---12. Tabu (2)---
Genks,
Sebelum membaca part ini, pastikan udah membaca part sebelumnya:
"Tarik Napas Sebelum Lanjut"
💖💖💖
"Aku lembur dulu sama teman-teman di bawah, ya. Kamu tidur aja, istirahat." Irham mengusap puncak kepala Ina sebelum meninggalkannya.
Pintu kamar ditutup dan Irham menghilang dari pandangan. Kamar luas yang terletak di sisi depan bangunan itu menjadi senyap. Harum pewangi ruangan yang memenuhi udara seperti ingin menutup rasa kosong yang tiba-tiba menganga. Ina jengah. Ia bangkit, lalu bergerak ke kamar mandi dan mengguyur diri dengan air hangat dari shower.
Kehilangan itu menggerakkan tangan Ina mencari apa yang sebenarnya lenyap. Air dan sabun membuat badannya licin. Tangannya menggelincir di atas kulit dengan leluasa.
Bibir ....
Ada yang sesuatu yang halus tergugah saat jemari Ina merabanya.
Leher ... telinga ....
Ina memejamkan mata. Sebuah sensasi membuatnya menarik napas dalam dengan cepat.
Tangan Ina terus bergerak ke depan, ke puncak dada. Kedua ujungnya disentuh dan dipilin. Ada sengat yang tiba-tiba meletup. Ia mulai menduga-duga apa yang belum didapatkan itu.
Tangan Ina berputar di dada. Ia yakin sekali telah menemukan apa yang hilang karena sengat itu membuat otot-ototnya mengendur, namun napasnya memburu. Ia sampai bersandar ke dinding dengan dada naik turun dengan cepat.
Ini yang ia cari, tapi ia masih belum menemukan semuanya. Tangan Ina memutar dan menggaruk, meremas dan memilin dengan lebih keras.
Oh, bukan. Belum semuanya. Masih ada lagi yang belum.
Tangan Ina menyusur ke bawah seiring air sabun yang luruh karena guyuran air hangat. Gereget dalam dada semakin bergemuruh saat jemari semakin turun. Akhirnya ia menemukannya. Benda lembut itu melejitkan setrum berkekuatan tinggi saat disentuh jari Ina.
Napas Ina tersekat. Yang ia sentuh adalah ....
Kesadaran lama Ina muncul menyerbu dari kedalaman.
Tidak boleh mainan dengan benda ini!
Tidak pantas!
Tabu!
Sebuah kata kemudian membuat dada Ina sesak.
Dosa!
Astaga! Terbentang di hadapan Ina sekarang bara panas yang menyala menutupi mata batin.
Api neraka!
Ina menarik jemari dari yoni dengan serta merta. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa ia menjadi begini?
Tubuh Ina gemetar. Dengan segunung perasaan carut-marut, ia memperbesar aliran air. Semoga guyuran deras itu merontokkan setan yang diam-diam menyusup di kepala.
❦❦❦
Selesai mandi, Ina berjalan gontai keluar kamar. Lantai tiga ruko dua pintu milik Irham termasuk luas. Ruangan itu dibagi menjadi tiga kamar. Satu yang paling besar adalah yang ditempati Ina saat ini. Dua kamar lagi berukuran lebih kecil, sepertinya disediakan untuk anak-anak atau tamu. Di dekat tangga terdapat dapur yang rapi dan bersih karena dilengkapi kitchen set berkualitas tinggi. Di depan kamar-kamar, berbentuk memanjang tanpa sekat adalah ruang duduk dengan televisi layar lebar dan satu set meja makan. Ruang duduk itu berakhir di balkon.
Ina menyingkap gorden untuk mengintip balkon. Ada sepasang kursi dan sebuah meja besi di situ. Sepertinya asyik untuk nongkrong. Ina pun membuka pintu, lalu melangkah ke pagar pembatas. Pemandangan Taman Mundu langsung terpampang di depan mata.
Taman itu tidak terlalu ramai karena pandemi, namun tetap ada aktivitas orang-orang. Ada pedagang yang berjualan makanan, ada pengunjung yang duduk-duduk. Lampu-lampu hias dipasang di sana-sini sebagai penerangan sehingga suasananya menyenangkan.
Dulu, waktu masih aktif badminton di Gelora Remaja di seberang Taman Mundu, Ina kerap mampir untuk jajan di taman ini. Kadang sendirian, kadang bersama teman-teman ceweknya. Tak jarang ia mampir ke ruko Irham, lalu minta minum dan makan pada Mak Nah. Hanya sesekali saja ia berjumpa Irham di ruko. Lelaki itu kerap sibuk dan pergi-pergi. Kalau sedang tidak pergi pun, lebih sering duduk di kantornya sambil menekuri komputer. Bahkan Mak Nah pun tidak berani mengusik kalau Irham sudah begitu. Tapi ada yang menyenangkan bila kebetulan berpapasan dengannya. Irham pasti memberikan senyum manis yang membuat Ina berdebar. Bukan itu saja, dompet Irham juga ramah. Ada saja lembaran-lembaran yang berpindah dari dompet Irham ke tangan Ina. Justru karena itu ia sungkan. Ia cuma mampir minta minum, bukan minta uang.
Ina tidak pernah mampir lagi ke ruko ini sejak dekat dengan Dika setahun yang lalu. Setelah main badminton, ia biasa hangout dengan cowok itu dan teman-temannya. Kadang di warung di dekat GOR Tambaksari. Kadang di dekat Taman Teratai, yakni taman yang berada di daerah tempat tinggal Dika. Atau di warung-warung di sepanjang jalan antara GOR Tambaksari dan Kompleks Teratai.
Dika.
Entah mengapa, pandangan Ina melayang ke sisi kanan, di mana GOR Tambaksari menjulang dengan megah. Di jalan sekitar GOR itu, ia dan Dika, Nicko dan Anin kerap makan bersama. Mata Dika bulat, alisnya tebal, dan yang paling menggemaskan adalah bibir merahnya. Dalam hati Ina bertanya-tanya, apa ia masih bisa beramai-ramai main dengan teman-temannya setelah ini? Apakah teman-temannya tidak akan melihatnya sebagai ibu-ibu, lalu menjauh?
Mungkin perasaan itu bisa menembus jarak atau memiliki penghubung. Ponsel Ina yang diletakkan di meja ruang duduk berdering. Ina bergegas masuk. Matanya melebar saat layar menampilkan sebuah nama.
Dika Mahendra is calling ....
☆---Bersambung---☆
Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top