---17. Tidak Sendiri---

Irham berjalan cepat menyusul Ina, namun panggilan Adel menghentikan langkahnya. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Adel karena mengawasi sosok istrinya yang setengah berlari menuju sebuah mobil. Sayang posisi mobil itu terlalu jauh sehingga Irham tidak dapat membaca plat nomornya. Apalagi saat ini trotoar hanya diterangi lampu halogen berwarna kekuningan. Ia hanya tahu mobil itu Honda Brio berwarna merah. Sebenarnya agak jarang taksi daring menggunakan mobil berkapasitas lima orang. Mendadak ia ingin melihat Ina masuk ke mobil. Saat tahu Ina membuka pintu belakang, entah mengapa hatinya lebih tenang.

"Ir!" panggil Adel sembari menepuk pundak lelaki itu. "Tadi itu Ina? Kok nggak diajak makan bareng kita?"

"Enggak. Udah pesan buat dibungkus," jawab Irham tanpa memandang Adel. Ia malas saja menjelaskan kalau Ina cemburu karena mereka makan bersama. Ia melangkah cepat untuk kembali ke pintu masuk restoran.

"Ir!" Adel memanggil lagi. Mungkin karena tidak dihiraukan, tangannya beraksi. Jemari lentik itu meraih pergelangan tangan Irham, seperti biasa ia lakukan dulu saat masih sebagai kekasih.

Kaget karena disentuh, Irham mengibaskan tangan Adel dengan cepat sambil menatap tajam. Adel kontan tersadar telah menggenggam tangan suami orang. Ada rasa pilu saat teringat perpisahan mereka. Andai ia mau bersabar sejenak, tentu bukan Ina yang mendampingi Irham saat ini.

"Itu, loh, Pak Edi udah datang! Dia barusan telepon aku," kilah Adel sambil menunjuk sedan hitam yang baru saja berhenti di depan pintu masuk. Seorang lelaki paruh baya turun dari pintu belakang. Gayanya seperti bos besar.

Irham dan Adel pun menyambut lelaki itu dengan hormat.

"Kenalkan, Pak, ini Irham saudara saya," ujar Adel seraya menggamit lengan Irham.

Irham merutuk dalam hati. Ia tidak mungkin menepis tangan Adel di depan calon klien. Nanti belum apa-apa suasana menjadi tidak nyaman. Ia terpaksa mengulurkan tangan dengan tersenyum manis.

"Apa kabar, Pak? Saya Irham."

"Ini Dik Irham? Edi." Ternyata pemilik nama Edi itu murah senyum. Jabatan tangannya pun hangat.

"Maaf, ya. Ada auditor datang. Saya terpaksa menunggu mereka sampai selesai. Saya udah telepon Mbak Adel sore tadi kalau kita mundur satu jam."

Kontan Irham tersentak. Adel sudah tahu mereka mundur satu jam tapi diam saja?

Apa-apaan!

Tahu seperti ini, ia akan pulang dulu untuk mengajak Ina. Mulut Irham terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi asas kesopanan membuatnya menahan diri. Sekilas ia mengerling ke Adel dengan tatapan menuntut jawaban. Perempuan itu hanya tersenyum-senyum tanpa merasa bersalah.

"Oh, tidak apa-apa, Pak. Silakan," sahut Irham dengan sesantai mungkin sembari memberi kode dengan tangan agar Pak Edi masuk bersama mereka. Begitu terlepas dari pandangan Pak Edi, Irham menarik tangan dengan keras sambil memelototi Adel.

❦❦❦

Ina membuka pintu mobil Dika dan cepat-cepat masuk dengan hati berdebar. Ia sengaja masuk lewat pintu belakang, takut Irham mendatangi lalu menjadi curiga karena ia duduk di samping pengemudi. Irham itu cerdas. Bisa-bisa ia tahu kalau Dika adalah pengemudi GooCar jadi-jadian. Yang tidak ia perhitungkan adalah reaksi Dika.

"Loh, In, kok duduk di belakang? Emangnya aku sopir taksi?" protes Dika sambil tersenyum lebar. Bibir merahnya terlihat berkilau karena basah.

Ina cuma bisa meringis. "Mmmm, refleks, Mas. Ngerasa naik GooCar."

Mulut Dika kontan manyun. "Diiih! Mukaku kayak bapak-bapak sopir taksi maksudmu? Ke depan sini, cepetan!"

Ina terpaksa keluar sambil celingukan ke arah pintu masuk restoran. Mata bulatnya kontan menangkap sosok Adel yang tengah menggamit lengan suaminya. Dari dasar hati Ina, segulung setrum mendesak ke atas, membuat napasnya sesak. Gulungan itu lalu merambat ke kaki, membuat kesemutan. Juga menjalar sepanjang lengan hingga kedua tangannya terkepal.

"In!" Dika telah membuka kaca jendela dan memanggil dari balik kemudi.

Ina tersadar. Ia tidak boleh berkelakuan aneh di depan Dika. Ia segera membalikkan badan, lalu masuk ke mobil.

"Kamu ngapain sih di restoran itu?" tanya Dika. Sedari tadi ia keheranan dengan tingkah Ina yang tidak biasa.

"Enggak, enggak pa-pa. Aku cuma nganterin sesuatu buat Mas Ir di sana." Ina segera menggigit bibir saat sadar telah berbohong lagi. Mungkin beginilah dimulainya lingkaran setan. Satu kebohongan harus diikuti rentetan kebohongan lain agar tidak terbongkar.

"Oh, masmu di situ? Yang mau ngikutin kamu tapi nggak jadi tadi itu Mas Ir?" tanya Dika. Ia tadi sempat melihat dari spion mobil. "Mbak-mbak yang tinggi tadi ceweknya masmu?"

Ina ingin menggigit lidah sekeras mungkin. Bahkan Dika yang tidak tahu apa-apa saja merasakan kemesraan mereka. "Iya, dia ceweknya. Udah, ah! Yuk, berangkat!"

"Asyiap! Mmm ... ke mana?" tanya Dika lagi sembari memasukkan gigi mobil. Brio merah itu pun menderu halus, meninggalkan tempat itu.

"Terserah. Pokoknya makan enak. Aku laper banget!"

"Rawon Setan gimana?"

Ina menyeringai. "Naaah! Aku banget itu, yang setan-setan gitu!"

Dika tergelak. "Itu yang aku suka dari kamu In. Sedang kesel pun kamu bisa ludrukan."[1]

"Aseeem!" balas Ina sambil manyun panjang. Dari samping, bibir kemerahan itu membuat jantung Dika berdenyut tidak karuan. Refleks, jarinya terulur menyentuh benda kenyal yang menul-menul itu.

Ina kaget. "Mas! Ngapain, sih?"

Wajah Dika memanas, tapi ia girang sekali. Sentuhan yang cuma satu detik itu memicu setrum tegangan tinggi. "Heheh, lambe ta? Tak pikir cocor bebek." [Heheh, bibir toh? Aku pikir moncong bebek]

Ina menoleh sembari merengut maksimal. "Hiiiih!"

Dika menanggapi santai saja. "Nggak ada masmu, kok. Ngapain malu? Tuh, masmu juga mesra-mesra gandengan sama ceweknya."

"Mas Dikaaa! Jangan sebut-sebut Mas Ir lagi!" rengek Ina. Rasa sesak meluber, menjadi butiran bening yang merembes di sudut mata.

Dika rupanya merasa ada yang aneh. Ekspresi wajah Ina telah berubah. Ia segera memperlambat laju mobil, lalu memarkirnya di tempat yang aman.

"In, kamu kenapa?" tanyanya lembut.

Ina ingin berbohong dan menjawab bahwa ia baik-baik saja. Namun, rasa sesak itu membuatnya tidak bisa merangkai kata. Ia hanya ingat dirinya sekarang sendiri tanpa ayah dan ibu. Kehadiran suami ternyata tidak dapat mengisi kekosongan jiwa, malah membuat hidup seperti jungkir balik. Akhirnya hanya isakan yang meluncur dari mulut mungil itu.

Menemukan makhluk mungil yang menutup wajah dengan kedua tangan, Dika kebingungan. Ia tahu benar Ina tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ina berubah setelah sakit Covid dan kehilangan ayah.

"In, Mas Ir udah ngapain kamu? Bilang aja, aku nggak akan ngomong ke orang lain."

Ina menggeleng. "Enggak, enggak pa-pa, kok." Tangannya kemudian sibuk mengelap air mata dengan tisu.

"Kamu boleh percaya sama aku. Kamu masih sedih karena kehilangan bapak?"

Ina mengangguk. Ia jujur. Memang saat ini ia merindukan perlindungan lelaki lembut yang selalu setia itu.

"Kamu nggak sendiri loh, In. Ada aku yang siap nemenin kamu."

Tangis Ina terhenti. Perkataan Dika membuatnya merasakan hal lain. Kata-kata itu terlalu dalam dan terlalu manis untuk diucapkan seorang sahabat.

"Tahu nggak, aku tuh sayang banget sama kamu," lanjut Dika dengan nada manis yang meresap ke kalbu.

Ina menoleh dan tersentak mendapati tatapan yang lembut penuh binar cemerlang. Mata Dika yang lebar itu membuatnya terpaku di tempat. Belum sempat Ina menemukan kata-kata yang cocok untuk menjawab, wajah Dika mendekat. Sepasang tangan kekarnya menangkup pipi Ina. Tanpa kata pendahuluan, bibir Dika meraup bibir Ina dengan lembut.

________________

[1] ludruk adalah pertunjukan drama tradisional Jawa Timur yang ciri khasnya adalah adegan dan percakapan kocak.

Bersambung

Dika ini main nyosor juga nggak sih?
Spam komen please ....

Buat Sobat Pembaca yang nggak sabar nunggu apdetan, cuuus aja ke KaryaKarsa atau KbM.
Ada paket ekonomis di KaryaKarsa loh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top