15. Nasi Goreng (2)
Sampai di dapur, hati Ina masih carut marut. Sejak ditinggal tidur Irham di tengah gelanggang perang, ia merasa dirinya menjadi labil. Ada sesuatu yang retak dan pecah dari dalam yang membuat segala hal terasa aneh. Saat menyiapkan bumbu nasi goreng, ia kesal pada botol kecap yang susah dibuka. Saat menaburkan garam, ia ingin memasukkan seisi botol ke cobek. Apalagi saat menghaluskan bawang dan terasi, ia ingin menghancurkan semuanya secepat mungkin. Langsung saja, bunyi plak-plok ulekan dan cobek terdengar. Belum lagi benturan cobek dengan meja pualam tempat Ina bekerja.
"Mbak, jangan keras-keras nguleknya. Gak ilok, lho," tegur Mak Nah yang keheranan melihat jemari mungil dan halus Ina bisa menimbulkan keributan seperti itu. "Ini, dilandasi serbet, biar marmernya nggak pecah kena cobek," lanjut Mak Nah. [Nggak pantas, pamali]
Ina meringis. "Maklum, Mak. Nggak biasa masak di meja marmer gini."
Sesudah meletakkan serbet di bawah cobek, ia tidak mau memberi kesempatan bawang-bawang itu mempertahankan wujudnya yang bulat-bulat. Semua ia gilas tanpa ampun. Belum puas, ia menambahkan cabe rawit satu genggam.
"Loooh, Mba Ina mau bikin bumbu nasi goreng atau sambel, toh?" Mak Nah terbelalak.
"Bumbu nasi goreng."
"Ya ampuuun, nanti Mas Irham bisa mencret makan itu!"
Ina tidak peduli. Semua cabe itu ia gilas juga.
"Mbak, jangan! Nanti kalau ketahuan Ibu, Mbak bisa dimarahi," ujar Mak Nah, mulai panik.
Ina mencibir. Ia sudah kenal Irham dan budhenya. Tidak mungkin Irham mengadu soal nasi goreng. Diacungkannya ulekan bernoda cabe ke arah Mak Nah. "Kalau budhe tahu, pasti dari Mak Nah!"
Kontan asisten rumah tangga itu terdiam. Ina menjulurkan ujung lidah untuk menggoda perempuan paruh baya itu.
"Ya Gustiiiii!" Mak Nah mengelus dada membalas godaan itu.
Ina melanjutkan memasak tanpa ragu. Hatinya agak puas setelah semua bahan itu melebur dengan nasi di wajan.
🔅🔅🔅
Irham telah siap di meja makan. Nasi goreng beraroma sedap siap disantap. Saat sesendok masuk ke mulut, ia kontan mengernyit, tapi tetap mengunyah.
"Pedes banget, In!" keluhnya setelah gumpalan nasi itu berhasil ditelan. "Berapa lombok kamu masukin?"
Ina meringis. Diam-diam ia kasihan melihat wajah Irham memerah dan matanya berair. "Nggak ngitung. Banyak!"
"Ya ampun!" seru Irham. Cepat-cepat diteguknya air putih. Sesudah itu, ia sibuk mengelap hidung yang beringus.
Ina mencibir. "Mas Ir harus banyak makan lombok. Belum tahu, kan, kalau lombok itu bagus buat ngilangin sisa rokok di mulut?"
"Hah? Kata siapa?" tanya Irham sambil masih megap-megap.
Ina mencibir. Irham kontan tahu istrinya cuma bercanda. "Nggak sekalian aja masukin pete dan jengkol, In? Pasti bau rokoknya ilang!" tegurnya dengan muka dingin.
Senyum Ina menguncup seketika. Suasana meja makan menjadi dingin dan membuat Ina merinding.
"Mak Nah! Tolong ambilin nasi putih!" seru Irham ke arah dapur, di mana Mak Nah masih sibuk membersihkan sayuran.
"Loh, nasi gorengnya nggak dimakan?" Ina membelalak.
"Nggak! Aku bisa mencret. Aku harus kerja di tempat orang hari ini. Gimana kalau bolak-balik ngejrot?" sahut Irham tanpa memandang istrinya.
Ina merengut. Ia langsung berdiri dan mengambil piring Irham, lalu membuang isinya ke tempat sampah.
Irham menahan napas. Ia kesal karena kepedasan, tapi membuat Ina merengut juga tidak enak. "Lain kali, jangan kebanyakan lombok. Pasti aku makan sampai habis," ujarnya.
"Iya! Aku tahu! Aku masakin lagi, deh," sahut Ina, lau bergerak ke dapur.
Irham menengok jam tangan. "Nggak usah. Udah mepet waktunya. Aku makan nasi putih sama telur ceplok ini aja."
Sementara itu, Mak Nah sudah meletakkan nasi putih di atas meja makan. Ina kembali duduk, lalu termangu menyaksikan suaminya menyantap nasi tanpa ekspresi. Tidak perlu waktu lama bagi Irham untuk menyelesaikan sarapan. Setelah meneguk habis kopinya, ia mengecup puncak kepala Ina.
"Aku berangkat," ujarnya singkat, lalu turun.
Tak lama kemudian, lantai tiga ruko itu menjadi sepi. Sebaliknya, di lantai dua terjadi kesibukan. Para pegawai mengangkut komputer-komputer turun dan memasukkannya ke mobil boks. Suara Irham sayup-sayup terdengar memberi komando kepada anak buahnya.
Ina hanya duduk termangu di kursi dapur yang berhadapan langsung dengan tangga ke lantai dua. Jalan hidupnya begini amat. Menikah dadakan, ditinggal tidur di tengah pertempuran, serta ditegur karena nasi goreng. Ya memang, nasi itu salahnya, tapi tetap saja penolakan datar Irham membuat hati sakit. Tidak selesai sampai di sini, nanti malam ia harus menunggu sendiri, menggigit jari di kamar yang sepi, sementara suaminya makan-makan bersama mantan.
Dering ponsel membuat Ina terjingkat.
Dika is calling ....
Ina termangu, antara ingin menerima atau menolak. Cukup lama ponselnya meraung memanggil hingga akhirnya terdiam. Ina membukanya, mencari kontak Dika, lalu mengubah nama "Dika" menjadi "Dini". Setelah menyimpan pembaharuan tersebut, ia membuat panggilan.
"Mas Dika barusan telepon?" tanya Ina dengan suara ramah.
☘Bersambung☘
Beri Vote dan komen banyak-banyak donk?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top