---13. Gebetan Ganteng---
Ina berdebar saat membuka panggilan.
"In, gimana kabarmu?" Suara bariton Dika menyapa dan seketika membuat Ina terseret ke suasana pergaulan kampus sebelum ia menikah.
"Baik, Mas. Aku udah sehat."
"Syukurlaaah! Makan yang banyak, biar bisa badminton lagi."
"Aduh, Mas, nggak tahu, nih. Habis keluar dari rumah sakit aku maunya makan terus. Gawat, deh."
Dika terkekeh. "Ngomong-ngomong, kamu di mana?"
Ina menelan liur. "Di rumah kakakku. Mas Dika di mana?"
"Oh, yang di Jalan Nanas itu? Wah, deketan dong. Ketemuan, yuk! Aku baru keluar dari lapangan badminton, nih. Ada Nicko sama Anin. Mau ngomong?"
Belum sempat Ina menjawab, lengkingan suara Anin sudah memekakkan telinga. "Inaaaaaaa! Aku kangen kamuuuuuuu!"
Ina langsung memekik. "Aniiiiiiinnnnn! Aku juga kangen kamuuuuuu!"
"Sek urip kon, In!" seru Anin lagi. "Yuk makan bakso bareng!" [Masih hidup kamu, In!]
Bakso? Hidung Ina kontan mengalami halusinasi, mencium aroma bawang dan kaldu sapi yang sedap. Padahal ia baru saja menghabiskan satu potong besar steak. Jangan-jangan olahraga ranjang tadi telah menguras energi steak sampai habis.
"Traktir!" pinta Ina manja.
"Beres, In. Cepetan ke sini. Kamu mau dipesenin apa?"
"Kayak biasa. Bakso beranak ditambah lemak."
"Uwuwuwu! Yang baru ngemaruki! Iya, beres. Nih, aku pesenin."
"Aku ke situ, ya. Ke tempat biasa, kan?"
"Yeeesss!"
Ina seperti dilecut. Dengan segera ia mengganti baby doll chibi dengan celana denim dan kaus, lalu turun dengan hati-hati. Saat tiba di lantai dua, ia mendengar suara Irham sedang berdiskusi ramai dengan anak buahnya. Ia mau pamit, tapi urung. Akhirnya ia hanya titip pesan pada Mak Nah.
Dengan berjalan cepat, ia menyeberangi Taman Mundu, lalu menuju warung bakso yang letaknya di sisi lain taman itu. Warung yang bernama Bakso Beranak Pak Wo itu selalu ramai dari siang hingga malam. Ia kerap mampir ke sini setiap ada kesempatan. Saat masuk, aroma bakso langsung menyambut.
"Iiiiinnnn!" Anin memanggil dari meja yang terletak di tengah. Di sebelahnya duduk Nicko. Di seberangnya, Dika.
Ina balas melambai, lalu menghampiri. Karena Dika duduk sendiri, terpaksa Ina menempatkan diri di samping cowok itu.
"Kurus banget kamu, In," komentar Anin.
"Sengsara, tahu. Habis dipenjara dua minggu lebih."
"Udah nggak lemes?" tanya Dika dengan tatapan dalam.
Sorot mata Dika itu membuat Ina merasakan kerinduan. Hatinya ikut-ikutan bergetar ditatap sedalam ini. "Udah enggak, Mas."
"Cieeeeee, kangen berat nih kayaknya!" Anin langsung mencuap tanpa tahu situasi.
Ina kontan mendelik ke arah Anin. "Apaan, sih?" desisnya. Anin hanya terkekeh menanggapi kegugupan Ina.
"Jadi sekarang kamu tinggal sama Mas Irham?" tanya Anin lagi.
"Iya. Aku kan dibiayain Mas Ir sekarang. Nggak enak juga kalau minta kos padahal di rumah Mas Ir ada kamar nganggur," jawab Ina. Ia mulai menyantap baksonya.
Sementara itu Dika seperti orang yang sudah tidak sabar karena menunggu kelamaan, langsung tancap gas. "In, besok jalan yuk?" ajaknya. Deham-deham langsung meluncur dari mulut Nicko dan Anin.
"Woi! Biasa aja keles!" sembur Dika. "Yang udah duluan jadian jangan ganggu orang!"
Kontan mata Ina membeliak. Jarinya menuding Anin dan Nicko bergantian. Yang dituding cuma cengar-cengir. "Kalian udah ...?"
"Udah panggil 'mami-papi' mereka ini!" lanjut Dika.
"Dasaaaarrr!" pekik Ina. Segumpal tisu ia lemparkan ke badan Anin. Gadis itu tergelak keras.
"Selama kamu opname, banyak kejadian, In," lanjut Dika lagi. Matanya kembali menatap perempuan di sampingnya dengan dalam.
Tatapan itu merasuk, membuat jantung Ina berdetak kencang. Ia baru ingat sudah menjadi istri Irham. Apa itu bukan perubahan besar juga?
"Mas Dika!" Anin memanggil nyaring. "Kalau mau mesra-mesraan jangan di sini, ajak ke tempat romantis sana!"
Dika meringis, lalu menoleh lagi ke Ina. "Kita jalan, yuk. Risih deh dilihatin dua cecunguk ini."
Ina terkekeh, terutama untuk meredakan debaran hati. "Sayang baksonya, Mas," kilahnya untuk menghindari ajakan. Sesudah itu, ia cepat-cepat menyantap sebutir daging bulat yang disendok dari mangkuk.
"In, minggu depan kita harus nyerahin tugas. Kamu udah bikin?" tanya Anin.
Ina langsung kepingin menangis. "Huhuhuuuu belum mikir. Kacau banget hidupku rasanya, Nin!"
"Oh, iya. Kamu barusan kehilangan papamu," sahut Anin. "Masih ada waktu, kok. Kita tukaran bahan aja. Kan disuruh bikin analisis arus kas. Kamu bisa pakai punya kakakmu."
Ina meringis. "Nggak berani minta. Takut nggak dikasih karena itu kan sama aja minta data rahasia perusahaan."
"Masa nggak dikasih? Emang segitunya masmu?" tanya Anin.
Ina sebenarnya risih membicarakan Irham. Untung ponselnya berdering sehingga ia tidak perlu menjawab pertanyaan Anin. Melihat nama yang tertera di layar, Ina langsung mengerutkan kening.
"Iya, Mas. Aku keluar bentar ketemu teman," jawab Ina sambil menggigit bibir.
"Ke mana? Sama siapa?" tanya Irham.
"Ke warung bakso Pak Wo, seberang ruko. Mas mau dibungkusin?"
"Kamu makan lagi? Belum kenyang sama steak tadi?"
Ina meringis. "Laper terus, nih. Mas Ir mau? Aku pesenin, ya."
"Enggak usah. Kamu sama siapa?"
"Sama Anin dan cowoknya."
"Pake masker nggak?"
"Pake, Mas, tenang aja. Aku pakai dobel kayak yang Mas suruh."
"Hm. Udah bawa hand sanitizer?"
"Udah! Lengkap!"
"Hm, iya. Duduknya jangan mepet, jaga jarak dua meter. Habis makan langsung dipakai lagi maskernya. Gelas, sendok, garpu, dilap dulu pakai alkohol."
"Siap!"
"Habis itu nggak usah ngobrol kelamaan. Cepet pulang. Kamu nggak boleh tidur kemalaman."
Mendengar kata "tidur", benak Ina kontan menayangkan sosok Irham yang polos tanpa baju. Aroma dan kehangatan kulit Irham seperti menyedot jiwanya agar segera kembali. "Iya, Mas," jawabnya lirih.
Mata Ina mengerling ke samping, dengan takut-takut menatap Dika. Melihat mata bulat dan bibir merah cowok itu, seketika ia sadar situasinya sangat aneh. Ada suami seksi di telepon. Sedangkan di hadapan, ada cowok ganteng yang selama ini membuat hatinya bergemuruh. Rumit sekali.
"Nanti sebelum naik, mandi dulu, keramas, ganti baju di kamar mandi bawah. Baju bekasnya direndam pakai air sabun." perintah Irham.
"Loh, aku udah mandi sore tadi, Mas."
"Ck! Pokoknya setiap pulang dari pergi-pergi, kamu harus mandi keramas dan ganti baju. Kamu nggak mau bawa virus ke rumah, kan?"
"Yaaah, malam-malam gini masa mandi keramas lagi, sih?" rajuk Ina. Mulutnya manyun membayangkan harus mengeringkan rambut lagi.
"In, protokol kesehatan jangan dilanggar. Kamu kan udah tahu apa akibatnya. Masa mau terulang lagi? Kalau nggak mau mandi keramas malam-malam, jangan keluar-keluar. Pesen aja makanan lewat ojol. Ngobrol sama teman lewat vidcall."
"Iya, deh." Menyerah juga Ina. Ia tidak mungkin melawan ceramah Irham yang memang benar. Ia menutup telepon dengan bilang akan segera pulang.
"Mas Ir masih galak, ya, In?" tanya Anin. Ia pernah beberapa kali diajak mampir ke tempat Irham setelah mereka badminton, dulu sebelum kenal Nicko dan Dika. Di matanya, kakak Ina itu tegas dan sikapnya melindungi. Mungkin karena itu Irham terkesan galak.
Ina mencibir. "Mas Ir emang gitu. Ketatnya minta ampun kalau soal Covid."
"Tapi kan dia bener, In. Nyatanya kamu yang sok ngeyel beneran kena."
"Iya, sih," sahut Ina lemas. "Kayaknya aku harus cepet balik, deh. Ntar ceramah dia makin panjang."
"Cariin Mas Ir jodoh, deh. Kali gegara kelamaan jomlo dia jadi rese," celetuk Anin.
Ina kontan mencibir panjang untuk menutupi jantung yang kram. Semoga teman-temannya tidak tahu ia sudah menikah dengan Irham.
Anin tergelak. "Kali dia nggak bolehin kamu pacaran karena iri, In. Iri kan tanda tak mampu!" lanjut Anin.
"Nggak mampu apaan? Ceweknya Mas Ir cakep, tahu. Kayak Luna Maya."
"Hah, masa?"
Ina meringis. "Tapi udah putus, hehehe. Ya udah, ah. Aku balik duluan, ya." Cepat-cepat dihabiskannya makanan, lalu bangkit.
"Bye Ina. Salam buat Mas Ir. Aku punya kakak sepupu cakep. Kalau mau, ntar dikenalin."
"Ogah! Nggak boleh!" serobot Ina. Masa suaminya mau dijodohkan dengan cewek lain?
Ina segera berjalan keluar warung. Ternyata Dika membuntuti. Ia jadi khawatir kalau-kalau cowok itu nekat mengantarnya ke ruko. Bisa runyam segala urusan kalau Irham sampai tahu.
"Mas, ngapain ikut keluar?" tanya Ina.
"Aku mau ngomong bentar berdua sama kamu," jawab Dika. Matanya jelas-jelas menyorotkan rasa yang terpendam.
"Mau ngomong apa? Udah malam, nih. Kirim pesan aja kalau ada perlu penting." Pandangannya melayang ke seberang taman, memindai rukonya, takut kalau Irham ternyata mengamati mereka.
Agaknya Dika tahu Ina serius. Ia tidak memaksa lagi. "Ya, deh. Aku ntar PC kamu."
Ina tersenyum, lalu memutar tubuh. Belum sempat melangkah, tangannya sudah ditarik Dika.
"In, kapan-kapan aku boleh ajak kamu keluar berdua aja, ya?" bisik cowok itu.
Ina tidak menjawab. Ia langsung menarik tangan dan pergi dari situ.
☆---Bersambung---☆
Cast-nya Dika cakep nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top