. Walau jarang tersenyum dan memasang mimik serius, setiap bicara padanya, Ina merasa diperhatikan.
"Udah nggak demam, Mas. Infusnya juga udah dilepas."
Irham mengangguk dan terlihat lega. "Ah, syukurlah! Makanannya udah sampai?"
"Udah, Mas."
"Kamu suka? Enak nggak? Kalau nggak suka bilang, biar besok nggak pesan dari situ lagi."
"Baru sampai, belum sempat dicoba."
"Hmm, dihabiskan, ya. Mudah-mudahan enak. Aku pesen dari teman yang biasa bikin katering makanan sehat."
"Katering sehat? Wah, Mas bisa juga mikir soal makanan sehat. Sejak kapan? Tahu dari mana ada katering gitu? Dari Mbak Adel?"
"Isssh! Kamu ini kalau ngomong nggak pakai titik koma." Irham tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi yang rapi. Sayang, bibir dan giginya gelap. Mungkin terlalu banyak merokok membuatnya menghitam. Biarpun begitu, wajah Irham tetap memesona.
"Jangan sebut Adel lagi."
"Loh, kenapa?"
Irham tidak menjawab, hanya mendengkus keras.
"Berantem, Mas?" telisik Ina.
"Enggak, enggak ada apa-apa, kok."
"Eh?" Ina yakin, mereka berantem lagi. Ina pernah melihat dengan mata kepala sendiri saat keduanya melempar kata-kata ketus dalam perjalanan pulang ke Malang. Ia hanya bisa diam menyaksikan pertengkaran itu dari jok belakang.
"Ah, sudahlah! Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa. Cepat habiskan makananmu!"
Ina kontan manyun. Badannya memang mungil. Tingginya cuma satu setengah meter lebih sedikit. Beratnya cuma 45 kg. Itu sebelum sakit. Entah sekarang. Pasti semakin menyusut. Banyak yang tidak percaya ia mahasiswa semester empat fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Biarpun begitu, ia tidak merasa sebagai anak kecil.
Irham terkekeh melihat Ina cemberut. "Soalnya kayak belum lama kamu pakai seragam putih abu-abu."
"Belum lama juga aku bayi, Mas. Baru dua puluh tahun yang lalu," timpal Ina sengit, yang langsung disambut tawa Irham.
"Mas di ruko?" tanya Ina, sekadar berbasa-basi. Ia yakin sekali, lelaki itu melakukan video call dari rukonya yang menjadi satu dengan tempat tinggal.
"Iya, aku di ruko," jawab Irham. Entah mengapa, senyum lelaki itu terlihat lebih segar dari biasa.
"Nggak sibuk, Mas?"
"Ah, udah ada anak buah mengurus di bawah."
Irham menoleh tiba-tiba. Sepertinya ponsel lelaki itu berdering. Ia menerima sambil memandang ke arah lain. Karena mempunyai hidung mancung dan tulang rahang yang tegas, Irham sangat menarik bila dilihat dari samping. Rambut hitam lurus yang dipotong pendek terlihat kontras dengan kulit yang kuning langsat. Ada sebuah tahi lalat kecil di leher sebelah kiri yang membuat Ina gemas. Mau diingkari bagaimana pun, Ina tidak bisa bohong kalau dirinya menyukai pemandangan itu.
Tak berapa lama, Irham kembali memandang ke depan. Matanya sendu seperti menanggung beban berat. Seketika, Ina tahu ada yang tidak beres.
"In," panggil lelaki itu dengan nada lirih. "Aku mau kasih tahu sesuatu, tapi kamu jangan syok, ya."
"Apa, Mas?" Tiba-tiba kaki dan tangan Ina kebas dan jantungnya berpacu.
"Om Arifin dipindah ke ICU tadi pagi," lanjut Irham. Tangannya mengusap wajah.
"Bapak?" Bibir Ina langsung kelu. Setelah ibunya meninggal sepuluh tahun yang lalu, ia hanya memiliki ayah. "Kenapa Bapak dipindah ke ICU?"
Irham mengambil napas panjang. "Tadi pagi tiba-tiba sesak, lalu nggak sadar. Aku mau kabari kamu, tapi takut bikin kamu panik. Rencananya, kalau udah membaik baru kasih tahu."
Ina kontan menutup mulut dengan tangan. Matanya mengabur. "Te–terus sekarang gimana kondisinya?" bisiknya dengan suara serak.
"Bapak kamu ... barusan dipanggil, In."
===Bersambung===
Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top