---12. Tabu (1)---
Genks,
Sebelum membaca part ini, pastikan udah membaca part sebelumnya:
"Tarik Napas Sebelum Lanjut"
💖💖💖
Ina memandangi suaminya yang tengah meneguk air putih. Sehabis makan steak hasil eksperimen Ina tadi, lelaki itu cuma berkomentar "enak" dengan singkat tanpa ekspresi. Padahal Ina mati-matian membuat bumbu dan memanggang daging pilihan itu puluhan menit. Apa tidak ada ekspresi yang lebih bersemangat? Kalau sudah begini, Ina kangen ayahnya. Lelaki itu selalu memuji dan menyantap dengan antusias semua yang ia masak. Kritikan pun disampaikan dengan manis seperti, "Besok tambahin garam dikit." Atau, "Kayaknya kalau bawang putihnya ditambah lebih jos deh, In." Ah, tidak ada yang bisa mengalahkan Arifin kalau soal membelai hati Ina.
Berbanding terbalik dengan Irham. Lelaki itu diam saja sepanjang acara makan. Memang benar makannya lahap dan bibirnya senyum-senyum, tapi Ina lebih suka mendengar suara daripada sunyi senyap seperti ini.
"Enak?" tanya Ina. "Terlalu keras nggak, sih? Atau terlalu matang? Mas Ir suka yang setengah matang, yang masih merah ada darahnya gitu? Besok aku masakin lagi."
Irham tersenyum lagi. "Enggak, udah enak, kok." Hanya empat kata, lalu sunyi lagi.
Dasar mulut Ina tidak bisa diam, ia langsung nyerocos, "Mbak Adel udah pulang?"
Irham mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar. "Cemburu?"
"Iiiih! Siapa cemburu? Kalau emang belum pulang kenapa nggak diajak makan bareng?" Ina asal ngomong karena sesudah itu ia langsung menyesal.
Irham terbahak. "Ngapain ngajak dia makan? Mengganggu acara kita aja. Dia udah pulang dari tadi."
Mendengar kata "acara kita", pikiran Ina langsung ke kasur. Ia sampai kepingin menepuk-nepuk kepala agar pikiran aneh itu rontok.
"Adel cuma nganterin syarat lelang yang baru." Irham terdiam sejenak, meneliti reaksi istrinya, lalu melanjutkan dengan perlahan, "In, Adel juga nawarin peluang kerja sama dengan perusahaan swasta. Nilainya gede. Aku kepingin jajaki soalnya lumayan banget kalau tembus. Belum lagi nilai kontrak pemeliharaannya. Bisa buat hidup bertahun-tahun. Gimana menurutmu?"
Ia bengong. Otak minim pengalamannya tidak paham apa arti kontrak dan segala hal yang menyertai. Yang ia tangkap adalah peluang itu akan membuat suaminya sering berurusan dengan sang mantan. "Kok Mbak Adel bisa punya kenalan orang perusahaan swasta? Bukannya dia PNS?"
"Hm, dia kerja di bagian pengadaan barang dan jasa di provinsi," sahut Irham. Sebentar kemudian ia meringis dan mengangkat bahu. "Kayaknya dari situ dia kenal banyak orang perusahaan."
Ina tidak tahu apa arti pembicaraan ini bagi masa depan mereka. "O, gitu."
Irham sepertinya tahu isi kepala istrinya. "Tenang aja, mantan itu selamanya mantan," ujarnya sambil tersenyum lebar yang membuat Ina merasa diolok.
"Aku nggak cemburu!" kilah Ina.
Irham tidak menjawab, tapi mulutnya cengar-cengir tidak jelas. Soalnya Ina yang merengut itu terlihat lucu sekali. Jujur, selain saat bergumul di ranjang, Irham masih merasa berhadapan dengan adik kecil yang kekanakan. Tapi tak mengapa. Mungkin waktu yang akan membuatnya terbiasa. Yang penting sekarang statusnya bukan duda, melainkan seorang suami dan kepala rumah tangga yang sesungguhnya.
"Mas Ir! Kamu ngetawain aku?"
"Ck! Udah, makan jangan sambil ngoceh, ntar keselek."
Ina tidak bicara lagi. Ia melanjutkan makan sembari memelototi suaminya yang sok tidak tahu kalau sedang dipelototi. Sesudah makan malam, Irham langsung bersiap untuk turun ke lantai dua, menemui anak buah yang tengah lembur. Ada puluhan komputer yang harus diinstal OS dan program dasar sebelum dikirim ke pelanggan.
"Lama, Mas?" tanya Ina.
"Mungkin. Soalnya mau setting server juga. Besok harus dipasang di kantor pembeli."
"Oh, server, ya," sahut Ina sembari mencoba memanggil memori otak tentang pelajaran komputer.
Irham terdiam sebentar, lalu tersenyum. "Susah ngejelasinnya. Pokoknya kayak induk komputer dan anak-anaknya. Semua harus diatur supaya bisa kerja bareng dengan baik."
"Induk dan anak ...." Ina kontan meringis karena teringat ayam dan anak-anaknya yang baru menetas. Anak ayam mirip bola bulu mungil yang berebutan mencari kehangatan di bawah sayap induknya. Ina jadi teringat sensasi ndusel-ndusel di dada Irham yang nyaman. Ehm!
"Ah, udah deh. Jangan dipikirin. Istirahat aja, biar nggak lemes nanti malam." Irham mengangkat-angkat alis.
Mendengar kata "nanti malam" wajah Ina kontan memerah. "Mas Ir! Emang nanti malam mau ngapapin?" ucapnya pura-pura bodoh.
"Loh, kok ngapain? Kamu minta, kan?" seloroh Irham. Menggelikan sekali wajah Ina yang semburat kemerahan dan termalu-malu.
"Aku minta apa?" Ina tidak mau kalah. "Aku nggak minta apa-apa deh perasaan."
Irham hanya meringis lebar, lalu berdiri. "Jadi nggak mau? Ya udah. Nggak usah aja kalau gitu."
Ina melongo. Irham lalu melewatinya begitu saja menuju tangga di bagian belakang dapur. Ada yang bergolak keras dalam hati Ina. Tanpa sadar ia berdiri, lalu melesat menyusul Irham. Ditariknya ujung kaus lelaki itu sehingga langkah suaminya tertahan.
"Iiiin?" Irham memutar tubuh dan menjadi keheranan bercampur geli saat menemukan wajah mungil yang manyun. "Aku mau kerja dulu."
"Nggak boleh. Sekarang udah malam. Kerjanya besok pagi aja."
Irham terkekeh. Ia seperti menghadapi anak kecil yang merajuk minta es krim. Dipegangnya tangan Ina. Jemari mungil itu membuatnya gemas luar biasa. Tahu-tahu pinggang Ina ditangkap, lalu tubuh mungil itu diangkat.
Ina memekik, kaget bercampur girang. Untung Mak Nah tahu diri. Perempuan itu sudah menyembunyikan diri di kamarnya di lantai dua begitu selesai menata meja makan.
Irham membaringkan Ina di ranjang, lalu segera menindihnya. Ina menerima serbuan itu dengan bahagia. Tak lama kemudian, semua yang terjadi tadi pagi terulang kembali. Hanya saja kali ini berlangsung lebih cepat. Bukan apa-apa. Ada tujuh anak buah Irham menunggu di lantai dua. Memang benar mereka bisa melakukan tugas yang diperintahkan, tapi tetap saja ada bagian yang harus dikerjakan Irham. Contohnya memastikan semua perangkat terhubung dengan baik ke server. Semua aplikasi yang berjalan di perangkat perifer harus bisa sinkron satu sama lain. Kadang dibutuhkan modifikasi program dan beberapa penyesuaian yang hanya dimengerti oleh Irham.
Begitu pelepasan usai, Irham memeluk istrinya dengan terengah. Diciuminya bibir, puncak dada, dan perut lembut itu, lalu bangkit untuk membasuh diri. Ina yang ditinggalkan di ranjang dengan tubuh tanpa selembar benang dan yoni menganga hanya menatap nanar sosok suaminya yang menghilang ke kamar mandi.
Ina menarik selimut untuk menutupi tubuh. Kulitnya masih panas membara. Yoninya masih menganga minta disuap. Tapi Irham sudah keluar dari kamar mandi, lalu mengenakan pakaian kembali. Cuma kecupan ringan di bibir yang diberikan lelaki itu sebelum keluar kamar. Padahal Ina tidak mau cuma dicium, tidak mau!
=Bersambung=
Komen please ....
Buat Pembaca yang pensaran dan nggak sabar nunggu apdetan, meluncur aja ke Karya Karsa atau KBM. Cerita ini udah tamat dan bisa dibaca maraton.
Makasih buat dukungannya. Luv u!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top