16. Bapak Ini Siapa? (1)

Makasih buat yang udah bantuin komen. Mudah-mudahan bisa membantu supaya cerita ini bisa ditemukan oleh lebih banyak pembaca.

⚘⚘⚘

Ina mendengarkan suara Dika dengan berdebar. Di dasar hati, ia tahu ada yang salah bila terus menghubungi cowok itu. Ia tahu Dika suka padanya lebih dari sekadar teman.

"In, kirain kamu nggak mau ngomong lagi sama aku," ucap Dika dari seberang.

"Kok Mas mikir gitu?"

"Hmm, habis waktu di warung bakso itu kamu langsung pergi."

Ina semakin merasa bersalah. Kini ganjalannya menjadi dua. Satu karena menelepon cowok lain tanpa sepengetahuan Irham dan satu lagi karena menyakiti Dika.

"Oh, itu. Kemarin itu karena aku takut sama masku." Mulut Ina lancar sekali memberi alasan.

"Masmu galak banget, ya? Aku salah apa, sih?" tanya Dika dengan nada memelas.

Ina meringis sendiri. "Mas Dika nggak salah, kok. Ah, udah aja. Tadi Mas telepon ada keperluan apa?"

"Hmm, aku mau ngajak kamu jalan nanti malam," jawab Dika dengan sedikit ragu. "Masmu bolehin kamu jalan nggak?"

Seketika ada deru yang melanda Ina. Ia harus menjawab 'tidak', kan? Ia sudah menikah. Tidak pantas jalan dengan cowok yang jelas-jelas suka padanya.

"Mas mau ngajakin jalan ke mana?" tanya Ina dengan suara lirih. Sesudah itu ia menggigit bibir.

"Ke mana aja kamu mau," jawab Dika.

Ina langsung teringat rencana Irham makan malam dengan Adel. Ada percikan kecil yang meletup di otaknya. "Mas, nanti malam aku kabari, ya," ucapnya.

Di seberang, Dika tersenyum lebar. "Jadi kamu mau jalan sama aku?"

"Ih! Tunggu nanti malam, baru aku bisa kasih kabar. Jangan sampai mati hapenya, ya. Awas kalau aku telepon Mas nggak aktif."

"Santuuuy! Hapeku aktif terus kalau buat kamu, In!"

☆☆☆

Sepanjang hari itu, Ina gelisah menunggu datangnya malam. Irham sama sekali tidak menghubungi. Sekadar menanyakan kabar lewat pesan teks pun tidak. Malah Dika yang terus-menerus mengajak chatting. Ina sedikit terhibur juga.

Begitu matahari lenyap dari langit, Ina menghubungi suaminya. "Mas, kapan pulang?" tanyanya.

"Loh, aku masih harus ketemuan sama calon klien," jawab Irham. "Perasaan tadi pagi aku udah bilang sama kamu."

Mulut Ina manyun. "Sama Mbak Adel?" tanyanya.

Irham terkekeh kecil. "Iyaaaa. Cemburu?"

"Ck!"

Irham tergelak karena membayangkan wajah merajuk Ina. "Aku nggak macem-macem, tenang aja."

"Mas Ir di mana sekarang?"

"Di jalan. Otw Bakmi Gigantis. Kamu udah makan belum? Beneran nggak mau dibungkusin?"

"Enggak! Males!"

Sekali lagi terdengar kekehan Irham. "Hmm, marah, nih. Maaf, ya. Aku harus banyak-banyak ketemu orang kalau mau usaha kita jalan terus." Irham dengan sabar menjelaskan situasi pekerjaannya.

"Mas Ir pulang jam berapa?"

"Belum tahu. Kalau negosiasinya udah kelar, ya, aku bakalan cepet pulang."

"Ya udah!" sahut Ina ketus. Tanpa menunggu jawaban Irham, ia memutus sambungan telepon. Setelah itu tangannya lincah mencari kontak bernama "Dini" dan memencet nomornya. "Mas Dika, yuk jalan," ajaknya sambil menahan debaran jantung.

"Oooow, siaaap! Kapan?" jawab Dika kegirangan.

"Lima belas menit lagi, ya?"

"Asyiaaap!"

"Tapi, Mas jemput di depan GOR aja," sahut Ina, lalu menggigit bibir.

"Loh, kenapa?"

"Takut ada mata-mata masku."

"Ah, jangan gitu. Kita kan cuma jalan. Nggak ada salahnya, kan? Bagusnya aku minta izin masmu."

Ina meringis. "Ya, kalau Mas nggak mau, kita nggak usah jalan," sahut Ina sambil memejamkan mata. Ia harap-harap cemas Dika tidak memaksa datang ke rumahnya.

"Gitu? Ya udah. Tunggu aku di depan GOR paling lama setengah jam lagi," ujar Dika akhirnya.

Setengah jam kemudian, Ina sudah berada dalam mobil Brio merah milik Dika yang membawa mereka meluncur menjauhi GOR Tambaksari.

Dika tampil kasual dengan celana denim biru muda dan kaus merah marun yang kerahnya berwarna putih. Di dalam kabin yang pencahayaannya remang-remang, lekuk wajah berhidung mancung itu berhasil mengguncang keyakinan Ina. Sosoknya yang jangkung dan tegap mengukuhkan kesan maskulin yang membuat jantung Ina berpacu.

"Kita mau ke mana, In?" tanya Dika.

"Ke Bakmi Gigantis," jawab Ina singkat. Pikirannya kembali melayang ke suaminya. Pasti saat ini mereka tengah makan bakmi yang terkenal gurih itu.

"Kamu suka Bakmi Gigantis ternyata. Aku juga suka," sahut Dika.

"Kita nggak makan di sana, Mas."

Dika terpaksa mengalihkan pandangan dari jalan ke perempuan di sampingnya. "Kalau nggak makan, kita mau apa?" tanyanya dengan keheranan.

"Ada! Pokoknya nanti Mas nunggu di mobil aja."

"O, gitu." Cuma itu yang bisa diucapkan Dika. Selanjutnya ia segan bertanya karena wajah Ina terlihat tegang.

Perlu beberapa saat hingga mereka sampai di restoran yang dimaksud. Ina langsung turun tanpa berkata apa-apa pada Dika. Dengan kaki kecilnya, ia melangkah tergesa menuju pintu masuk.


☆-Bersambung-☆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top